Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menjadi salah satu LSM yang menyoroti dan mengritik putusan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Sudjiono Timan, koruptor dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Menurut Ketua YLBHI, Alvon Kurnia Palma, Mahkamah Agung (MA) harus benar-benar memperlihatkan keagungannya.
"Mahkamah Agung juga sekarang menjadi tidak agung lagi. Memang, orang bilang dia agung, tetapi faktanya tidak agung," kata Alvon di Gedung Komisi Hukum Nasional (KHN), Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (3/9/2013).
Alvon mengatakan, dari segi kelembagaan, MA harus bisa menciptakan keadilan. Karenanya, dengan segala problem yang ada di MA, lembaga peradilan tertinggi di Indonesia itu perlu membangun kembali citra MA sebagai lembaga yang memberi rasa keadilan.
"Kan fakta-faktanya banyak, misalnya terkait dengan miskin, masalah ketidakadilan, kasus korupsi yang putus secara kontroversial. Nah, hal-hal seperti itu mungkin bisa dipertanyakan. Tapi kalau misalnya satu per satu, seperti kasus (Sudjiono) ini sulit," katanya.
Alvon berujar, walaupun punya blue print tentang reformasi MA, lembaga pimpinan Hatta Ali itu memang relatif tidak terbuka. Misalnya, putusan-putusan sidang yang sulit diakses. "Seperti putusan Sudjiono Timan, sampai saat ini kan tidak bisa diakses sama sekali," ucapnya.
Menurut Alvon, MA memang secara kelembagaan relatif lebih "gelap" dibanding dengan Mahkamah Konstitusi (MK). Belum lagi, para hakim agung yang menilai mereka sebagai supreme judge. "Di sisi lain, kita juga melihat ada lembaga lain yang kompeten, seperti Komisi Yudisial (KY) untuk melihat perilaku para hakim itu," ujar Alvon.
Mahkamah Agung (MA) sebelumnya mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Sudjiono Timan. Padahal koruptor dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) itu dalam tingkat kasasi oleh MA divonis 15 tahun penjara.
Sudjiono Timan merupakan Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI). Dalam perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Sudjiono dinilai telah merugikan Negara sebesar US$ 120 juta dan Rp 98,7 juta. (Ali/Ism)
"Mahkamah Agung juga sekarang menjadi tidak agung lagi. Memang, orang bilang dia agung, tetapi faktanya tidak agung," kata Alvon di Gedung Komisi Hukum Nasional (KHN), Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (3/9/2013).
Alvon mengatakan, dari segi kelembagaan, MA harus bisa menciptakan keadilan. Karenanya, dengan segala problem yang ada di MA, lembaga peradilan tertinggi di Indonesia itu perlu membangun kembali citra MA sebagai lembaga yang memberi rasa keadilan.
"Kan fakta-faktanya banyak, misalnya terkait dengan miskin, masalah ketidakadilan, kasus korupsi yang putus secara kontroversial. Nah, hal-hal seperti itu mungkin bisa dipertanyakan. Tapi kalau misalnya satu per satu, seperti kasus (Sudjiono) ini sulit," katanya.
Alvon berujar, walaupun punya blue print tentang reformasi MA, lembaga pimpinan Hatta Ali itu memang relatif tidak terbuka. Misalnya, putusan-putusan sidang yang sulit diakses. "Seperti putusan Sudjiono Timan, sampai saat ini kan tidak bisa diakses sama sekali," ucapnya.
Menurut Alvon, MA memang secara kelembagaan relatif lebih "gelap" dibanding dengan Mahkamah Konstitusi (MK). Belum lagi, para hakim agung yang menilai mereka sebagai supreme judge. "Di sisi lain, kita juga melihat ada lembaga lain yang kompeten, seperti Komisi Yudisial (KY) untuk melihat perilaku para hakim itu," ujar Alvon.
Mahkamah Agung (MA) sebelumnya mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Sudjiono Timan. Padahal koruptor dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) itu dalam tingkat kasasi oleh MA divonis 15 tahun penjara.
Sudjiono Timan merupakan Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI). Dalam perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Sudjiono dinilai telah merugikan Negara sebesar US$ 120 juta dan Rp 98,7 juta. (Ali/Ism)