Sukses

KPK Siap Usut TPPU Djoko Susilo yang Dilakukan Sebelum 2010

KPK berwenang untuk mengusut Tindak Pidana Pencucian Uang terdakwa Irjen Djoko Susilo yang didapatkan sebelum 2010.

JPU KPK Rusdi Amin menilai pihaknya berwenang untuk mengusut Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terdakwa Irjen Djoko Susilo yang didapatkan sebelum 2010. Hal itu bisa dilakukan karena pihaknya berpegang pada Pasal 3 ayat (1) dan atau pasal 6 ayat (1) UU No 15/2002 tentang TPPU.

"Yang berlaku surut adalah UU TPPU sebelum institusi KPK terbentuk bisa digunakan sehingga disimpulkan penggunaan UU tersebut tidak melanggar prinsip hukum," kata Rusdi saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (20/8/2013).

"Putusan MK atas Bramanopo, putusan TPPU Wa Ode Nurhayati lebih menguatkan. Artinya jaksa KPK berhak menangani dan menuntut TPPU terdakwa," paparnya.

Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan, merujuk pada asas legalitas, dimana seseorang bisa diusut tindak pidananya jika sudah ada regulasi yang mengatur. Sebaliknya, jika belum ada undang-undang yang mengaturnya, maka penegak hukum tidak boleh mengusut kasus tersebut.

"KPK berwenang mengusut ini. Misalnya DS tindak pidana pencucian uangnya dilakukan tahun 1990, KPK tidak bisa mengusut karena saat itu belum ada Undang-Undang tindak pidana pencucian uang. Undang-Undang Tindak pidana pencucian uang kan baru ada 2002," kata Johan di kantor KPK, Selasa 23 April lalu.

Djoko Susilo, mantan Gubernur Akademi Kepolisian, didakwa melakukan tindak pidana korupsi proyek simulator ujian SIM roda dua dan roda empat di Korlantas Polri tahun anggaran 2011. Jenderal bintang dua itu didakwa menerima keuntungan dari pengadaan proyek tersebut sebesar Rp 32 miliar.

Berdasarkan perhitungan KPK, kerugian negara akibat pengadaan proyek ini sekitar Rp 144,9 miliar, sedangkan menurut perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan, nilai kerugian negaranya sekitar Rp 121,3 miliar. Djoko juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang dengan menyamarkan hartanya yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi.

Harta kekayaan Djoko dianggap tidak sesuai dengan profilnya sebagai Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI. Nilai aset yang dimasukkan dalam dakwaan mencapai lebih dari Rp 100 miliar. Selain aset semasa Djoko menjadi Kepala Korlantas, KPK juga memasukkan aset dari masa sebelum dan sesudah Djoko memangku jabatan itu. Batas awal aset yang disidik adalah perolehan mulai 2002.

Aset itu berupa rumah mewah, apartemen, tanah, stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU), serta sejumlah kendaraan. Rumah-rumah terkait Djoko tersebar di Solo (Jalan Sam Ratulangi dan Jalan Perintis Kemerdekaan), Semarang (Bukit Golf, Tembalang), Jakarta (Jalan Prapanca Raya, Jalan Cikajang, dan Tanjung Mas Raya), Depok (Perumahan Pesona Khayangan), dan Bali (Perumahan Harvestland). Aset berupa tanah tersebar mulai dari Cibubur, Subang, hingga Bali. SPBU yang disita berada di Jakarta, Ciawi, dan Semarang.

Sementara kendaraan yang disita KPK, antara lain, Jeep Wrangler, Nissan Serena, Toyota Harrier, Toyota Avanza, dan sejumlah bus pariwisata.

Untuk kasus pencucian uang, KPK menjerat dia dengan pasal 3 dan atau 4 UU No.8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan pasal 3 ayat 1 dan atau pasal 6 ayat 1 UU No.15/2002 tentang TPPU dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar. (Alv/Tnt)