Liputan6.com, Jakarta - Orde Baru baru saja tegak. Segala hal coba dibenahi. Juga hubungan dengan negara tetangga, termasuk Singapura. Salah satu "kerikil" dalam hubungan Indonesia-Singapura adalah kasus hukuman mati dua anggota KKO (kini, Marinir), Usman dan Hamid. Dua prajurit ini dihukum mati karena melakukan pengeboman di Orchard Road, Singapura, pada 1965. Saat itu, Indonesia sedang melakukan konfrontasi dengan Malaysia. Sementara, Singapura merupakan bagian dari Malaysia.Pada 1968, eksekusi akhirnya akan dilakukan. Rezim di Indonesia telah berganti, Orde Lama tumbang. Pemimpin baru, Soeharto, secara terbuka meminta kepada Lee Kuan Yew untuk memberikan keringanan hukuman kepada dua anggota KKO itu. Namun, permintaan itu ditolak. Usman dan Harun tetap digantung pada 17 Oktober 1968.Penolakan Singapura tersebut memicu kemarahan di Indonesia. Kepulangan jenazah kedua personel KKO itu ke Tanah Air disambut secara besar-besaran. Ketegangan hubungan antara Indonesia dan Singapura memuncak. Kedutaan Besar Singapura di Jalan Indramayu, Menteng, Jakarta, diserbu dan dirusak massa. Tiga tahun setelah insiden itu, Lee Kuan Yew merencanakan kunjungan ke Indonesia. Soeharto lantas mengajukan syarat: Lee harus menaburkan bunga di makam Harun dan Usman di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Hal itu disetujui Lee. Syarat itu tidak lazim. "Namun entah dengan pertimbangan apa, PM Lee setuju meletakkan karangan bunga di makam Usman dan Harun," ujar Abdul Rachman Ramly, liason officer RI pada kasus Usman-Harun, dalam buku Pak Harto The Untold Story. Hubungan Indonesia dan Singapura pun akhirnya pulih.Prajurit KKO, Usman dan Harun32 tahun kemudian, Lee kembali membuat hubungan rada memanas. Dalam sebuah acara, ia mengatakan, "Singapura tetap berada dalam kondisi berisiko dari serangan teroris karena para pimpinan wilayah teroris masih berkeliaran di Indonesia."Dalam kesempatan itu, Lee menyinggung keberadaan Abu Bakar Baasyir, pimpinan pondok pesantren Ngruki, Solo, tokoh Majelis Mujahidin Indonesia, yang masuk dalam daftar pencarian polisi Singapura dan Malaysia.Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri bereaksi. Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono, Selasa 26 Februari 2002, menyatakan pemerintah RI sangat menyesalkan pernyataan Lee yang menyatakan Indonesia sebagai sarang teroris. Pernyataan Lee dianggap tak layak dikemukakan mengingat selama ini Indonesia dan Singapura bekerja sama dalam bidang intelijen untuk menangani terorisme. "Langkah itu sedang dilakukan dan bukannya kita diam saja. Jadi, Jangan terlalu cepat mengatakan ada terorisme dan Indonesia menjadi sarang pentolan," kata SBY. "Kerikil" lain dalam hubungan Singapura-Indonesia adalah hingga kini Singapura masih dianggap menjadi tempat persembunyian strategis bagi koruptor dari Indonesia. Perjanjian ekstradisi di antara kedua negara belum berlaku sebab belum diratifikasi sejak diteken pada 2007.Beberapa warga Indonesia bermasalah sempat kabur ke Singapura. Sebut saja Sjamsul Nursalim (kasus korupsi BDNI), Bambang Sutrisno (kasus Bank Surya), dan David Nusa Wijaya (kasus Bank Sertivia). Perjanjian itu belum bisa dipraktikkan. Pembicaraan terhenti karena Singapura terkesan ogah-ogahan."Saya sampaikan pada PM Lee ada satu agenda kerja sama yang dulu hampir diberlakukan tapi terhenti yaitu kerja sama di bidang ekstradisi, sekaligus kerja sama di bidang pertahanan. Tetapi tiba-tiba terhenti," ujar SBY di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa 13 Maret 2012, usai bertemu Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong. Pasang-surut agaknya akan terus mewarnai hubungan Indonesia-Singapura. (Yus)Baca juga: Lee Kuan Yew: Alergi Kritik Tapi Singapura Minim Korupsi (3)
Lee Kuan Yew: `Dipaksa` Kunjungi Makam Prajurit Indonesia (4)
Soeharto lantas mengajukan syarat: Lee harus menaburkan bunga di makam Harun dan Usman di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Advertisement