Sukses

Belanda Akui Kekejaman Westerling, Selanjutnya?

Pemerintah Belanda mengakui kekejaman tentaranya di Rawagede dan dalam kasus Pembantaian Westerling. Selanjutnya apa?

Sekali lagi, pemerintah Belanda meminta maaf atas kekejaman yang pernah dilakukan di Indonesia. Permintaan maaf itu ditujukan kepada 10 orang janda yang suaminya tewas akibat kekejaman Raymond Pierre Paul Westerling, tentara Belanda yang membantai sekitar 40 ribu warga di desa-desa di Sulawesi Selatan sepanjang Desember 1946-Februari 1947.

Tidak hanya itu, pemerintah Belanda juga akan memberikan kompensasi kepada para janda tersebut. Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, mengumumkan pemerintah Belanda akan membayar € 20 ribu atau sekitar Rp 280 juta lebih kepada para janda korban. Duta besar Belanda untuk Indonesia secara resmi juga akan hadir pada upacara di Jakarta pada 12 September mendatang.

Kendati kabar ini sangat melegakan, perjuangan bagi 10 janda tersebut untuk mendapatkan keadilan tidaklah mudah. Pilihan untuk meminta maaf serta memberikan ganti rugi baru diputuskan setelah melewati serangkaian perdebatan yang alot dan melelahkan.

Jalan panjang menuju keadilan itu dimulai ketika 10 perwakilan keluarga korban pembantaian tentara Belanda di Indonesia pada 1947 secara resmi menuntut kompensasi dan permintaan maaf dari pemerintah Belanda, Senin 7 Mei 2012. Pengacara Liesbeth Zegveld yang mendampingi mereka mengatakan korban dibunuh dalam serangkaian pembantaian di desa-desa Sulawesi Selatan.

Sejarah Indonesia mencatat peristiwa itu sebagai Pembantaian Westerling yang diambil dari nama pemimpin pasukan khusus Belanda Depot Speciale Troepen, Raymond Pierre Paul Westerling.

Dalam gugatan disebutkan, pemerintah Belanda harus bertanggung jawab dan memberi ganti rugi bagi keluarga korban kekejaman Westerling. Bagaimanapun juga, karena Westerling mendapatkan mandat dari pemerintah Belanda, maka pemerintah Belanda harus ikut bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya.

Zegveld menduga salah satu pembantaian terjadi di desa Galung Lombok pada 1 Februari 1947. Surat itu juga mengklaim bahwa pasukan Belanda memasuki desa di pagi hari, memerintahkan warga meninggalkan rumah sebelum membakar rumah mereka dan mengeksekusi 364 orang.

Salah satu klien Zegveld, Asia Sitti, adalah anak perempuan dari sesepuh desa dan menyaksikan pembantaian itu. Sitti saat itu berusia 12 tahun ketika ayahnya ditembak mati di hadapannya, demikian diungkapkan Zegveld.

Di desa lain, Bulukumba, Zegveld menduga 250 orang lelaki dieksekusi pada Januari 1947. Beberapa ditembak ketika berusaha melarikan diri di persawahan, yang lainnya ditembak di depan lubang yang sudah mereka gali.

"Orang-orang itu ditembak dari belakang sehingga mereka langsung terjatuh ke lubang. Sebagian besar korban adalah petani atau nelayan," tulis surat gugatan itu.

Hanya setahun, 1946 sampai 1947, tapi perilaku beringas Westerling dan para serdadunya meninggalkan sejarah kelam bagi masyarakat Sulsel. Sebanyak 40 ribu orang tewas dibantai, meski versi Belanda menyebut angka sekitar 3.000. Sedangkan Westerling mengaku, korban 'hanya' 600 orang.

Dengan alasan mencari 'kaum ekstremis', 'perampok', 'penjahat', dan 'pembunuh', Westerling masuk ke kampung-kampung. Siapa yang dianggap berbahaya bagi Belanda, dibunuh.

Metodenya tak hanya menggunakan berondongan senapan. Dalam sebuah buku yang ditulis Horst H. Geerken, tak hanya menginstruksikan tembak tengkuk --sebuah metode cepat dan mematikan untuk membunuh-- komandan pasukan khusus Belanda itu juga menginstruksikan penggal kepala. "Ratusan karung sarat penggalan kepala dilarung ke laut untuk menghilangkan identitas," demikian isi buku Horst yang dikutip Indonesian Voices.

Westerling sendiri pernah mengakui perbuatannya itu. Pengakuan itu ia sampaikan dalam sebuah wawancara di sebuah program televisi di stasiun NCRV. "Akulah yang bertanggung jawab, bukan tentara di bawah komandoku. Aku sendiri, secara personal yang memutuskannya," kata dia dalam sebuah wawancara di tahun 1969, seperti dimuat situs Volkskrant, 14 Agustus 2012.

Gugatan perdata dilayangkan, sebab tak mungkin untuk mengajukan tuntutan pidana pada kasus yang terjadi jauh di masa lalu karena pelakunya sudah meninggal dunia. Karena itu, pembicaraan antara pihak penggugat dan pemerintah Belanda lebih banyak berkisar pada desakan untuk meminta maaf serta pemberian ganti rugi dan tidak sampai ke pengadilan.

Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda, Jeffry Pondaag, mengatakan negosiasi untuk menuntut ganti rugi janda korban pembantaian Westerling sempat mandeg. Menurut Jeffry, kebuntuan tersebut akibat dari niat Pemerintah Belanda yang awalnya ingin membayar ganti rugi hanya 10 ribu euro.

Kebuntuan yang terjadi pada bulan April 2013 tersebut berakhir karena itikad baik dari Menteri Luar Negeri Belanda, Frans Timmermans. Frans, kata Jeffry, menyatakan sangat menyesal atas pembantaian Westerling dan berjanji untuk membicarakannya di kabinet.

Usai pembicaraan tersebut, Pemerintah Belanda menyetujui untuk menyelesaikan secepatnya kasus-kasus seperti Rawagede dan Westerling. "Akhirnya, pengacara Belanda melanjutkan negosiasinya dengan pengacara kami," kata Jeffry.

Sejak April hingga Agustus, kesepakatan yang dicapai hanya mengenai jumlah ganti rugi. Sedangkan untuk permintaan maaf, pemerintah Belanda masih merundingkannya. Menurut Jeffry, Frans dan Partai Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, Partai Volkpartij voor Vrijheiden Democratie, masih berselisih pendapat. Frans setuju untuk meminta maaf keapda seluruh rakyat Indonesia, sedangkan Partai VVD merasa cukup meminta maaf kepada korban pembantaian.

Setelah melalui perdebatan yang alot, Kamis 8 Agustus 2013, pemerintah Belanda akhirnya mengakui dan meminta maaf secara terbuka atas kejahatan yang pernah dilakukan tentaranya puluhan tahun silam itu. "Jumlah nilai ganti ruginya sama dengan yang diberikan kepada keluarga korban peristiwa Rawagede," kata Jeffry.

Benar, permintaan maaf serta pembayaran ganti rugi bagi korban kekejaman Westerling bukan kali pertama dilakukan pemerintah Belanda. Setahun sebelumnya, 14 September 2011, Pengadilan Sipil di Distrik Den Haag, Belanda, memutuskan bahwa Belanda telah melakukan kejahatan perang dalam kasus Tragedi Rawagede atas gugatan yang diajukan janda para korban pada 2008.

Dengan putusan ini, pemerintah Belanda diwajibkan untuk memberikan kompensasi terhadap keluarga korban dan meminta maaf secara resmi atas peristiwa tersebut. Perjuangan para keluarga korban dilakukan sejak 2008. Sidang yang dipimpin D.A. Schreuder ini memenangkan tuntutan sembilan orang keluarga korban tragedi Rawagede.

Inilah kali pertama pengadilan Belanda mengakui pemerintahnya bertanggung jawab dalam peristiwa yang terjadi puluhan tahun silam di Indonesia. Pengadilan menegaskan tidak masuk akal bagi pemerintah Belanda untuk berpandangan bahwa para janda korban tidak berhak mendapatkan ganti rugi karena kasusnya kedaluwarsa.

Sebelumnya, kasus ini selalu kandas dengan alasan bahwa perkaranya sudah kedaluwarsa untuk disidangkan. Hal ini dikarenakan dalam hukum Belanda, korban perang yang menuntut haknya harus dalam jangka waktu tertentu (5 tahun setelah kejadian) untuk bisa memulai proses perdata. Jika tidak, kasus tersebut dianggap kedaluwarsa atau tidak layak diperkarakan.

Namun kali ini pengadilan menetapkan pengecualian demi alasan keadilan. Zegveld yang ketika itu juga menjadi pengacara keluarga korban akhirnya menerima putusan pemerintah Belanda yang akan melakukan permintaan maaf secara terbuka pada 9 Desember 2011 dan adanya kompensasi atau ganti rugi.

Dengan adanya putusan pengadilan yang kemudian ditindaklanjuti oleh putusan pemerintah Belanda untuk meminta maaf dan membayar ganti rugi dalam kasus Rawagede, secara tidak langsung pemerintah Belanda mengakui bahwa ini adalah kejahatan perang dan kejahatan besar.

Pengakuan resmi ini dinilai penting karena Belanda sebelumnya tidak pernah secara hukum menyatakan melakukan tindak kejahatan di masa lalu.

Tragedi Rawagede terjadi pada 9 Desember 1947, pukul 04.00 WIB, atau satu hari setelah dilaksanakannya Perjanjian Renville. Rawagede adalah nama sebuah desa yang kini telah berubah menjadi Desa Balongsari. Desa ini terletak di Kecamatan Rawamerta, Kabupaten Karawang, sekitar 15 kilometer ke arah Timur Laut dari ibu kota kabupaten.

Sejak sebelum perang kemerdekaan, Rawagede sudah menjadi daerah markas para laskar pejuang. Rawagede dipilih karena saat itu dilintasi jalur kereta api Karawang-Rengasdengklok dan salah satu stasiun itu ada di sana.

Saat kejadian, pimpinan operasi pembersihan Mayor Alphons Wijnen mengerahkan pasukan untuk mengepung desa dan memerintahkan semua penduduk untuk berkumpul. Pada penduduk, tentara Belanda menanyakan keberadaan para pejuang republik, khususnya Kapten Lukas Kustario.

Karena tak ada yang mengaku, semua penduduk laki-laki diperintahkan berdiri berjejer di lapangan. Menurut salah seorang korban selamat, Saih bin Sakam, ia termasuk dari sekitar 20 orang penduduk pria yang mendapat perintah untuk berdiri berjejer. Di antara mereka adalah ayah dan para tetangga Saih bin Sakam.

Kemudian mereka diberondong oleh tentara Belanda. Saih bin Sakam kena tembakan di tangan. Ia menjatuhkan diri dan pura-pura mati. Beberapa lama kemudian, saat ada kesempatan, ia segera melarikan diri.

Mengenai jumlah korban tewas, beberapa sumber menyebut angka berbeda. Menurut buku De Excessennota, tentara Belanda mengeksekusi sekitar 20 orang penduduk. Dan jumlah korban tewas selama operasi berlangsung 150 jiwa. Sementara pada batu peringatan di Taman Makam Pahlawan Sampurnaraga, jumlah korban tewas di Rawagede pada tanggal 9 Desember 1947 tersebut 431 jiwa.

Harm Scholtens, seorang sejarawan Belanda, menemukan angka lain, dari arsip het Hooggerechtshof (Pengadilan Tinggi) di Batavia. Tentara Belanda pada hari itu melakukan eksekusi sebanyak 8 atau 9 kali. Dengan cara menjejerkan penduduk yang akan dieksekusi. Dan setiap jejeran terdiri dari 12 orang.

Selanjutnya, di luar desa, mereka masih menembak mati sekitar 7 atau 10 orang penduduk lainnya. Dengan demikian, menurut Harm Scholtens, jumlah korban eksekusi antara 100 hingga 120 jiwa.

Preseden dari kedua gugatan ini sangat jelas. Besar kemungkinan keluarga korban kekejaman tentara Belanda lainnya di masa lalu akan mengajukan gugatan yang sama. Tapi, tentu tak mudah untuk mencari bukti dari sebuah kejahatan yang terjadi lebih dari setengah abad silam dan pelakunya sudah tak bisa lagi memberi kesaksian. (Ado)