Anggota Kompolnas Adrianus Meilala meminta hukuman keras dan tegas berupa hukuman mati bagi pelaku pembunuh aparat terutama kepolisian. Insiden yang marak terjadi akhir-akhir ini diharapkan dapat membuat pelaku berpikir 2 kali sebelum bertindak.
"Kami harapkan dari segi hukum, harus ada usaha untuk buat ancaman kalau membunuh polisi ancamannya maksimal, hukuman mati misalnya," ujar Adrianus dalam diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (14/9/2013).
Adrianus menjelaskan hukuman itu diperlukan karena ia menilai polisi sudah menjadi incaran para pelaku teror. Menurutnya pelaku teror tidak mampu menyerang elite-elite politik atau petinggi negara karena selalu dilindungi. Karena itu, sekarang mereka menyasar pelindungnya.
"Tampaknya ada perubahan taktik, ada pembunuhan senyap, bahwa rombongan presiden pernah mau diancam, rombongan gubernur mau dikejar. Karena mengejar elite politik itu susah, mereka jadi menyasar polisi. 1 kali mendayung 2 pulau terlampaui," kata Adrianus menyitir peribahasa.
Pengamat dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Bambang Widodo Umar menyebut insiden penembakan polisi yang terjadi sejak Juli lalu sudah sangat meresahkan. Menurutrnya, saat ini perlu diberlakukan darurat kepolisian.
"Disebut darurat karena saat Orde Baru tidak ada kasus penembakan yang menimpa polisi," lanjut Bambang.
Bambang pun menilai fenomena penembakan ini sebagai kondisi kepolisian yang kian melemah. Namun, Bambang melihat belum ada langkah konkrit untuk mencegah kasus serupa di masa mendatang.
Penembakan polisi telah terjadi 5 kali dalam tahun 2013 ini. Diawali pada 27 Juli 2013, anggota Satlantas Polres Metro Jakarta Pusat, Patah Sektyono ditembak di Cireundeu Raya, Ciputat, Tangerang Selatan. Sepekan kemudian pada 7 Agustus 2013, anggota Satuan Binmas Polsek Cilandak Polres Metro Jakarta Selatan Aiptu Dwiyatna tewas ditembak di Gang Mandor Jalan Otista Raya Ciputat, Tangerang Selatan.
16 Agustus 2013, anggota Satuan Babinkamtibmas, Aiptu Kus Hendratmo dan anggota Satuan reserse Polsek Pondok Aren Tangerang Selatan, Bripka Ahmad Maulana, tewas ditembak. Penembakan terhadap keduanya terjadi di Jalan Graha Indah Pondok Aren Tangerang Selatan.
Polisi korban penembakan yang juga meninggal adalah anggota Provost Direktorat Polisi Air dan Udara Baharkam Polri, Bripka Sukardi. Ia ditembak 10 September lalu di depan gedung KPK Jalan Rasuna Said, Setia Budi, Jakarta.
Selain kelima polisi yang tewas karena penembakan tersebut, terakhir Brigadir Polisi Satu (Briptu) Ruslan Kusuma yang ditembak di tempat pencucian mobil Arema, Jalan Pekapuran, Cimanggis, Depok, Jawa Barat selamat. Ia hanya mengalami luka pada bagian paha kiri.
Penembakan terhadap Briptu Ruslan terjadi saat dirinya mencuci sepeda motornya Kawasaki Ninja 250 CC, dan sedang tidak berpakaian dinas Jumat 13 September pukul 18.45 WIB. Usai menembak, pelaku membawa kabur motor Briptu Ruslan. Kini, anggota Sabhara Mabes Polri itu kini dirawat di RS Polri Sukanto, Kramat Jati, Jakarta Timur. (Adi/Sss)
"Kami harapkan dari segi hukum, harus ada usaha untuk buat ancaman kalau membunuh polisi ancamannya maksimal, hukuman mati misalnya," ujar Adrianus dalam diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (14/9/2013).
Adrianus menjelaskan hukuman itu diperlukan karena ia menilai polisi sudah menjadi incaran para pelaku teror. Menurutnya pelaku teror tidak mampu menyerang elite-elite politik atau petinggi negara karena selalu dilindungi. Karena itu, sekarang mereka menyasar pelindungnya.
"Tampaknya ada perubahan taktik, ada pembunuhan senyap, bahwa rombongan presiden pernah mau diancam, rombongan gubernur mau dikejar. Karena mengejar elite politik itu susah, mereka jadi menyasar polisi. 1 kali mendayung 2 pulau terlampaui," kata Adrianus menyitir peribahasa.
Pengamat dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Bambang Widodo Umar menyebut insiden penembakan polisi yang terjadi sejak Juli lalu sudah sangat meresahkan. Menurutrnya, saat ini perlu diberlakukan darurat kepolisian.
"Disebut darurat karena saat Orde Baru tidak ada kasus penembakan yang menimpa polisi," lanjut Bambang.
Bambang pun menilai fenomena penembakan ini sebagai kondisi kepolisian yang kian melemah. Namun, Bambang melihat belum ada langkah konkrit untuk mencegah kasus serupa di masa mendatang.
Penembakan polisi telah terjadi 5 kali dalam tahun 2013 ini. Diawali pada 27 Juli 2013, anggota Satlantas Polres Metro Jakarta Pusat, Patah Sektyono ditembak di Cireundeu Raya, Ciputat, Tangerang Selatan. Sepekan kemudian pada 7 Agustus 2013, anggota Satuan Binmas Polsek Cilandak Polres Metro Jakarta Selatan Aiptu Dwiyatna tewas ditembak di Gang Mandor Jalan Otista Raya Ciputat, Tangerang Selatan.
16 Agustus 2013, anggota Satuan Babinkamtibmas, Aiptu Kus Hendratmo dan anggota Satuan reserse Polsek Pondok Aren Tangerang Selatan, Bripka Ahmad Maulana, tewas ditembak. Penembakan terhadap keduanya terjadi di Jalan Graha Indah Pondok Aren Tangerang Selatan.
Polisi korban penembakan yang juga meninggal adalah anggota Provost Direktorat Polisi Air dan Udara Baharkam Polri, Bripka Sukardi. Ia ditembak 10 September lalu di depan gedung KPK Jalan Rasuna Said, Setia Budi, Jakarta.
Selain kelima polisi yang tewas karena penembakan tersebut, terakhir Brigadir Polisi Satu (Briptu) Ruslan Kusuma yang ditembak di tempat pencucian mobil Arema, Jalan Pekapuran, Cimanggis, Depok, Jawa Barat selamat. Ia hanya mengalami luka pada bagian paha kiri.
Penembakan terhadap Briptu Ruslan terjadi saat dirinya mencuci sepeda motornya Kawasaki Ninja 250 CC, dan sedang tidak berpakaian dinas Jumat 13 September pukul 18.45 WIB. Usai menembak, pelaku membawa kabur motor Briptu Ruslan. Kini, anggota Sabhara Mabes Polri itu kini dirawat di RS Polri Sukanto, Kramat Jati, Jakarta Timur. (Adi/Sss)