Menjadi gerbang masuk menuju kota tahu, Desa Cipacing sudah semestinya ramai pengunjung. Terlebih pesona kerajinan senapan angin dan berbagai kerajinan kayu lain yang terpajang di sepanjang jalan. Namun satu bulan belakangan, desa ini berubah menjadi sepi dan tertutup. Pemicunya tak lain karena adanya penangkapan pembuat senjata api rakitan.
Meski menyandang predikat desa dengan penduduk terpadat se-Kabupaten Sumedang, hal itu tak tampak saat Liputan6.com menyambangi Desa Cipacing. Sepanjang jalan yang dilalui tak tampak aktivitas warga yang mencolok. Yang ada hanya segelintir orang yang sedang membeli makanan di warung atau sekadar nongkrong di sebuah kedai kopi.
Desa yang terkenal ramah ini pun sedikit mengalami pergeseran. Warga jadi lebih waspada dan takut jika ada orang asing atau bukan warga Cipacing lalu-lalang atau coba mendekati warga.
"Setelah kejadian penangkapan kemarin, warga jadi agak berubah. Mereka takut ditanya macam-macam sama polisi. Habis gimana, kalau dikasih tahu warga nggak enak karena kenal. Nggak dikasih tahu, dibentak-bentak sama polisi. Jadi mereka milih di dalam saja,” kata Ketua RT 02/02 Odo Sutaryat.
Kedatangan puluhan polisi bersenjata lengkap bak ingin perang cukup mempengaruhi psikologi warga Cipacing. Terlebih saat itu, warga diminta masuk ke dalam rumah tanpa alasan jelas. Mereka yang melintas diminta mencari jalan lain atau memutar balik.
Sikap polisi yang terus memojokkan warga pun jadi faktor penebal rasa takut. Mereka ditanyai tentang bengkel yang memproduksi senjata api atau diminta menunjukkan dan menerangkan profil orang yang sedang dicari. Jika tidak tahu, tak jarang polisi membentak warga.
“Saya didatangi polisi. Dia minta ditunjukkan di mana saja bengkel yang ada di wilayah saya. Saya bilang di sini tinggal satu ya punya saya saja. Mereka nggak percaya, membentak, sampai bilang 'dasar kampung teroris',” kata Ketua RT 01/04 M Nurdin.
Nurdin mengungkapkan, penangkapan yang dilakukan polisi kepada warga Cipacing memang sudah beberapa kali terjadi. Tapi, penangkapan melibatkan petugas bersenjata lengkap apalagi ada kendaraan baracuda berjajar di ujung jalan baru pertama kali terjadi.
Ia melihat sendiri, petugas kepolisian bersenjata lengkap itu muncul dari balik baracuda dan merangsek masuk ke kampungnya. Polisi yang tidak pakai seragam lebih banyak lagi. Bahkan, salah satu baracuda ada yang masuk ke dalam jalan desa yang hanya selebar 3 meter. Tak lama kemudian, puluhan polisi masuk ke gang-gang sempit untuk mencari target.
“Pasti jadi resah. Semua kedatangan polisi seperti perang gitu ya pasti resah. Sekarang melihat orang asing pasti dikira polisi. Biasanya seperti ini bisa satu bulan. Warga takutnya disamakan semua,” jelasnya.
Kekecewaan akan sikap polisi yang terkesan berlebihan dalam menangkap pelaku pembuat senjata api rakitan juga dirasakan aparat desa setempat. Mereka mengakui ada beberapa warga yang nakal dengan membuat senjata api. Tapi, ia tak terima jika desa kelahirannya dicap sebagai desa teroris.
"Memang betul apa yang dikatakan bahwa di Cipacing ada yang membuat senjata api. Tapi, perlu diketahui saya jelas nggak terima jika disebut sarang teroris. Bisa saja ada orang ngaku-ngaku anak pejabat, polisi, atau tentara dan membodohi orang Cipacing, beri jaminan aman misalnya jadi mereka berani buat," tegas Kepala Urusan Ketenteraman dan Ketertiban Desa Cipacing Agus Supriyatna.
Ketakutan warga terhadap kondisi Cipacing saat ini juga dirasakannya. Ada warga yang mengaku pusing karena terus dihantui oleh kondisi mencekam kampungnya Bahkan, untuk pergi ke jamban saja rasa takut itu terus mengikuti.
"Dengan kejadian kemarin bisa dikatakan mencekam, iya. Sepi, iya. Dampaknya besar juga, namanya di kampung ada sakit kepala, mau ke jamban ketakutan," kata Agus.
Bahkan kabar baru yang beredar menyebutkan, anak kecil di Cipacing sudah dapat membuat senjata api.
“Bagi saya ini aneh. Bagaimana anak kecil bisa membuat senapan angin?! Informasi ini sedang kita cari kebenarannya. Saya mengakui memang ada warga saya yang membuat senjata api. Tapi, biarkan itu jadi tugas kepolisian,” ujarnya.
Menanggapi ketakutan yang muncul di tengah masyarakat, Kepala Bidang Humas Polda Jawa Barat Kombes Pol Martinus Sitompul menjamin keamanan bagi warga yang ingin terus memproduksi senapan angin atau pun yang akan membeli.
“Kalau ada kata-kata polisi menyatakan kepada warga itu kampung teroris, saya rasa tidaklah. Kita sangat maju dalam hal keterbukaan, siapa saja yang melakukan itu akan kita tindak. Atau jangan-jangan dia hanya mengaku polisi; sekarang kan banyak seperti itu. Namun, kalau ada yang seperti itu dan terbukti pasti akan kita tindak sesuai dengan peraturan yang ada,” ujarnya.
Secara prinsip, pihaknya bersama pemerintah mendukung tumbuh kembang home industry di Cipacing. “Bagi masyarakat tentu tidak ada masalah untuk datang ke sana (Cipacing) karena wilayah itu bukan menjadi kawasan yang terawasi benar,” tuturnya.
Untuk itu, pihaknya terus melakukan pembinaan, memberdayakan para pengrajin agar ikut serta dalam koperasi yang mereka bentuk sendiri. Tujuannya tak lain untuk memudahkan dalam melakukan pengawasan.
“Ke depan kita ingin pengrajin melakukan pendataan siapa saja yang membeli, berapa jumlahnya, alamatnya di mana, nomor teleponnya berapa. Kita berharap lebih dari itu ada foto pembeli. Kalau online, kita juga minta mencatat alamat email-nya. Memang senapan angin masih diperlukan di wilayah tertentu, masih digunakan untuk berburu misalnya dengan peluru 4,5 mm,” ungkapnya.
Sementara, untuk ketentuan dalam pembuatan senapan angin tidak banyak perubahan. Peraturan masih mengacu pada paraturan Polri. Perubahan terjadi hanya pada pelaporan peluru 4,5 mm yang sebelumnya tidak dilaporkan.
"Kalau ketentuan kita kembali ke ketentuan yang diatur Polri. Tidak boleh memproduksi di bawah 80 cm. Peluru sekarang 4,5 mm dicatatkan ke pihak kepolisian, kalau dulu tidak perlu dicatatkan. Ini yang perlu dalam rangka pengawasan. Ini yang kita sampaikan kepada mereka saat pembinaan," tandasnya. (Yus)
baca juga: Gampang Membuat Senjata Api, Iman Membentengi (3)
Meski menyandang predikat desa dengan penduduk terpadat se-Kabupaten Sumedang, hal itu tak tampak saat Liputan6.com menyambangi Desa Cipacing. Sepanjang jalan yang dilalui tak tampak aktivitas warga yang mencolok. Yang ada hanya segelintir orang yang sedang membeli makanan di warung atau sekadar nongkrong di sebuah kedai kopi.
Desa yang terkenal ramah ini pun sedikit mengalami pergeseran. Warga jadi lebih waspada dan takut jika ada orang asing atau bukan warga Cipacing lalu-lalang atau coba mendekati warga.
"Setelah kejadian penangkapan kemarin, warga jadi agak berubah. Mereka takut ditanya macam-macam sama polisi. Habis gimana, kalau dikasih tahu warga nggak enak karena kenal. Nggak dikasih tahu, dibentak-bentak sama polisi. Jadi mereka milih di dalam saja,” kata Ketua RT 02/02 Odo Sutaryat.
Kedatangan puluhan polisi bersenjata lengkap bak ingin perang cukup mempengaruhi psikologi warga Cipacing. Terlebih saat itu, warga diminta masuk ke dalam rumah tanpa alasan jelas. Mereka yang melintas diminta mencari jalan lain atau memutar balik.
Sikap polisi yang terus memojokkan warga pun jadi faktor penebal rasa takut. Mereka ditanyai tentang bengkel yang memproduksi senjata api atau diminta menunjukkan dan menerangkan profil orang yang sedang dicari. Jika tidak tahu, tak jarang polisi membentak warga.
“Saya didatangi polisi. Dia minta ditunjukkan di mana saja bengkel yang ada di wilayah saya. Saya bilang di sini tinggal satu ya punya saya saja. Mereka nggak percaya, membentak, sampai bilang 'dasar kampung teroris',” kata Ketua RT 01/04 M Nurdin.
Nurdin mengungkapkan, penangkapan yang dilakukan polisi kepada warga Cipacing memang sudah beberapa kali terjadi. Tapi, penangkapan melibatkan petugas bersenjata lengkap apalagi ada kendaraan baracuda berjajar di ujung jalan baru pertama kali terjadi.
Ia melihat sendiri, petugas kepolisian bersenjata lengkap itu muncul dari balik baracuda dan merangsek masuk ke kampungnya. Polisi yang tidak pakai seragam lebih banyak lagi. Bahkan, salah satu baracuda ada yang masuk ke dalam jalan desa yang hanya selebar 3 meter. Tak lama kemudian, puluhan polisi masuk ke gang-gang sempit untuk mencari target.
“Pasti jadi resah. Semua kedatangan polisi seperti perang gitu ya pasti resah. Sekarang melihat orang asing pasti dikira polisi. Biasanya seperti ini bisa satu bulan. Warga takutnya disamakan semua,” jelasnya.
Kekecewaan akan sikap polisi yang terkesan berlebihan dalam menangkap pelaku pembuat senjata api rakitan juga dirasakan aparat desa setempat. Mereka mengakui ada beberapa warga yang nakal dengan membuat senjata api. Tapi, ia tak terima jika desa kelahirannya dicap sebagai desa teroris.
"Memang betul apa yang dikatakan bahwa di Cipacing ada yang membuat senjata api. Tapi, perlu diketahui saya jelas nggak terima jika disebut sarang teroris. Bisa saja ada orang ngaku-ngaku anak pejabat, polisi, atau tentara dan membodohi orang Cipacing, beri jaminan aman misalnya jadi mereka berani buat," tegas Kepala Urusan Ketenteraman dan Ketertiban Desa Cipacing Agus Supriyatna.
Ketakutan warga terhadap kondisi Cipacing saat ini juga dirasakannya. Ada warga yang mengaku pusing karena terus dihantui oleh kondisi mencekam kampungnya Bahkan, untuk pergi ke jamban saja rasa takut itu terus mengikuti.
"Dengan kejadian kemarin bisa dikatakan mencekam, iya. Sepi, iya. Dampaknya besar juga, namanya di kampung ada sakit kepala, mau ke jamban ketakutan," kata Agus.
Bahkan kabar baru yang beredar menyebutkan, anak kecil di Cipacing sudah dapat membuat senjata api.
“Bagi saya ini aneh. Bagaimana anak kecil bisa membuat senapan angin?! Informasi ini sedang kita cari kebenarannya. Saya mengakui memang ada warga saya yang membuat senjata api. Tapi, biarkan itu jadi tugas kepolisian,” ujarnya.
Menanggapi ketakutan yang muncul di tengah masyarakat, Kepala Bidang Humas Polda Jawa Barat Kombes Pol Martinus Sitompul menjamin keamanan bagi warga yang ingin terus memproduksi senapan angin atau pun yang akan membeli.
“Kalau ada kata-kata polisi menyatakan kepada warga itu kampung teroris, saya rasa tidaklah. Kita sangat maju dalam hal keterbukaan, siapa saja yang melakukan itu akan kita tindak. Atau jangan-jangan dia hanya mengaku polisi; sekarang kan banyak seperti itu. Namun, kalau ada yang seperti itu dan terbukti pasti akan kita tindak sesuai dengan peraturan yang ada,” ujarnya.
Secara prinsip, pihaknya bersama pemerintah mendukung tumbuh kembang home industry di Cipacing. “Bagi masyarakat tentu tidak ada masalah untuk datang ke sana (Cipacing) karena wilayah itu bukan menjadi kawasan yang terawasi benar,” tuturnya.
Untuk itu, pihaknya terus melakukan pembinaan, memberdayakan para pengrajin agar ikut serta dalam koperasi yang mereka bentuk sendiri. Tujuannya tak lain untuk memudahkan dalam melakukan pengawasan.
“Ke depan kita ingin pengrajin melakukan pendataan siapa saja yang membeli, berapa jumlahnya, alamatnya di mana, nomor teleponnya berapa. Kita berharap lebih dari itu ada foto pembeli. Kalau online, kita juga minta mencatat alamat email-nya. Memang senapan angin masih diperlukan di wilayah tertentu, masih digunakan untuk berburu misalnya dengan peluru 4,5 mm,” ungkapnya.
Sementara, untuk ketentuan dalam pembuatan senapan angin tidak banyak perubahan. Peraturan masih mengacu pada paraturan Polri. Perubahan terjadi hanya pada pelaporan peluru 4,5 mm yang sebelumnya tidak dilaporkan.
"Kalau ketentuan kita kembali ke ketentuan yang diatur Polri. Tidak boleh memproduksi di bawah 80 cm. Peluru sekarang 4,5 mm dicatatkan ke pihak kepolisian, kalau dulu tidak perlu dicatatkan. Ini yang perlu dalam rangka pengawasan. Ini yang kita sampaikan kepada mereka saat pembinaan," tandasnya. (Yus)
baca juga: Gampang Membuat Senjata Api, Iman Membentengi (3)