Sukses

Lezatnya Sate Maranggi, Si Maskot Purwakarta

Kepulan asap berbau harum yang menusuk indera penciuman siapa pun yang melintas. Membuat air liur seakan ingin menetes.

Di pinggir Jalan Cibungur, Purwakarta, terlihat kepulan asap berbau harum yang menusuk indera penciuman siapa pun yang melintas. Membuat air liur seakan ingin menetes keluar. Dari balik kepulan asap itu, terlihat banyak orang sedang menikmati suguhan sate ditemani segelas es kelapa muda.

Pantauan Liputan6.com, Selasa (13/8/2013), lokasi tempat makan bertajuk Sate Maranggi Hajjah Yeti sudah ramai pembeli sejak pukul 10.00 WIB.  Dari 40 kursi yang tersedia, hampir semua telah terisi. Itu menjadi pertanda Sate Maranggi bukan sembarang sate.

Ternyata, yang membuat Sate Maranggi begitu diminati karena memiliki bumbu yang khas. "Bila sate biasa, bumbunya itu kacang dan kecap. Sate Maranggi itu bumbunya sudah di satenya sendiri," ujar Yeti saat diwawancarai Liputan6.com, di Purwakarta, Jawa Barat.

Yeti menjelaskan, dirinya menjual 3 macam daging sate. Ada sate ayam, sate sapi, dan sate kambing. Ketiganya dimasak ala Maranggi atau diberi bumbu sebelum dibakar. Lantas, apa bumbu rahasia yang dipakai Yeti?

"Kalau bumbu, tidak bisa bilang. Pokoknya dibumbui sebelum dibakar, juga tidak pakai kacang. Satenya tidak dikasih kecap juga sudah enak. Bedanya, sate saya disajikan ada potongan tomat dan cabai," kata wanita 46 tahun ini.

Kenikmatan Sate Maranggi memang menjadi magnet tersendiri bagi orang-orang yang melintas di Purwakarta. Tidak jarang, orang-orang dari Jakarta menyempatkan diri untuk mencicipi sate tersebut. Bahkan, di rumah makan milik Yeti ini, jarang terlihat bangku kosong pengunjung.

"Mulai dari artis, bupati, sampai polisi, itu pernah makan di sini," ungkap Yeti.

Ibu 4 anak itu juga menceritakan pengalamannya saat melayani tamu di Hari Raya Idul Fitri kemarin. Ia mengaku pengunjung saat itu sangat ramai, sampai bangku yang berjumlah 40 dan mampu menampung 400 orang tidak cukup.

Alhasil, lanjut Yeti, para tamu sampai menggelar tikar di sepanjang jalan. "Nah, kalau hari-hari besar seperti itu, saya habisin dagingnya bisa sampai 1 ton," jelasnya santai.

Di hari-hari biasa, Yeti menyiapkan 200 kg daging. Apabila hari libur, seperti Sabtu atau Minggu, ia menyiapkan 500 kg daging. Namun, khusus Lebaran dan malam Tahun Baru, ia mengaku wajib menyiapkan 1 ton daging dan pasti habis.

Menu Sate Maranggi ini akan tambah nikmat bila dinikmati bersama es kelapa muda yang segar. Bayangkan, sate yang panas, daging yang empuk menggoyang lidah dipadu kelembutan daging kelapa muda dan airnya yang segar.

Untuk seporsi hidangan khas Sate Maranggi ditambah segelas es kelapa, Anda cukup membayar Rp 43 ribu. "Itu sudah dapat sate 10 tusuk dan 1 gelas besar es kelapa," imbuh Yeti.

Istri Achdhiyat itu mengatakan, harga menu favorit di sini baru saja naik. Namun, Yeti menegaskan lebih baik naik harga, daripada kehilangan cita rasa.

"Saya pilih rasa. Buat apa harga tidak dinaikkan, tapi cita rasanya hilang. Orang banyak ke sini karena mencari rasa," tegas ibu yang hanya lulusan SD ini.

Awal Nama Sate Maranggi

Yeti memaparkan nama 'Maranggi' bukanlah nama yang ia cetuskan, melainkan nama itu merupakan pemberian dari seorang konsumen yang menikmati satenya tersebut. Ibu berpakaian serba ungu itu lupa tanggal persisnya, tapi saat itu sate yang ia jual belum ada nama.

"Karena belum ada nama, pernah ada konsumen bilang kalau sate saya mirip sate di Eretan, sate tanpa bumbu kacang. Dia bilang kalau ini namanya maranggi. Nah, dari situ sampai sekarang saya pakai nama itu, jadi Sate Maranggi," ceritanya.

Untuk membedakan jenis kuliner yang serupa, Yeti pun segera mematenkan nama rumah makannya. Hal itu baru dilakukannya tahun lalu. "Yang paten itu namanya Sate Maranggi Hajjah Yeti Cibungur," katanya.

Dulu, lanjut Yeti, usaha kuliner yang mampu memperkerjakan 100 karyawan itu dimulai dari gerobak es kelapa muda milik ayahnya, Haji Rasta. "Dulu bapak saya jualan deket Stasiun Cibungur, di bawah pohon jati. Itu sekitar tahun 80-an," kenang Yeti.

Saat itu, Yeti masih belum memiliki pekerjaan tetap. Suaminya pun masih kerja serabutan. Namun, entah ada angin apa, Rasta menyuruh putrinya yang ketiga itu untuk mencoba usaha sate.

Bak kisah dalam dongeng, usaha sate Yeti maju pesat. "Tahun 85 sudah lahir itu Sate Maranggi. Dalam 5 tahun, tahun 90-an, saya sudah pindah ke tempat saat ini," imbuhnya.

Meski usaha yang digelutinya selama 23 tahun sukses, hal itu tidak membuatnya ingin mengembangkan sayap bisnis dengan membuka cabang. "Prinsip saya punya 1 tapi dikelola dengan baik, daripada buka cabang tapi tidak bisa dikelola atau tak terurus," ucapnya.

Walau tidak ingin mengembangkan sayap bisnis, Yeti tetap ingin usahanya terus berinovasi. Ia pun mengajak saudara-saudaranya untuk turut berpartisipasi dalam bisnis kuliner. Mereka bertugas sebagai penambah jenis makanan, misalnya ada makanan ayam bakar atau ikan bakar yang diurus oleh kakaknya.

Bahkan, anak-anak Yeti yang sudah lulus kuliah pun mulai disuruh kerja dalam bisnis keluarga tersebut, ada yang jadi kasir, ada yang bantu membakar sate dan ada pula yang membantu menjual souvenir khas Purwakarta.

Maskot Purwakarta

Kepala Seksi Penetapan Purwakarta Cucuk Diyana mengatakan Sate Maranggi sudah termasuk sebagai maskot dari Purwakarta. Tidak hanya kualitas rasa yang dijual Yeti, tapi juga keramahan dan sikap sosial terhadap sesama yang dijunjung wanita tersebut.

"Sebagai pengusaha beliau selalu taat bayar pajak restoran. Ini patut dicontoh oleh seluruh pengusaha di Purwakarta," jelasnya saat ditemui Liputan6.com.

Cucuk juga menuturkan seringkali Yeti membantu program yang sedang ditunjang Pemkot. Misalnya saja ada program kepedulian masyarakat.

"Beliau juga turun membantu pembangunan rumah miskin. Jadi benar-benar maskot Purwakarta. Jual rasa oke, tapi juga tidak lupa kewajiban pada daerahnya sendiri," tandas PNS yang memakai baju khas Purwakarta berwarna hitam tersebut. (Tnt/Yus)