Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Pengujian Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Agendanya mendengarkan keterangan ahli.
Salah satu ahli, yakni Pakar Ekonomi Publik Universitas Andalas Padang, Hefrizal Hendra mengatakan, industri rokok memiliki dampak negatif yang besar kepada rakyat secara umum. Meski di satu sisi, industri rokok juga memberikan dampak akan terbukanya lapangan pekerjaan.
"Dampak negatif secara sosial dan ekonomi dari industri rokok itu justru harus ditanggung perokok aktif dan pasif," kata Hefrizal dalam sidang di Gedung MK, Jakarta, Kamis (12/9/2013).
Hefrizal mengatakan, pengenaan pajak ganda rokok sudah tepat. Sebab, hal itu untuk mengurangi dampak negatif tersebut. Apalagi jika dilihat, semakin banyak orang yang merokok, maka beban pemerintah untuk menyediakan layanan kesehatan semakin tinggi.
"Kebijakan pengenaan pajak untuk meningkatkan harga rokok agar peredarannya bisa dibatasi adalah sangat tepat," ujar dia.
Menurut Hefrizal, pajak rokok seperti yang tertuang dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 yang berlaku 1 Januari 2014 adalah sebesar 10 persen. Dari kaca mata Hefrizal, pajak 10 persen itu terlalu kecil.
"Mestinya lebih, agar harga rokok semakin mahal," kata Hefrizal.
Menurut Hefrizal, rokok yang dijadikan objek pajak dalam pasal tersebut merupakan barang konsumsi pribadi (privat good) yang bukan termasuk kebutuhan dasar. Rokok lebih banyak memberikan akibat buruk kepada orang yang mengonsumsinya.
"Karena itu, perlu ada pembatasan agar tidak merusak masyarakat secara umum," ujarnya.
Ahli lainnya, yakni Guru Besar Pajak Universitas Indonesia (UI) Gunadi juga menyampaikan hal senada. Ia menilai dampak negatif rokok tidak hanya terjadi pada daerah penghasil rokok atau tembakau. Akan tetapi juga dialami daerah lainnya.
Gunadi mengatakan, karena itu pajak rokok digunakan sebagai retribusi tambahan nantinya akan digunakan untuk pemenuhan pelayanan publik sebagai dampak negatif dari rokok.
"Seperti pelayanan kesehatan, pendidikan serta penanganan hukum," ucap Gunadi.
Uji materi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) ini dimohonkan oleh 5 orang yang mengaku sebagai perokok sejati. Mereka adalah anggota tim RUU HAM Mulyana Wirakusumah, anggota PHBI Hendardi, anggota Dewan Pimpinan Kerukunan Tani Indonesia Aizzudin, Ketua Presidium IPW Neta S Pane, dan Bambang Isti Nugroho.
Sebagai perokok, para Pemohon itu merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan ketentuan pajak ganda terhadap rokok, yakni pajak rokok atas cukai rokok. Mereka mempermasalahkan Pasal 1 angka 19, Pasal 2 ayat 1 huruf e, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 94 ayat 1 huruf c, dan Pasal 181 dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (DPRD), yang dinilai telah bertentangan dengan konstitusional, yakni Pasal 28D ayat 1 UUD 1945.
Sebab, menurut para Pemohon, UU No 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No 11 Tahun 1995 tentang Cukai, juga telah menetapkan cukai rokok sebagai jenis pajak tidak langsung yang dipungut Negara atas produk rokok. (Ein)
Salah satu ahli, yakni Pakar Ekonomi Publik Universitas Andalas Padang, Hefrizal Hendra mengatakan, industri rokok memiliki dampak negatif yang besar kepada rakyat secara umum. Meski di satu sisi, industri rokok juga memberikan dampak akan terbukanya lapangan pekerjaan.
"Dampak negatif secara sosial dan ekonomi dari industri rokok itu justru harus ditanggung perokok aktif dan pasif," kata Hefrizal dalam sidang di Gedung MK, Jakarta, Kamis (12/9/2013).
Hefrizal mengatakan, pengenaan pajak ganda rokok sudah tepat. Sebab, hal itu untuk mengurangi dampak negatif tersebut. Apalagi jika dilihat, semakin banyak orang yang merokok, maka beban pemerintah untuk menyediakan layanan kesehatan semakin tinggi.
"Kebijakan pengenaan pajak untuk meningkatkan harga rokok agar peredarannya bisa dibatasi adalah sangat tepat," ujar dia.
Menurut Hefrizal, pajak rokok seperti yang tertuang dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 yang berlaku 1 Januari 2014 adalah sebesar 10 persen. Dari kaca mata Hefrizal, pajak 10 persen itu terlalu kecil.
"Mestinya lebih, agar harga rokok semakin mahal," kata Hefrizal.
Menurut Hefrizal, rokok yang dijadikan objek pajak dalam pasal tersebut merupakan barang konsumsi pribadi (privat good) yang bukan termasuk kebutuhan dasar. Rokok lebih banyak memberikan akibat buruk kepada orang yang mengonsumsinya.
"Karena itu, perlu ada pembatasan agar tidak merusak masyarakat secara umum," ujarnya.
Ahli lainnya, yakni Guru Besar Pajak Universitas Indonesia (UI) Gunadi juga menyampaikan hal senada. Ia menilai dampak negatif rokok tidak hanya terjadi pada daerah penghasil rokok atau tembakau. Akan tetapi juga dialami daerah lainnya.
Gunadi mengatakan, karena itu pajak rokok digunakan sebagai retribusi tambahan nantinya akan digunakan untuk pemenuhan pelayanan publik sebagai dampak negatif dari rokok.
"Seperti pelayanan kesehatan, pendidikan serta penanganan hukum," ucap Gunadi.
Uji materi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) ini dimohonkan oleh 5 orang yang mengaku sebagai perokok sejati. Mereka adalah anggota tim RUU HAM Mulyana Wirakusumah, anggota PHBI Hendardi, anggota Dewan Pimpinan Kerukunan Tani Indonesia Aizzudin, Ketua Presidium IPW Neta S Pane, dan Bambang Isti Nugroho.
Sebagai perokok, para Pemohon itu merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan ketentuan pajak ganda terhadap rokok, yakni pajak rokok atas cukai rokok. Mereka mempermasalahkan Pasal 1 angka 19, Pasal 2 ayat 1 huruf e, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 94 ayat 1 huruf c, dan Pasal 181 dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (DPRD), yang dinilai telah bertentangan dengan konstitusional, yakni Pasal 28D ayat 1 UUD 1945.
Sebab, menurut para Pemohon, UU No 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No 11 Tahun 1995 tentang Cukai, juga telah menetapkan cukai rokok sebagai jenis pajak tidak langsung yang dipungut Negara atas produk rokok. (Ein)