Menyusuri jalan selebar 3 meter, sekilas tak ada yang berbeda dari rumah pada umumnya. Jika diperhatikan lebih dalam, terdapat plang bergambar senapan angin dengan berbagai nama toko.
Setelah menyusuri jalan sejauh 1 kilometer, Selasa 24 September siang lalu, tak ada satu pun toko yang buka. Mereka menutup rapat pintu toko yang kerap menyatu dengan rumah tinggal mereka.
Saat ditanya perihal sentra penjualan senapan angin, warga menunjukkan jalan besar di ujung gang. Sampai di ujung jalan, bertemulah dengan dengan Jalan Raya Cipacing, Sumedang, Jawa Barat.
Suasana tak jauh berbeda juga tampak di sini. Jalan provinsi 4 lajur itu sepi penjual. Hanya tampak beberapa penjual senapan angin saja yang masih membuka toko dan menjajakan barang dagangannya.
Ternyata jatuh bangun penjualan senapan angin di Cipacing bukan baru pertama kali terjadi. Sepanjang sejarah penjualan satu-satunya senjata yang tidak perlu izin khusus ini, sudah 3 kali Cipacing diguncang prahara cukup besar.
Guncangan pertama terjadi pada 1979-1980. Pemicunya tak lain dan tak bukan terbitnya peraturan pemerintah yang dikenal dengan Operasi Sapu Jagat. Aturan ini melarang semua warga memproduksi, memiliki atau mereparasi senjata api jenis apa pun.
Dengan Operasi Sapu Jagat, saat itu pemerintah hendak menekan angka kriminalitas. Razia senjata api ditingkatkan, tapi senapan angin juga terkena imbasnya. Senjata tanpa surat langsung disita.
"Imbasnya jumlah pengrajin turun sampai 60 persen. Awalnya ada 240 pengrajin, turun sampai tinggal 100-an pengrajin," ungkap Ketua Koperasi Pengrajin Senapan Angin Bina Karya, Idih Sunaedi.
Setahun kemudian, industri senapan angin kembali menggeliat. Usaha itu kembali menuai keuntungan. Minat untuk kembali menghasilkan karya lewat senapan angin ditunjukkan dari jumlah pengrajin yang kembali meningkat hingga 200-an orang.
Berjalan sekitar 17 tahun, usaha ini kembal mandek. Lagi-lagi ulah pemerintah yang tak bisa menjaga kestabilan ekonomi membuat Indonesia dilanda krisis moneter. Tepatnya pada 1997, usaha ini kembali terjun bebas. Pengrajin saat itu hanya tersisa 60 orang.
Butuh waktu lebih lama, yakni 2 tahun untuk membangkitkan geliat usaha senapan angin seperti semula. Perjuangan para pengrajin dimulai pada tahun 2000 hingga saat ini tercatat ada 145 pengrajin yang masih bertahan.
Terakhir, prahara menerpa industri senapan angin akibat ulah sekelompok oknum yang terbuai dengan laba besar untuk membuat senjata api. Senjata itu disinyalir disalurkan kepada orang tak bertanggung jawab dan berujung pada aksi penembakan terhadap anggota kepolisian di Jakarta. "Sekarang lakunya hanya 30 persen," ungkapnya.
Idih menduga, turunnya penjualan saat ini lebih kepada ketakuran masyarakat terhadap senapan yang ada saat ini. Mereka takut dianggap terlibat dalam penjualan atau pembelian senapan ilegal.
"Yang jadi masalah, para pembeli senapan angin takut dengan melihat kejadian di TV. Jadi akhirnya pembeli senapan angin kurang. Pengiriman ke luar daerah juga berkurang," katanya.
Kerusuhan 1998
Sementara, Pemilik Toko 'Patung Tembak' Sugiat mengatakan, justru momen 1998 dijadikannya sebagai kesempatan besar untuk menjual senapan angin buatannya. Saat terjadi kerusuhan rasial meledak di Jakarta, banyak orang Jakarta dan daerah lain mencari senapan angin. Alasannya untuk menjaga diri.
"Mereka pada datang ke sini. Alasannya untuk menjaga diri. Kebanyakan keturunan Tionghoa karena kan di sana (Jakarta) yang lagi jadi sasaran mereka," ungkapnya.
Keuntungan semakin berlipat saat para pembeli mau menghargai barang dagangannya itu dengan berlipat ganda. Biasanya mulai dari 2-3 kali lipat dari harga biasa.
"Saat itu, senapan harga Rp 100 ribu mereka berani beli Rp 300 ribu. Nanti mereka jual lagi Rp 600 ribu. Sudah gitu, belinya 3 atau 4 senapan sekaligus,"Â tuturnya. Tak hanya senapan, senjata lain seperti golok juga jadi sasaran para pembeli saat itu.
Menanggapi sepinya pembeli pasca penangkapan oknum pembuat senjata api di wilayahnya, Sugiat memandangnya sebagai hal yang lumrah. Dia memprediksi, kondisi ini berangsur normal pada satu hingga dua bulan mendatang.
"Saya sih tidak peduli dengan urusan mereka. Kita jualan seperti biasa saja. Memang ada penurunan, sehari bisa satu atau dua senapan. Ini nol sama sekali, Tapi biasanya sebulan atau dua bulan sudah kembali normal lagi," tandasnya. (Yus)
baca juga: Pesanan Senapan Tempur Datang Saat DI/TII Memberontak (1)
Setelah menyusuri jalan sejauh 1 kilometer, Selasa 24 September siang lalu, tak ada satu pun toko yang buka. Mereka menutup rapat pintu toko yang kerap menyatu dengan rumah tinggal mereka.
Saat ditanya perihal sentra penjualan senapan angin, warga menunjukkan jalan besar di ujung gang. Sampai di ujung jalan, bertemulah dengan dengan Jalan Raya Cipacing, Sumedang, Jawa Barat.
Suasana tak jauh berbeda juga tampak di sini. Jalan provinsi 4 lajur itu sepi penjual. Hanya tampak beberapa penjual senapan angin saja yang masih membuka toko dan menjajakan barang dagangannya.
Ternyata jatuh bangun penjualan senapan angin di Cipacing bukan baru pertama kali terjadi. Sepanjang sejarah penjualan satu-satunya senjata yang tidak perlu izin khusus ini, sudah 3 kali Cipacing diguncang prahara cukup besar.
Guncangan pertama terjadi pada 1979-1980. Pemicunya tak lain dan tak bukan terbitnya peraturan pemerintah yang dikenal dengan Operasi Sapu Jagat. Aturan ini melarang semua warga memproduksi, memiliki atau mereparasi senjata api jenis apa pun.
Dengan Operasi Sapu Jagat, saat itu pemerintah hendak menekan angka kriminalitas. Razia senjata api ditingkatkan, tapi senapan angin juga terkena imbasnya. Senjata tanpa surat langsung disita.
"Imbasnya jumlah pengrajin turun sampai 60 persen. Awalnya ada 240 pengrajin, turun sampai tinggal 100-an pengrajin," ungkap Ketua Koperasi Pengrajin Senapan Angin Bina Karya, Idih Sunaedi.
Setahun kemudian, industri senapan angin kembali menggeliat. Usaha itu kembali menuai keuntungan. Minat untuk kembali menghasilkan karya lewat senapan angin ditunjukkan dari jumlah pengrajin yang kembali meningkat hingga 200-an orang.
Berjalan sekitar 17 tahun, usaha ini kembal mandek. Lagi-lagi ulah pemerintah yang tak bisa menjaga kestabilan ekonomi membuat Indonesia dilanda krisis moneter. Tepatnya pada 1997, usaha ini kembali terjun bebas. Pengrajin saat itu hanya tersisa 60 orang.
Butuh waktu lebih lama, yakni 2 tahun untuk membangkitkan geliat usaha senapan angin seperti semula. Perjuangan para pengrajin dimulai pada tahun 2000 hingga saat ini tercatat ada 145 pengrajin yang masih bertahan.
Terakhir, prahara menerpa industri senapan angin akibat ulah sekelompok oknum yang terbuai dengan laba besar untuk membuat senjata api. Senjata itu disinyalir disalurkan kepada orang tak bertanggung jawab dan berujung pada aksi penembakan terhadap anggota kepolisian di Jakarta. "Sekarang lakunya hanya 30 persen," ungkapnya.
Idih menduga, turunnya penjualan saat ini lebih kepada ketakuran masyarakat terhadap senapan yang ada saat ini. Mereka takut dianggap terlibat dalam penjualan atau pembelian senapan ilegal.
"Yang jadi masalah, para pembeli senapan angin takut dengan melihat kejadian di TV. Jadi akhirnya pembeli senapan angin kurang. Pengiriman ke luar daerah juga berkurang," katanya.
Kerusuhan 1998
Sementara, Pemilik Toko 'Patung Tembak' Sugiat mengatakan, justru momen 1998 dijadikannya sebagai kesempatan besar untuk menjual senapan angin buatannya. Saat terjadi kerusuhan rasial meledak di Jakarta, banyak orang Jakarta dan daerah lain mencari senapan angin. Alasannya untuk menjaga diri.
"Mereka pada datang ke sini. Alasannya untuk menjaga diri. Kebanyakan keturunan Tionghoa karena kan di sana (Jakarta) yang lagi jadi sasaran mereka," ungkapnya.
Keuntungan semakin berlipat saat para pembeli mau menghargai barang dagangannya itu dengan berlipat ganda. Biasanya mulai dari 2-3 kali lipat dari harga biasa.
"Saat itu, senapan harga Rp 100 ribu mereka berani beli Rp 300 ribu. Nanti mereka jual lagi Rp 600 ribu. Sudah gitu, belinya 3 atau 4 senapan sekaligus,"Â tuturnya. Tak hanya senapan, senjata lain seperti golok juga jadi sasaran para pembeli saat itu.
Menanggapi sepinya pembeli pasca penangkapan oknum pembuat senjata api di wilayahnya, Sugiat memandangnya sebagai hal yang lumrah. Dia memprediksi, kondisi ini berangsur normal pada satu hingga dua bulan mendatang.
"Saya sih tidak peduli dengan urusan mereka. Kita jualan seperti biasa saja. Memang ada penurunan, sehari bisa satu atau dua senapan. Ini nol sama sekali, Tapi biasanya sebulan atau dua bulan sudah kembali normal lagi," tandasnya. (Yus)
baca juga: Pesanan Senapan Tempur Datang Saat DI/TII Memberontak (1)