Liputan6.com, Pontianak: Banjir yang menerjang sejumlah daerah di Tanah Air, kian parah. Di Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat, misalnya. Enam dusun di Desa Pasir, Kecamatan Mempawah Hilir, Kabupaten Pontianak, kini nyaris tenggelam akibat banjir. Lebih dari enam ribu warga atau 750 kepala keluarga di enam dusun tersebut kini menyelamatkan diri ke atas bukit atau tinggal di perahu. Mereka terancam kekurangan pangan mengingat seluruh lahan pertanian juga terendam air bah. Ironisnya, kondisi ini sudah berlangsung hampir sepekan. Keenam dusun tersebut antara lain Sebukitama, Sirap, Cengkodok, Parit Amanku, Lestari, dan Pasir Laut.
Musibah banjir yang melanda enam dusun itu lantaran hujan deras dan kiriman dari daerah hulu. Tak heran, jika ketinggian air akibat banjir mencapai dua meter dari permukaan tanah sekaligus menggenangi seluruh rumah warga yang umumnya berbentuk panggung itu. Tak hanya itu, banjir juga mengakibatkan jalur transportasi darat terputus. Untuk mencapai Desa Pasir, hanya dapat ditempuh dengan menggunakan sampan sejauh 13 kilometer dari jalan raya karena seluruh desa digenangi banjir. Sejauh ini, kondisi ribuan warga yang mengungsi itu sangat memprihatinkan. Mereka hanya mengandalkan sisa-sisa makanan yang ada. Sementara pemerintah daerah setempat belum memberikan bantuan.
Kondisi serupa terjadi di sejumlah daerah lainnya. Di Jambi, hujan deras yang mengakibatkan meluapnya Sungai Batanghari mulai berdampak hingga ke sejumlah anak sungai. Ada lima kabupaten di sana yang tergenang banjir, yaitu Kabupaten Batanghari, Muarojambi, Kota Jambi, Sorolangun, dan Tanjungjabung Timur. Bahkan, di Sorolangun, banjir telah menewaskan dua orang akibat terseret air Sungai Batangasai yang meluap. Tak hanya itu, banjir juga merobohkan tiga jembatan di desa Marga Batin dan mengakibatkan enam desa di sana terisolir [baca: Banjir Melanda Purbalingga, Ratusan Rumah Terendam].
Di Riau, banjir meluas menyusul naiknya permukaan Sungai Kampar. Bahkan, air bah sudah menggenangi sepuluh rumah di lima kecamatan, yakni Siak Hulu, Kampar Hulu, Kampar Hilir, Tambang, dan Pelalawan. Selain tingginya curah hujan, banjir juga diduga akibat kritisnya daerah aliran sungai. Apalagi, di Kecamatan Pelalawan yang terletak di hulu adalah tempat bertemunya arus Sungai Kampar Kiri dan Kampar Kanan [baca: Banjir di Pekanbaru Kian Parah].
Bencana serupa berlangsung di Medan, Sumatra Utara. Banjir di sana disebabkan meluapnya Sungai Deli yang membelah Kota Medan. Akibatnya, ribuan rumah terendam banjir dengan ketinggian air mencapai satu setengah meter. Berdasarkan data Badan Meteorologi dan Geofisika setempat, dalam dua hari terakhir curah hujan mencapai 350 milimeter. Curah ini jauh di atas normal yang sebesar 220 milimeter.
Di sisi lain, musibah banjir bagi sebagian besar orang adalah ujian berat. Tapi berbeda dengan Murod, warga Kelurahan Sungai Asam, Jambi. Bagi lelaki tua berusia 78 tahun ini, banjir menjadi hal biasa. Selain langganan tiap tahun, Murod memang tak mempunyai pilihan lain yakni bertahan. Padahal, ketinggian air di sekitar rumahnya mencapai satu meter. Dengan kekuatan yang ada, ia bersama istri dan seorang anaknya mencoba menaklukkan keadaan yang ada.
Untuk menyelamatkan beberapa perabotan rumahnya, pensiunan polisi ini mengaku sengaja membuat meja khusus setinggi satu meter dari lantai. Di tempat inilah, Murod mengaku, berbagai aktivitas dijalankan mulai dari tidur, makan, mencuci, dan buang hajat. Sedangkan kebutuhan air, ia memanfaatkan air genangan untuk mencuci dan mandi. Sedangkan untuk minum ia harus membeli.
Murod menambahkan, kondisi serupa sudah dialaminya sedikitnya 13 kali selama tinggal di sana. Kendati begitu, ia tetap enggan pindah. Pasalnya, selain tak mempunyai uang, keluarganya juga sudah betah di sana. Untungnya, meski saban tahun kebanjiran, anggota keluarganya tak pernah menderita penyakit kulit, diare atau penyakit lain akibat genangan air.(ORS/Tim Liputan 6 SCTV)
Musibah banjir yang melanda enam dusun itu lantaran hujan deras dan kiriman dari daerah hulu. Tak heran, jika ketinggian air akibat banjir mencapai dua meter dari permukaan tanah sekaligus menggenangi seluruh rumah warga yang umumnya berbentuk panggung itu. Tak hanya itu, banjir juga mengakibatkan jalur transportasi darat terputus. Untuk mencapai Desa Pasir, hanya dapat ditempuh dengan menggunakan sampan sejauh 13 kilometer dari jalan raya karena seluruh desa digenangi banjir. Sejauh ini, kondisi ribuan warga yang mengungsi itu sangat memprihatinkan. Mereka hanya mengandalkan sisa-sisa makanan yang ada. Sementara pemerintah daerah setempat belum memberikan bantuan.
Kondisi serupa terjadi di sejumlah daerah lainnya. Di Jambi, hujan deras yang mengakibatkan meluapnya Sungai Batanghari mulai berdampak hingga ke sejumlah anak sungai. Ada lima kabupaten di sana yang tergenang banjir, yaitu Kabupaten Batanghari, Muarojambi, Kota Jambi, Sorolangun, dan Tanjungjabung Timur. Bahkan, di Sorolangun, banjir telah menewaskan dua orang akibat terseret air Sungai Batangasai yang meluap. Tak hanya itu, banjir juga merobohkan tiga jembatan di desa Marga Batin dan mengakibatkan enam desa di sana terisolir [baca: Banjir Melanda Purbalingga, Ratusan Rumah Terendam].
Di Riau, banjir meluas menyusul naiknya permukaan Sungai Kampar. Bahkan, air bah sudah menggenangi sepuluh rumah di lima kecamatan, yakni Siak Hulu, Kampar Hulu, Kampar Hilir, Tambang, dan Pelalawan. Selain tingginya curah hujan, banjir juga diduga akibat kritisnya daerah aliran sungai. Apalagi, di Kecamatan Pelalawan yang terletak di hulu adalah tempat bertemunya arus Sungai Kampar Kiri dan Kampar Kanan [baca: Banjir di Pekanbaru Kian Parah].
Bencana serupa berlangsung di Medan, Sumatra Utara. Banjir di sana disebabkan meluapnya Sungai Deli yang membelah Kota Medan. Akibatnya, ribuan rumah terendam banjir dengan ketinggian air mencapai satu setengah meter. Berdasarkan data Badan Meteorologi dan Geofisika setempat, dalam dua hari terakhir curah hujan mencapai 350 milimeter. Curah ini jauh di atas normal yang sebesar 220 milimeter.
Di sisi lain, musibah banjir bagi sebagian besar orang adalah ujian berat. Tapi berbeda dengan Murod, warga Kelurahan Sungai Asam, Jambi. Bagi lelaki tua berusia 78 tahun ini, banjir menjadi hal biasa. Selain langganan tiap tahun, Murod memang tak mempunyai pilihan lain yakni bertahan. Padahal, ketinggian air di sekitar rumahnya mencapai satu meter. Dengan kekuatan yang ada, ia bersama istri dan seorang anaknya mencoba menaklukkan keadaan yang ada.
Untuk menyelamatkan beberapa perabotan rumahnya, pensiunan polisi ini mengaku sengaja membuat meja khusus setinggi satu meter dari lantai. Di tempat inilah, Murod mengaku, berbagai aktivitas dijalankan mulai dari tidur, makan, mencuci, dan buang hajat. Sedangkan kebutuhan air, ia memanfaatkan air genangan untuk mencuci dan mandi. Sedangkan untuk minum ia harus membeli.
Murod menambahkan, kondisi serupa sudah dialaminya sedikitnya 13 kali selama tinggal di sana. Kendati begitu, ia tetap enggan pindah. Pasalnya, selain tak mempunyai uang, keluarganya juga sudah betah di sana. Untungnya, meski saban tahun kebanjiran, anggota keluarganya tak pernah menderita penyakit kulit, diare atau penyakit lain akibat genangan air.(ORS/Tim Liputan 6 SCTV)