Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Pengujian UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Dalam sidang kali ini perwakilan Pemerintah Daerah, yakni Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kalimantan Selatan (Kalsel), Gustafa Yandi menilai, kebijakan pajak ganda rokok memberi angin segar kepada pemerintah daerah.
Sebab jika UU itu diberlakukan, kata dia, pemerintah mendapatkan sekitar 100 triliun dari pungutan pajak tersebut. Apalagi jika dilihat dengan rasio jumlah penduduk 1,5 persen dari total nasional, maka pajak rokok itu memberikan tambahan penghasilan sekitar Rp140-150 miliar.
"Jika UU ini dibatalkan, maka kami kehilangan harapan tambahan pendapatan sebesar itu," kata Gustafa dalam sidang di Gedung MK, Jakarta, Kamis (12/9/2013).
Dia menjelaskan, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan, Kalsel menduduki peringkat kedua di Indonesia setelah Provinsi Bangka Belitung dalam hal jumlah rata-rata penduduk yang merokok lebih dari 30 batang per hari. Di Kalsel, rata-rata penduduk yang merokok lebih 30 batang per hari mencapai 7,9 persen, sedangkan di Bangka Belitung mencapai 16,2 persen.
"Hasil riset tersebut juga menyebut 18 perokok anak di Kalsel dengan usia 5-9 tahun. Prevalensi perokok di Kalsel mencapai 30,5 persen, hampir sama dengan angka nasional sebesar 34,7 persen," ucapnya.
Gustafa menambahkan, Pemerintah Kalsel memerlukan dukungan pendanaan yang besar di bidang kesehatan.
Khususnya untuk meminimalisasi dampak konsumsi rokok. "Baik terhadap perokok aktif maupun perokok pasif," ucapnya.
Untuk informasi, uji materi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) ini dimohonkan oleh 5 orang yang mengaku sebagai perokok sejati. Mereka adalah anggota tim RUU HAM Mulyana Wirakusumah, anggota PHBI Hendardi, anggota Dewan Pimpinan Kerukunan Tani Indonesia Aizzudin, Ketua Presidium IPW Neta S Pane, dan Bambang Isti Nugroho.
Sebagai perokok, para Pemohon itu merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan ketentuan pajak ganda terhadap rokok, yakni pajak rokok atas cukai rokok. Mereka mempermasalahkan Pasal 1 angka 19, Pasal 2 ayat 1 huruf e, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 94 ayat 1 huruf c, dan Pasal 181 dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (DPRD), yang dinilai telah bertentangan dengan konstitusional, yakni Pasal 28D ayat 1 UUD 1945.
Sebab, menurut para Pemohon, UU No 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No 11 Tahun 1995 tentang Cukai, juga telah menetapkan cukai rokok sebagai jenis pajak tidak langsung yang dipungut Negara atas produk rokok. (Ein)
Sebab jika UU itu diberlakukan, kata dia, pemerintah mendapatkan sekitar 100 triliun dari pungutan pajak tersebut. Apalagi jika dilihat dengan rasio jumlah penduduk 1,5 persen dari total nasional, maka pajak rokok itu memberikan tambahan penghasilan sekitar Rp140-150 miliar.
"Jika UU ini dibatalkan, maka kami kehilangan harapan tambahan pendapatan sebesar itu," kata Gustafa dalam sidang di Gedung MK, Jakarta, Kamis (12/9/2013).
Dia menjelaskan, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan, Kalsel menduduki peringkat kedua di Indonesia setelah Provinsi Bangka Belitung dalam hal jumlah rata-rata penduduk yang merokok lebih dari 30 batang per hari. Di Kalsel, rata-rata penduduk yang merokok lebih 30 batang per hari mencapai 7,9 persen, sedangkan di Bangka Belitung mencapai 16,2 persen.
"Hasil riset tersebut juga menyebut 18 perokok anak di Kalsel dengan usia 5-9 tahun. Prevalensi perokok di Kalsel mencapai 30,5 persen, hampir sama dengan angka nasional sebesar 34,7 persen," ucapnya.
Gustafa menambahkan, Pemerintah Kalsel memerlukan dukungan pendanaan yang besar di bidang kesehatan.
Khususnya untuk meminimalisasi dampak konsumsi rokok. "Baik terhadap perokok aktif maupun perokok pasif," ucapnya.
Untuk informasi, uji materi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) ini dimohonkan oleh 5 orang yang mengaku sebagai perokok sejati. Mereka adalah anggota tim RUU HAM Mulyana Wirakusumah, anggota PHBI Hendardi, anggota Dewan Pimpinan Kerukunan Tani Indonesia Aizzudin, Ketua Presidium IPW Neta S Pane, dan Bambang Isti Nugroho.
Sebagai perokok, para Pemohon itu merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan ketentuan pajak ganda terhadap rokok, yakni pajak rokok atas cukai rokok. Mereka mempermasalahkan Pasal 1 angka 19, Pasal 2 ayat 1 huruf e, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 94 ayat 1 huruf c, dan Pasal 181 dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (DPRD), yang dinilai telah bertentangan dengan konstitusional, yakni Pasal 28D ayat 1 UUD 1945.
Sebab, menurut para Pemohon, UU No 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No 11 Tahun 1995 tentang Cukai, juga telah menetapkan cukai rokok sebagai jenis pajak tidak langsung yang dipungut Negara atas produk rokok. (Ein)