Sasaran pemboman kelompok teroris tak hanya gereja, kantor polisi, kedutaan asing, maupun hotel. Aksi pemboman kini merambah ke wihara, tempat ibadah umat Buddha.
Minggu malam, 4 Agustus, Vihara Ekayana yang terletak di tengah permukiman padat penduduk di kawasan Tanjung Duren, Jakarta Barat, mendapat serangan. Bom berdaya ledak rendah meledak saat ratusan umat Buddha menggelar prosesi ibadah di wihara itu.
Meski tak memakan korban, kejadian itu wajib disayangkan. Kutukan pun terlontar dari berbagai kalangan. Pelaku belum dibekuk. Tapi sejumlah analisa sudah merebak. Ada dugaan, ledakan bom tersebut merupakan sinyal keprihatinan atas pembantaian etnis minoritas muslim Rohingya di Myanmar.
Itu memang tertulis dalam pesan yang ditinggalkan pada bom. "Ada pesan tertulis pada bom, tulisannya 'Kami Menjawab Jeritan Rohingya'," kata Menteri Agama Suryadharma Ali di Jakarta, Senin (5/8/2013). Meski demikian, umat Islam diimbau tidak tersulut emosinya. Toleransi beragama harus tetap dikedepankan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mengutuk pemboman itu. Melalui akun twitternya, SBY mengatakan pemboman di pengujung Ramadan itu amat mengganggu.
"Kita terganggu dengan ledakan Vihara Ekayana di penghujung Ramadan," kata SBY melalui akun twitter @SBYudhoyono. SBY mengaku menginstruksikan kepada Polri untuk mengungkap pelaku ledakan tersebut hingga tuntas.
Bukan Pertama
Ini bukan kali pertama tempat ibadah umat Buddha jadi sasaran teror. Jauh sebelumnya, 21 Januari 1985, Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, yang juga menjadi tempat suci umat Buddha dibom kelompok yang menamakan diri sebagai Komando Jihad.
Sembilan stupa candi peninggalan Dinasti Syailendra itu hancur. Polisi menyebut otak serangan itu adalah Ibrahim alias Mohammad Jawad alias Kresna, yang tak pernah tertangkap.
Polisi hanya menangkap dua bersaudara, Abdulkadir bin Ali Alhabsyi dan Husein bin Ali Alhabsyi, yang dituding sebagai pelaku peledakan Candi Borobudur ini.
Pengadilan kemudian memvonis Abdulkadir dengan 20 tahun penjara. Sementara Husein divonis seumur hidup. Abdulkadir memperoleh remisi presiden setelah menjalani hukuman 10 tahun, dan Husein kemudian mendapat grasi dari Presiden BJ Habibie pada 23 Maret 1999. (Eks)
Minggu malam, 4 Agustus, Vihara Ekayana yang terletak di tengah permukiman padat penduduk di kawasan Tanjung Duren, Jakarta Barat, mendapat serangan. Bom berdaya ledak rendah meledak saat ratusan umat Buddha menggelar prosesi ibadah di wihara itu.
Meski tak memakan korban, kejadian itu wajib disayangkan. Kutukan pun terlontar dari berbagai kalangan. Pelaku belum dibekuk. Tapi sejumlah analisa sudah merebak. Ada dugaan, ledakan bom tersebut merupakan sinyal keprihatinan atas pembantaian etnis minoritas muslim Rohingya di Myanmar.
Itu memang tertulis dalam pesan yang ditinggalkan pada bom. "Ada pesan tertulis pada bom, tulisannya 'Kami Menjawab Jeritan Rohingya'," kata Menteri Agama Suryadharma Ali di Jakarta, Senin (5/8/2013). Meski demikian, umat Islam diimbau tidak tersulut emosinya. Toleransi beragama harus tetap dikedepankan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mengutuk pemboman itu. Melalui akun twitternya, SBY mengatakan pemboman di pengujung Ramadan itu amat mengganggu.
"Kita terganggu dengan ledakan Vihara Ekayana di penghujung Ramadan," kata SBY melalui akun twitter @SBYudhoyono. SBY mengaku menginstruksikan kepada Polri untuk mengungkap pelaku ledakan tersebut hingga tuntas.
Bukan Pertama
Ini bukan kali pertama tempat ibadah umat Buddha jadi sasaran teror. Jauh sebelumnya, 21 Januari 1985, Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, yang juga menjadi tempat suci umat Buddha dibom kelompok yang menamakan diri sebagai Komando Jihad.
Sembilan stupa candi peninggalan Dinasti Syailendra itu hancur. Polisi menyebut otak serangan itu adalah Ibrahim alias Mohammad Jawad alias Kresna, yang tak pernah tertangkap.
Polisi hanya menangkap dua bersaudara, Abdulkadir bin Ali Alhabsyi dan Husein bin Ali Alhabsyi, yang dituding sebagai pelaku peledakan Candi Borobudur ini.
Pengadilan kemudian memvonis Abdulkadir dengan 20 tahun penjara. Sementara Husein divonis seumur hidup. Abdulkadir memperoleh remisi presiden setelah menjalani hukuman 10 tahun, dan Husein kemudian mendapat grasi dari Presiden BJ Habibie pada 23 Maret 1999. (Eks)