Sidang kasus pembunuhan Dicky Maulana, pengamen di Cipulir, Jakarta Selatan, diwarnai unjuk rasa. Puluhan pengamen berdemonstrasi di depan Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menuntut agar 6 terdakwa pembunuh Dicky dibebaskan.
"Kami minta mereka dibebaskan, karena mereka tidak bersalah," ujar salah satu demonstran Rere (16) di depan Gedung PN Jaksel, Kamis (19/9/23013).
Pengacara Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Johannes Gea mengatakan, pihaknya mendampingi karena diduga ada indikasi penyiksaan dan keenam terdakwa yang merupakan pengamen itu dipaksa mengaku telah membunuh Dicky oleh penyidik Polda Metro Jaya.
"Pengamen ini terindikasi dipukuli, diinjak-injak dan disetrum supaya mengaku melakukan tindak pidana pembunuhan atau pengeroyokan terhadap Dicky," jelas Gea.
Padahal, lanjut Gea, setiap orang memiliki hak untuk tidak disiksa dan Indonesia telah meratifikasi konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam dan tindakan tidak manusiawi dan merendahkan martabat melalui UU No 5 Tahun 1998. Dan Pasal 422 KUHP juga mengakomodir tindakan pemerasan pengakuan oleh polisi.
"Penyidik jelas-jelas telah menyalahgunakan kewenangan mereka," imbuh Gea.
Dalam kasus ini, enam terdakwa yang terdiri dari 4 pria remaja dan 2 bocah di bawah umur diciduk Sub Direktorat Jatanras Kriminal Umum Polda Metro Jaya, dengan sangkaan pembunuhan pengamen Dicky di Cipulir, Jakarta Selatan, Minggu 30 Juni lalu.
Keenam pelaku yang diketahui sebagai 'anak punk' itu masing-masing berinisial NP alias BS (23), AS alias A (18), BF alias P (17), FP alias F (16), APS alias UC (14), dan FP alias F (13). Mereka semua juga berprofesi sebagai pengamen. Motif pembunuhan karena mereka merasa wilayah untuk mencari rezeki mereka direbut oleh Dicky si korban.
6 Orang tersebut menghabisi nyawa Dicky dengan sebilah golok, sebuah papan kayu berukuran 35 cm, dan sebuah pisau lipat. (Adi/Mut)
"Kami minta mereka dibebaskan, karena mereka tidak bersalah," ujar salah satu demonstran Rere (16) di depan Gedung PN Jaksel, Kamis (19/9/23013).
Pengacara Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Johannes Gea mengatakan, pihaknya mendampingi karena diduga ada indikasi penyiksaan dan keenam terdakwa yang merupakan pengamen itu dipaksa mengaku telah membunuh Dicky oleh penyidik Polda Metro Jaya.
"Pengamen ini terindikasi dipukuli, diinjak-injak dan disetrum supaya mengaku melakukan tindak pidana pembunuhan atau pengeroyokan terhadap Dicky," jelas Gea.
Padahal, lanjut Gea, setiap orang memiliki hak untuk tidak disiksa dan Indonesia telah meratifikasi konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam dan tindakan tidak manusiawi dan merendahkan martabat melalui UU No 5 Tahun 1998. Dan Pasal 422 KUHP juga mengakomodir tindakan pemerasan pengakuan oleh polisi.
"Penyidik jelas-jelas telah menyalahgunakan kewenangan mereka," imbuh Gea.
Dalam kasus ini, enam terdakwa yang terdiri dari 4 pria remaja dan 2 bocah di bawah umur diciduk Sub Direktorat Jatanras Kriminal Umum Polda Metro Jaya, dengan sangkaan pembunuhan pengamen Dicky di Cipulir, Jakarta Selatan, Minggu 30 Juni lalu.
Keenam pelaku yang diketahui sebagai 'anak punk' itu masing-masing berinisial NP alias BS (23), AS alias A (18), BF alias P (17), FP alias F (16), APS alias UC (14), dan FP alias F (13). Mereka semua juga berprofesi sebagai pengamen. Motif pembunuhan karena mereka merasa wilayah untuk mencari rezeki mereka direbut oleh Dicky si korban.
6 Orang tersebut menghabisi nyawa Dicky dengan sebilah golok, sebuah papan kayu berukuran 35 cm, dan sebuah pisau lipat. (Adi/Mut)