Terdakwa korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) pengadaan simulator SIM Inspektur Jenderal Djoko Susilo mengaku telah melanggar aturan institusi kepolisian dan kepegawaian negeri.
Pelanggaran tersebut diakui terkait tidak melaporkan kekayaan dalam Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) terkait pembukaan usaha yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Seperti usaha properti, perhiasan, barang antik, SPBU dan sebagainya, termasuk kepemilikan sejumlah istri muda.
"Kami menyadari kami melakukan pelanggaran secara institusi, kami tidak melaporkan secara normatif sebagai penyelenggara negara termasuk istri-istri," kata Djoko dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (13/8/2013).
Karena itu, Djoko mengaku tidak melakukan transaksi keuangan bisnisnya dengan barang bukti transaksi. Misalnya, bisnis yang dikelola Subekti, dilakukan dengan modal kepercayaan.
"Seberapa uang yang ada saya percayakan, seperti yang hasil di SPBU. Yang usaha kecil-kecil itu dengan Mahdiana, tapi usaha-usaha yang besar tidak ada kaitannya dengan Mahdiana," jelasnya.
Djoko kembali mengakui melakukan pelanggaran atas bisnisnya yang dilakukan secara tersembunyi. "Secara jujur kami menyadari, sebagai pegawai negeri, transaksi keuangan sudah menyalahi. Jadi kami menghilangkan kegiatan usaha untuk masuk dalam laporan secara normatif."
"Makanya setiap transaksi keuangan saya melakukan secara cash," sambungnya.
Bahkan, untuk melancarkan bisnisnya itu, Djoko mengaku tidak menggunakan transaksi perbankan dalam setiap melakukan transaksi. "Jadi memang dalam transaksi bisnis, kami tidak melakukan transaksi melalui perbankan," jelasnya.
Kendati demikian, pengakuan Djoko ini tidak dapat dimengerti oleh Ketua Majelis Hakim Suhartoyo. Pasalnya, kata Suhartoyo, mustahil laporan dakwaan dapat disusun tanpa adanya barang bukti.
"Ya, boleh saja tidak melakukan, yang dipersoalkan majelis hakim ketika yang dikembangkan Mardiana tidak ada bukti. Nggak pernah ada tanda terima dipinjamkan siapa oleh saja, orang-orangnya nggak jelas, kuitansinya. Itu yang kendala, kita nggak nyambung," kata Hakim Suhartoyo.
"Sekali lagi persidangan ini membutuhkan itu. Dari mana Rp 12 juta menjadi miliaran percaya begitu saja tanpa ada tanda bukti? Setiap berkas jual belinya itu kosong. Jadi logika yang dibangun bagaimana itu? Begitu juga Bu Mardiana pengelolaan uang yang diharapkan hadir di persidangan tidak mau hadir," sambungnya. (Ary/Yus)
Pelanggaran tersebut diakui terkait tidak melaporkan kekayaan dalam Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) terkait pembukaan usaha yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Seperti usaha properti, perhiasan, barang antik, SPBU dan sebagainya, termasuk kepemilikan sejumlah istri muda.
"Kami menyadari kami melakukan pelanggaran secara institusi, kami tidak melaporkan secara normatif sebagai penyelenggara negara termasuk istri-istri," kata Djoko dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (13/8/2013).
Karena itu, Djoko mengaku tidak melakukan transaksi keuangan bisnisnya dengan barang bukti transaksi. Misalnya, bisnis yang dikelola Subekti, dilakukan dengan modal kepercayaan.
"Seberapa uang yang ada saya percayakan, seperti yang hasil di SPBU. Yang usaha kecil-kecil itu dengan Mahdiana, tapi usaha-usaha yang besar tidak ada kaitannya dengan Mahdiana," jelasnya.
Djoko kembali mengakui melakukan pelanggaran atas bisnisnya yang dilakukan secara tersembunyi. "Secara jujur kami menyadari, sebagai pegawai negeri, transaksi keuangan sudah menyalahi. Jadi kami menghilangkan kegiatan usaha untuk masuk dalam laporan secara normatif."
"Makanya setiap transaksi keuangan saya melakukan secara cash," sambungnya.
Bahkan, untuk melancarkan bisnisnya itu, Djoko mengaku tidak menggunakan transaksi perbankan dalam setiap melakukan transaksi. "Jadi memang dalam transaksi bisnis, kami tidak melakukan transaksi melalui perbankan," jelasnya.
Kendati demikian, pengakuan Djoko ini tidak dapat dimengerti oleh Ketua Majelis Hakim Suhartoyo. Pasalnya, kata Suhartoyo, mustahil laporan dakwaan dapat disusun tanpa adanya barang bukti.
"Ya, boleh saja tidak melakukan, yang dipersoalkan majelis hakim ketika yang dikembangkan Mardiana tidak ada bukti. Nggak pernah ada tanda terima dipinjamkan siapa oleh saja, orang-orangnya nggak jelas, kuitansinya. Itu yang kendala, kita nggak nyambung," kata Hakim Suhartoyo.
"Sekali lagi persidangan ini membutuhkan itu. Dari mana Rp 12 juta menjadi miliaran percaya begitu saja tanpa ada tanda bukti? Setiap berkas jual belinya itu kosong. Jadi logika yang dibangun bagaimana itu? Begitu juga Bu Mardiana pengelolaan uang yang diharapkan hadir di persidangan tidak mau hadir," sambungnya. (Ary/Yus)