Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) Said Aqil Siradj menilai sebagai negara demokrasi dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia layak dijadikan sebagai contoh negara lainnya, seperti Mesir.
"Alhamdulillah kita (Indonesia) tidak seperti Mesir, sampai berdarah-darah, tidak separah Mesir. Dan sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, Indonesia layak jadi contoh," ujar Said Aqil di Balaikota DKI Jakarta, Senin (19/8/2013).
Menurutnya, sejak tahun 1945, peralihan kekuasaan di Indonesia dari masa ke masa tidak pernah sekalipun terjadi kudeta berdarah seperti Mesir. Walau di tahun 1998 ketika reformasi banyak berjatuhan korban, namun hal tersebut dapat diredakan karena adanya peran organisasi massa.
"Dari masa Soekarno ke Pak Harto selalu berperan civil society. Walaupun ada korban, tapi selalu ada berperan organisasi non-politik. Yaitu organisasi massa keagamaan seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama," kata Said Aqil.
Peran ormas keagamaan yang merupakan simbol kekuatan masyarakat sipil, lanjut dia, dapat meredam situasi politik yang panas dalam suatu peralihan kekuasaan. Dan sebagai negara yang juga mayoritas berpenduduk muslim, Mesir dapat menjadikan model demokrasi di Indonesia yang memberikan ruang bagi ormas dalam menstabilkan situasi nasional.
"Jelas sekali Al-Azhar sebagai suatu kesatuan di Mesir tidak berperan. Kosong. Kalau Al Azhar berperan, insya Allah tidak separah ini. Karena kan sudah banyak yang meninggal. Ikhwanul Muslimin terus melawan," demikian Said Aqil. (Ary/Sss)
"Alhamdulillah kita (Indonesia) tidak seperti Mesir, sampai berdarah-darah, tidak separah Mesir. Dan sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, Indonesia layak jadi contoh," ujar Said Aqil di Balaikota DKI Jakarta, Senin (19/8/2013).
Menurutnya, sejak tahun 1945, peralihan kekuasaan di Indonesia dari masa ke masa tidak pernah sekalipun terjadi kudeta berdarah seperti Mesir. Walau di tahun 1998 ketika reformasi banyak berjatuhan korban, namun hal tersebut dapat diredakan karena adanya peran organisasi massa.
"Dari masa Soekarno ke Pak Harto selalu berperan civil society. Walaupun ada korban, tapi selalu ada berperan organisasi non-politik. Yaitu organisasi massa keagamaan seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama," kata Said Aqil.
Peran ormas keagamaan yang merupakan simbol kekuatan masyarakat sipil, lanjut dia, dapat meredam situasi politik yang panas dalam suatu peralihan kekuasaan. Dan sebagai negara yang juga mayoritas berpenduduk muslim, Mesir dapat menjadikan model demokrasi di Indonesia yang memberikan ruang bagi ormas dalam menstabilkan situasi nasional.
"Jelas sekali Al-Azhar sebagai suatu kesatuan di Mesir tidak berperan. Kosong. Kalau Al Azhar berperan, insya Allah tidak separah ini. Karena kan sudah banyak yang meninggal. Ikhwanul Muslimin terus melawan," demikian Said Aqil. (Ary/Sss)