Kejaksaan Agung mengklaim bahwa penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tidak mentok di pihaknya. Kejagung malah menyatakan, mandeknya penuntasan itu harusnya melihat ke Komisi Nasional HAM (Komnas HAM).
"Saya kira tidak, tidak begitu. Tidak ada yang mentok begitu di kami. Dan kita juga harus lihat di Komnas HAM juga," kata Jaksa Agung Basrief Arif di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (22/8/2013).
Basrief mengaku, Kejagung juga sudah berkoordinasi dengan Komnas HAM, terkait mencari jalan tengah penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu. "Ya sudah. Nanti itu akan dikoordinasikan," ujar Basrief.
Sebagai informasi, dalam sidang sesi 108 Komite Hak Asasi Manusia PBB pada awal 2013 lalu, penuntasan dan dukungan pemerintah terhadap kinerja Komnas HAM untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu menjadi salah satu agenda dalam dialog antara Pemerintah RI dengan Komite HAM PBB. Â
Menurut Komisoner Komnas HAM, Roichatul Aswidah, rekomendasi yang dikeluarkan PBB, yakni agar ada penyelesaian kebuntuan yang ada antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung dalam penyelesaian kasus-kasus masa lalu yang telah selesai diselidiki oleh Komnas HAM. Khususnya kasus penghilangan paksa 1997-1998.
"Kemudian harus mempercepat pembentukan pengadilan ad hoc," papar Roichatul, akhir bulan lalu.
Ditambahkannya, Komite HAM PBB memandang hal tersebut merupakan prioritas. Informasi mengenai pelaksanaan rekomendasi itu diminta dilakukan dalam jangka waktu satu tahun mendatang. Â
Komnas HAM sendiri saat ini telah mengundang 4 ahli untuk menelaah kebuntuan ini. Sekaligus bisa merekomendasikan langkah yang dapat diambil untuk menyelesaikan masalah ini. Â
"Ada banyak hal yang bisa dilakukan berdasarkan rekomendasi ahli ini, bisa saja salah satunya membentuk tim bersama beranggotakan Komnas Ham dan Kejaksaan Agung," ujar Roichatul.
Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik melalui UU nomor 12 tahun 2005 dan berlaku sejak 2006. Â
Setiap negara yang menandatangani tersebut kemudian diundang oleh Komite Hak Asasi Manusi PBB dalam sebuah sesi dan didiskusikan mengenai perkembangan pencapaian hak sipil dan politik berdasarkan kompilasi laporan dari berbagai lembaga independen atau lembaga masyarakat terkait dengan isu tersebut. Â
Komite HAM PBB kemudian mengeluarkan laporan dari diskusi dan penilaian itu untuk diberikan kepada negara yang berkesempatan berkomentar atas laporan yang disampaikan. (Mut)
"Saya kira tidak, tidak begitu. Tidak ada yang mentok begitu di kami. Dan kita juga harus lihat di Komnas HAM juga," kata Jaksa Agung Basrief Arif di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (22/8/2013).
Basrief mengaku, Kejagung juga sudah berkoordinasi dengan Komnas HAM, terkait mencari jalan tengah penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu. "Ya sudah. Nanti itu akan dikoordinasikan," ujar Basrief.
Sebagai informasi, dalam sidang sesi 108 Komite Hak Asasi Manusia PBB pada awal 2013 lalu, penuntasan dan dukungan pemerintah terhadap kinerja Komnas HAM untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu menjadi salah satu agenda dalam dialog antara Pemerintah RI dengan Komite HAM PBB. Â
Menurut Komisoner Komnas HAM, Roichatul Aswidah, rekomendasi yang dikeluarkan PBB, yakni agar ada penyelesaian kebuntuan yang ada antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung dalam penyelesaian kasus-kasus masa lalu yang telah selesai diselidiki oleh Komnas HAM. Khususnya kasus penghilangan paksa 1997-1998.
"Kemudian harus mempercepat pembentukan pengadilan ad hoc," papar Roichatul, akhir bulan lalu.
Ditambahkannya, Komite HAM PBB memandang hal tersebut merupakan prioritas. Informasi mengenai pelaksanaan rekomendasi itu diminta dilakukan dalam jangka waktu satu tahun mendatang. Â
Komnas HAM sendiri saat ini telah mengundang 4 ahli untuk menelaah kebuntuan ini. Sekaligus bisa merekomendasikan langkah yang dapat diambil untuk menyelesaikan masalah ini. Â
"Ada banyak hal yang bisa dilakukan berdasarkan rekomendasi ahli ini, bisa saja salah satunya membentuk tim bersama beranggotakan Komnas Ham dan Kejaksaan Agung," ujar Roichatul.
Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik melalui UU nomor 12 tahun 2005 dan berlaku sejak 2006. Â
Setiap negara yang menandatangani tersebut kemudian diundang oleh Komite Hak Asasi Manusi PBB dalam sebuah sesi dan didiskusikan mengenai perkembangan pencapaian hak sipil dan politik berdasarkan kompilasi laporan dari berbagai lembaga independen atau lembaga masyarakat terkait dengan isu tersebut. Â
Komite HAM PBB kemudian mengeluarkan laporan dari diskusi dan penilaian itu untuk diberikan kepada negara yang berkesempatan berkomentar atas laporan yang disampaikan. (Mut)