Liputan6.com, Jakarta: Seorang perempuan separuh baya berteriak histeris. Bujuk rayu petugas tak digubris Sumiyati--sebut saja begitu. Dia terus meronta dan memaki-maki. Seorang polwan [polisi wanita] kewalahan memegang tangan Sumiyati dan bergegas meminta tolong petugas lain. Belakangan terungkap, Sumiyati ternyata tenaga kerja Indonesia yang ditipu seseorang. Harta bendanya selama bekerja di luar negeri amblas dicolong.
Bagi aparat Kepolisian Sektor Khusus Bandar Udara Sukarno-Hatta, pemandangan demikian menjadi makanan sehari-hari. Kasus penipuan dan pemerasan TKI cenderung meningkat menjelang Idul Fitri. Betapa tidak. TKI yang mudik melalui Terminal III Bandara Sukarno-Hatta membludak sampai 1.500 orang sehari. Padahal, pada hari normal cuma separuh dari angka itu. "Jangankan di Terminal III, pemerasan juga sering terjadi di Terminal II," kata Koordinator Lapangan Pemulangan TKI Ajun Komisaris Besar Polisi Hermawati.
Tim Liputan6 yang menyamar sebagai TKI menemukan bukti-bukti pemerasan itu. Dari hasil pengintaian kamera tersembunyi, proses kepulangan TKI ternyata sangat rumit dan melelahkan. Proses penjemputan dimulai dari Terminal II, tempat para TKI turun dari pesawat. Lantas TKI digiring ke Terminal III dengan menumpang bus. Dari satu proses itu saja, seorang TKI harus merogoh kocek Rp 20 ribu, separuh untuk jasa menaikkan barang bawaan ke bagasi bus dan Rp 10 ribu lagi untuk menurunkan barang dari bagasi ketika sampai di Terminal III.
Di Terminal II, TKI mesti mendaftarkan diri di loket pendataan milik Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans). Lagi, TKI wajib membayar Rp 25 ribu. Mereka kemudian mengisi formulir tentang nama diri dan nama penjemputnya. Di loket pendataan paspor, TKI kembali diminta menyelipkan uang sekitar Rp 10-20 ribu.
Para penjemput juga dimintai duit. TKI harus membayar Rp 5.000 di loket pemanggilan jemputan. Penjemput yang sudah dipanggil diminta membayar Rp 10 ribu oleh petugas di pintu gerbang masuk Terminal III. Pada saat penjemput masuk untuk mengambil TKI, mereka kembali ditagih Rp 30 ribu.
Nah, mari berhitung. Total biaya yang wajib dikeluarkan dalam proses penjemputan itu bisa mencapai Rp 110 ribu untuk seorang TKI. Andai, sehari ada 500 TKI yang datang, duit yang bisa dikumpulkan petugas bandel bisa mencapai sebesar Rp 55 juta. Luar biasa. Padahal, Terminal III sengaja disediakan Depnakertrans dan Departemen Perhubungan untuk melindungi para TKI. Eh... malah jadi sarang penyamun. "Sopir yang mengantar saya pulang pun ngotot minta duit bensin dua ratus ribu [Rp 200 ribu]," keluh Badriah, TKI asal Jawa Timur.
Untunglah Badriah berani melaporkan kasus itu ke polisi. Tiga orang pelakunya diciduk jajaran Polsek Bandara Sukarno-Hatta. Tapi, sebagian besar TKI yang juga menjadi korban memilih bungkam. Sementara Pengelola Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) ongkang-ongkang kaki alias membiarkan persoalan tadi menggurita. Tim Advokasi bentukan pemerintah pun belum bekerja maksimal.
Padahal, persoalan TKI sebenarnya bukan hanya seputar pemerasan dan penipuan. Kasus pelecehan seksual bahkan penganiayaan fisik terhadap TKI cukup banyak terjadi. Saat ini, belasan TKI masih dirawat di Rumah Sakit Polri Kramatjati. Sebagian di antaranya mengalami depresi. Penyebabnya, diperkosa majikan atau dipukuli sampai cacat fisik. Henny Riana SpKj (Spesialis Kejiwaan) mengaku bingung karena pasien datang tanpa keterangan resmi dari pihak manapun. " Surat keterangan kondisi pasien tak ada," kata Riana.
Hal tersebut membuktikan PJTKI ogah repot mengurus tenaga kerjanya yang terlibat masalah. Tutup mata tutup telinga. Itu saja. November silam, SCTV sempat diminta membebaskan Suyanti, TKI asal Blitar, Jatim. PT Anton Permai Sejahtera (APS) yang mengirim Suyanti menolak dituduh menyekap gadis itu. "Nggak bener dia [Suyanti] disekap. Pulang dari luar negeri dijemput dari perusahaan," kata Sudiarto Tampubolon, pengacara PT APS. Anehnya, ketika Suyanti hendak dijemput, perusahaan pengerah TKI itu meminta uang tebusan Rp 5 juta.
Setelah melalui proses berbelit-belit, Suyanti akhirnya bebas. Kini, dia berada di tengah keluarganya di Blitar. Upah hasil bekerja di luar negeri ludes. Menurut Sudiarto, gaji Suyanti dipakai untuk mengganti seluruh ongkos keberangkatan ke luar negeri. "Gaji yang dia dapat untuk membayar biaya kedatangan dari Malang, paspor, sampai ongkos ke luar negeri," ujar Sudiarto. Suyanti pasrah. Kendati begitu, ia mengaku beruntung bisa pulang.
Cerita lain yang tersisa tentang TKI, yakni kelahiran anak hasil pernikahan di bawah tangan. Adalah Meriyah, TKI asal Desa Jago, Lombok Tengah, Nusatenggara Barat. Meriyah berangkat ke Malaysia pada 1999 dan menikah dengan seorang lelaki Pakistan. Di usia kandungan tujuh bulan, Meriyah pulang kampung tanpa suami. Oroknya, Mulyatini, lahir dibantu pasangan dukun beranak Ama Nur dan Ina Rah. Setelah itu, Meriyah kabur ke Negeri Jiran dan tak pernah pulang lagi.
Ama dan Ina Rah-lah yang akhirnya mengurus Mulyatini. Pria itu tak lagi bisa berdagang tempe karena merawat Mulyantini yang lahir prematur. Lantaran tak dibekali uang oleh Meriyah, Ama hanya mampu menghangatkan Mulyantini dengan botol air panas dibungkus handuk. Kini, Mulyantini tumbuh menjadi gadis mungil cantik. Bocah berusia tiga tahun ini hanya mengenal Ama dan Ina Rah sebagai orangtuanya.
Mohammad Ali juga bernasib sama. Rukiah, sang ibu meninggalkan Mohammad Ali begitu saja, bersama neneknya di Kota Praya, NTB. Raut Ali sering murung. Bocah kelas IV sebuah madrasah aliyah itu selalu membisu ketika teman-temannya bertanya soal ayahnya. Ali adalah anak hasil hubungan gelap. Tanpa cerita yang jelas, Rukiah pulang dengan perut buncit setelah bekerja di Arab Saudi. Rukiah disebut-sebut menikah dengan pria Arab tanpa identitas jelas.
Ketidakjelasan status itulah yang diyakini membuat Ali tumbuh menjadi anak agresif dan kurang konsentrasi. "Kondisi sosial itu terjadi karena ia [Ali] dianggap anak haram atau lahir di luar nikah," kata Endang Susilawati, aktivis lembaga swadaya masyarakat. Bisa jadi karena malu, Rukiah akhirnya memilih bekerja jauh dari kampungnya, yakni bertani jambu mete di Sumbawa. Tinggallah Ali dengan segudang pertanyaan tentang bapaknya. Kini, setiap malam Ali hanya menanamkan satu mimpi. "Kalo sudah besar mau jadi pilot dan pergi ke Mekah cari bapak," kata Ali, polos.(KEN)
Bagi aparat Kepolisian Sektor Khusus Bandar Udara Sukarno-Hatta, pemandangan demikian menjadi makanan sehari-hari. Kasus penipuan dan pemerasan TKI cenderung meningkat menjelang Idul Fitri. Betapa tidak. TKI yang mudik melalui Terminal III Bandara Sukarno-Hatta membludak sampai 1.500 orang sehari. Padahal, pada hari normal cuma separuh dari angka itu. "Jangankan di Terminal III, pemerasan juga sering terjadi di Terminal II," kata Koordinator Lapangan Pemulangan TKI Ajun Komisaris Besar Polisi Hermawati.
Tim Liputan6 yang menyamar sebagai TKI menemukan bukti-bukti pemerasan itu. Dari hasil pengintaian kamera tersembunyi, proses kepulangan TKI ternyata sangat rumit dan melelahkan. Proses penjemputan dimulai dari Terminal II, tempat para TKI turun dari pesawat. Lantas TKI digiring ke Terminal III dengan menumpang bus. Dari satu proses itu saja, seorang TKI harus merogoh kocek Rp 20 ribu, separuh untuk jasa menaikkan barang bawaan ke bagasi bus dan Rp 10 ribu lagi untuk menurunkan barang dari bagasi ketika sampai di Terminal III.
Di Terminal II, TKI mesti mendaftarkan diri di loket pendataan milik Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans). Lagi, TKI wajib membayar Rp 25 ribu. Mereka kemudian mengisi formulir tentang nama diri dan nama penjemputnya. Di loket pendataan paspor, TKI kembali diminta menyelipkan uang sekitar Rp 10-20 ribu.
Para penjemput juga dimintai duit. TKI harus membayar Rp 5.000 di loket pemanggilan jemputan. Penjemput yang sudah dipanggil diminta membayar Rp 10 ribu oleh petugas di pintu gerbang masuk Terminal III. Pada saat penjemput masuk untuk mengambil TKI, mereka kembali ditagih Rp 30 ribu.
Nah, mari berhitung. Total biaya yang wajib dikeluarkan dalam proses penjemputan itu bisa mencapai Rp 110 ribu untuk seorang TKI. Andai, sehari ada 500 TKI yang datang, duit yang bisa dikumpulkan petugas bandel bisa mencapai sebesar Rp 55 juta. Luar biasa. Padahal, Terminal III sengaja disediakan Depnakertrans dan Departemen Perhubungan untuk melindungi para TKI. Eh... malah jadi sarang penyamun. "Sopir yang mengantar saya pulang pun ngotot minta duit bensin dua ratus ribu [Rp 200 ribu]," keluh Badriah, TKI asal Jawa Timur.
Untunglah Badriah berani melaporkan kasus itu ke polisi. Tiga orang pelakunya diciduk jajaran Polsek Bandara Sukarno-Hatta. Tapi, sebagian besar TKI yang juga menjadi korban memilih bungkam. Sementara Pengelola Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) ongkang-ongkang kaki alias membiarkan persoalan tadi menggurita. Tim Advokasi bentukan pemerintah pun belum bekerja maksimal.
Padahal, persoalan TKI sebenarnya bukan hanya seputar pemerasan dan penipuan. Kasus pelecehan seksual bahkan penganiayaan fisik terhadap TKI cukup banyak terjadi. Saat ini, belasan TKI masih dirawat di Rumah Sakit Polri Kramatjati. Sebagian di antaranya mengalami depresi. Penyebabnya, diperkosa majikan atau dipukuli sampai cacat fisik. Henny Riana SpKj (Spesialis Kejiwaan) mengaku bingung karena pasien datang tanpa keterangan resmi dari pihak manapun. " Surat keterangan kondisi pasien tak ada," kata Riana.
Hal tersebut membuktikan PJTKI ogah repot mengurus tenaga kerjanya yang terlibat masalah. Tutup mata tutup telinga. Itu saja. November silam, SCTV sempat diminta membebaskan Suyanti, TKI asal Blitar, Jatim. PT Anton Permai Sejahtera (APS) yang mengirim Suyanti menolak dituduh menyekap gadis itu. "Nggak bener dia [Suyanti] disekap. Pulang dari luar negeri dijemput dari perusahaan," kata Sudiarto Tampubolon, pengacara PT APS. Anehnya, ketika Suyanti hendak dijemput, perusahaan pengerah TKI itu meminta uang tebusan Rp 5 juta.
Setelah melalui proses berbelit-belit, Suyanti akhirnya bebas. Kini, dia berada di tengah keluarganya di Blitar. Upah hasil bekerja di luar negeri ludes. Menurut Sudiarto, gaji Suyanti dipakai untuk mengganti seluruh ongkos keberangkatan ke luar negeri. "Gaji yang dia dapat untuk membayar biaya kedatangan dari Malang, paspor, sampai ongkos ke luar negeri," ujar Sudiarto. Suyanti pasrah. Kendati begitu, ia mengaku beruntung bisa pulang.
Cerita lain yang tersisa tentang TKI, yakni kelahiran anak hasil pernikahan di bawah tangan. Adalah Meriyah, TKI asal Desa Jago, Lombok Tengah, Nusatenggara Barat. Meriyah berangkat ke Malaysia pada 1999 dan menikah dengan seorang lelaki Pakistan. Di usia kandungan tujuh bulan, Meriyah pulang kampung tanpa suami. Oroknya, Mulyatini, lahir dibantu pasangan dukun beranak Ama Nur dan Ina Rah. Setelah itu, Meriyah kabur ke Negeri Jiran dan tak pernah pulang lagi.
Ama dan Ina Rah-lah yang akhirnya mengurus Mulyatini. Pria itu tak lagi bisa berdagang tempe karena merawat Mulyantini yang lahir prematur. Lantaran tak dibekali uang oleh Meriyah, Ama hanya mampu menghangatkan Mulyantini dengan botol air panas dibungkus handuk. Kini, Mulyantini tumbuh menjadi gadis mungil cantik. Bocah berusia tiga tahun ini hanya mengenal Ama dan Ina Rah sebagai orangtuanya.
Mohammad Ali juga bernasib sama. Rukiah, sang ibu meninggalkan Mohammad Ali begitu saja, bersama neneknya di Kota Praya, NTB. Raut Ali sering murung. Bocah kelas IV sebuah madrasah aliyah itu selalu membisu ketika teman-temannya bertanya soal ayahnya. Ali adalah anak hasil hubungan gelap. Tanpa cerita yang jelas, Rukiah pulang dengan perut buncit setelah bekerja di Arab Saudi. Rukiah disebut-sebut menikah dengan pria Arab tanpa identitas jelas.
Ketidakjelasan status itulah yang diyakini membuat Ali tumbuh menjadi anak agresif dan kurang konsentrasi. "Kondisi sosial itu terjadi karena ia [Ali] dianggap anak haram atau lahir di luar nikah," kata Endang Susilawati, aktivis lembaga swadaya masyarakat. Bisa jadi karena malu, Rukiah akhirnya memilih bekerja jauh dari kampungnya, yakni bertani jambu mete di Sumbawa. Tinggallah Ali dengan segudang pertanyaan tentang bapaknya. Kini, setiap malam Ali hanya menanamkan satu mimpi. "Kalo sudah besar mau jadi pilot dan pergi ke Mekah cari bapak," kata Ali, polos.(KEN)