Liputan6.com, Jakarta: Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu mengungkapkan, Sori Ersa Siregar tewas karena peluru tentara. "Kan, Ersa ada di pihak GAM," ungkap Ryamizard. Dia mengatakan, itulah resiko yang harus dihadapi setiap wartawan perang. "Resikonya pelor. Kalau enggak mau tertembak, ya tak usah jadi wartawan perang," kata Ryamizard di Jakarta, Selasa (30/12) sore.
Ryamizard menjelaskan, kejadian seperti yang menimpa wartawan senior Rajawali Citra Televisi Indonesia itu memang sulit dihindari. Apalagi, tentara yang sedang bertugas tak mengetahui kalau saat itu ada seorang sandera. "Peluru enggak bisa melihat mana yang salah dan benar. Jadi jangan diputar balik," jelas bekas Panglima Komando Cadangan Strategis AD ini, tegas.
Pada kesempatan terpisah, Juru Bicara Komando Operasi TNI Letnan Kolonel A. Yani Basuki membantah bila pihaknya memiliki rekaman video baku tembak yang menyebabkan Bang Ersa--biasa Ersa disapa--tewas. Menurut Yani, kejadian yang terjadi di Aceh Timur terjadi spontan sehingga tak mungkin untuk direkam. "Kita (TNI) tak pernah merencanakan mengambil gambarnya," bantah Yani.
Seperti KSAD, Yani juga mengatakan, kejadian yang menimpa Ersa sulit sekali dihindari. Sebab situasi di lapangan sangat tak mendukung. Jarak pandang pun sangat terbatas [baca: TNI Menyelidiki Kematian Ersa Siregar]. "Kejadiannya di rawa-rawa dan semak-semak yang jarak pandang satu dengan yang lain tidak ada. Tapi suara-suara tembakan terdengar," ungkap Yani.
Sedangkan mengenai nasib tiga sandera--seorang di antaranya Ferry Santoro, kamerawan RCTI--yang masih disandera GAM, Yani mengatakan, secara umum TNI masih terus memantau. TNI juga sedang berusaha keras untuk segera membebaskan ketiganya.
Di tempat terpisah, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Abdul Hakim Garuda Nusantara mengungkapkan, TNI maupun Gerakan Aceh Merdeka (GAM) harus menjelaskan sebab musabab kematian Ersa. Kedua belah pihak tak bisa lepas tangan, terlebih GAM. Kelompok separatis itu harus bertanggung jawab atas tewasnya sandera yang dilindungi hukum intenasional.
Abdul Hakim mengatakan, sejauh ini pihaknya sudah melayangkan surat dan meminta Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto mengklarifikasi seputar kematian Ersa. Biar bagaimanapun, TNI harus menghindari korban sipil dalam setiap operasi militer. Sedangkan bila ditilik secara hukum, yang paling bertanggung jawab adalah GAM. "Kenapa mereka (GAM) membawa sandera dalam konflik bersenjata," kata Abdul Hakim.
Menurut Abdul Hakim, pihaknya juga akan membentuk komisi independen untuk menyelidiki kasus kematian Ersa. Tim independen itu nantinya beranggotakan Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan wartawan. "Tim dibentuk untuk mengetahui kejadian persisnya," jelas Abdul Hakim.
Hari ini para wartawan di sejumlah daerah menggelar aksi keprihatinan dan solidaritas atas tewasnya Ersa. Siang tadi, sejumlah elemen pers dari Aliansi Jurnalis Independen dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia menggelar aksi solidaritas di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat [baca: Organisasi Jurnalis Mengecam Pemerintah dan GAM]. Para demonstran mengecam sikap keras TNI-GAM yang tak mau berkompromi. Mereka juga mengutuk tindakan TNI maupun GAM yang sengaja memanfaatkan wartawan untuk kepentingan masing-masing.
Aksi serupa berlangsung di Jambi. Di kota ini, para wartawan berorasi dan membentangkan poster berisi kutukan terhadap kekerasan bagi insan pers. Pada kesempatan itu, mereka membacakan doa untuk Ersa dan keluarga korban agar diberi ketabahan. Para demonstran juga sempat mengheningkan cipta selama satu menit dan mengikrarkan masa berkabung selama tujuh hari yang ditandai dengan pemakaian pita hitam di lengan dan kepala.
Sikap serupa juga disampaikan para wartawan di Medan, Sumatra Utara. Mereka menilai, kejadian yang menimpa Ersa adalah bukti kurangnya perlindungan terhadap wartawan yang bertugas di daerah konflik. Mereka juga menolak segala bentuk diskriminasi dan penindasan yang menghalangi setiap tugas jurnalis.(ICH/Tim Liputan 6 SCTV)
Ryamizard menjelaskan, kejadian seperti yang menimpa wartawan senior Rajawali Citra Televisi Indonesia itu memang sulit dihindari. Apalagi, tentara yang sedang bertugas tak mengetahui kalau saat itu ada seorang sandera. "Peluru enggak bisa melihat mana yang salah dan benar. Jadi jangan diputar balik," jelas bekas Panglima Komando Cadangan Strategis AD ini, tegas.
Pada kesempatan terpisah, Juru Bicara Komando Operasi TNI Letnan Kolonel A. Yani Basuki membantah bila pihaknya memiliki rekaman video baku tembak yang menyebabkan Bang Ersa--biasa Ersa disapa--tewas. Menurut Yani, kejadian yang terjadi di Aceh Timur terjadi spontan sehingga tak mungkin untuk direkam. "Kita (TNI) tak pernah merencanakan mengambil gambarnya," bantah Yani.
Seperti KSAD, Yani juga mengatakan, kejadian yang menimpa Ersa sulit sekali dihindari. Sebab situasi di lapangan sangat tak mendukung. Jarak pandang pun sangat terbatas [baca: TNI Menyelidiki Kematian Ersa Siregar]. "Kejadiannya di rawa-rawa dan semak-semak yang jarak pandang satu dengan yang lain tidak ada. Tapi suara-suara tembakan terdengar," ungkap Yani.
Sedangkan mengenai nasib tiga sandera--seorang di antaranya Ferry Santoro, kamerawan RCTI--yang masih disandera GAM, Yani mengatakan, secara umum TNI masih terus memantau. TNI juga sedang berusaha keras untuk segera membebaskan ketiganya.
Di tempat terpisah, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Abdul Hakim Garuda Nusantara mengungkapkan, TNI maupun Gerakan Aceh Merdeka (GAM) harus menjelaskan sebab musabab kematian Ersa. Kedua belah pihak tak bisa lepas tangan, terlebih GAM. Kelompok separatis itu harus bertanggung jawab atas tewasnya sandera yang dilindungi hukum intenasional.
Abdul Hakim mengatakan, sejauh ini pihaknya sudah melayangkan surat dan meminta Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto mengklarifikasi seputar kematian Ersa. Biar bagaimanapun, TNI harus menghindari korban sipil dalam setiap operasi militer. Sedangkan bila ditilik secara hukum, yang paling bertanggung jawab adalah GAM. "Kenapa mereka (GAM) membawa sandera dalam konflik bersenjata," kata Abdul Hakim.
Menurut Abdul Hakim, pihaknya juga akan membentuk komisi independen untuk menyelidiki kasus kematian Ersa. Tim independen itu nantinya beranggotakan Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan wartawan. "Tim dibentuk untuk mengetahui kejadian persisnya," jelas Abdul Hakim.
Hari ini para wartawan di sejumlah daerah menggelar aksi keprihatinan dan solidaritas atas tewasnya Ersa. Siang tadi, sejumlah elemen pers dari Aliansi Jurnalis Independen dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia menggelar aksi solidaritas di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat [baca: Organisasi Jurnalis Mengecam Pemerintah dan GAM]. Para demonstran mengecam sikap keras TNI-GAM yang tak mau berkompromi. Mereka juga mengutuk tindakan TNI maupun GAM yang sengaja memanfaatkan wartawan untuk kepentingan masing-masing.
Aksi serupa berlangsung di Jambi. Di kota ini, para wartawan berorasi dan membentangkan poster berisi kutukan terhadap kekerasan bagi insan pers. Pada kesempatan itu, mereka membacakan doa untuk Ersa dan keluarga korban agar diberi ketabahan. Para demonstran juga sempat mengheningkan cipta selama satu menit dan mengikrarkan masa berkabung selama tujuh hari yang ditandai dengan pemakaian pita hitam di lengan dan kepala.
Sikap serupa juga disampaikan para wartawan di Medan, Sumatra Utara. Mereka menilai, kejadian yang menimpa Ersa adalah bukti kurangnya perlindungan terhadap wartawan yang bertugas di daerah konflik. Mereka juga menolak segala bentuk diskriminasi dan penindasan yang menghalangi setiap tugas jurnalis.(ICH/Tim Liputan 6 SCTV)