Menanggapi rencana Peraturan Perundangan (Perpu) yang diterbitkan Presiden terkait Mahkamah Konstitusi, pakar tata hukum negara Yusril Ihza Mahendra mengajukan pendapatnya.
Menurut Yusril, Perpu adalah kewenangan Presiden yang diberikan UUD 1945. Presiden berwenang menerbitkan Perpu dalam ihkwal kegentingan yang memaksa seperti dikatakan UUD 1945. Definisi adanya kegentingan yang memaksa atau tidak, ada di tangan Presiden sebagai pengambil keputusan.
"Orang bisa saja berdebat suatu kejadian sebagai kegentingan yang memaksa atau tidak, namun akhirnya semuanya adalah tergantung pada sikap Presiden. Presiden yang bertanggung jawab untuk mengatasi keadaan yang menurut pandangannya ada sifat kegentingan yang memaksa," paparnya Yusril dalam pesan tertulis kepada Liputan6.com, Senin (7/10/2013).
Meski kedudukan Perpu setara undang-undang, mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia berpendapat, MK tidak berwenang menguji Perpu. "Kalau ada yang memohon MK agar menguji Perpu, MK harus menunggu sampai Perpu itu disahkan menjadi undang-undang," lanjutnya.
Yusril menambahkan, masa berlaku Perpu terbatas. Presiden harus segera menyampaikan Perpu ke DPR untuk mendapat persetujuan. Jika disetujui, Perpu tersebut disahkan menjadi undang-undang. Sebaliknya, jika ditolak, Perpu tersebut harus dicabut dan tidak berlaku lagi.
Bagaimana jika Perpu tentang MK telah menjadi undang-undang? Yusril menegaskan, MK memang berwenang menguji semua undang-undang termasuk undang-undang yang mengatur MK sendiri. Namun secara etik dan kepatutan hal tersebut sebaiknya tidak dilakukan.
"MK berwenang menguji semua undang-undang, termasuk menguji undang-undang yang mengatur MK sendiri. Kewenangan itu diberikan UUD 1945. Dari sudut etik dan kepatutan, saya berpendapat MK sebaiknya tidak menguji undang-undang yang mengatur dirinya sendiri," ujar guru besar Ilmu Hukum UI ini.
"Biarkan undang-undang tentang MK diuji secara legislative review oleh Presiden dan DPR sebagai pembuat undang-undang, bukan oleh oleh MK," tegasnya.
Secara etis, kata Yusril, hakim wajib mundur dari majelis jika perkara yang ditangani terkait dengan kepentingannya sendiri atau keluarganya. Dalam UU Kekuasaan Kehakiman, hal tersebut juga diatur tentang wajib mundurnya hakim dari majelis jika perkara terkait dengan dirinya. (Rmn/Yus)
Menurut Yusril, Perpu adalah kewenangan Presiden yang diberikan UUD 1945. Presiden berwenang menerbitkan Perpu dalam ihkwal kegentingan yang memaksa seperti dikatakan UUD 1945. Definisi adanya kegentingan yang memaksa atau tidak, ada di tangan Presiden sebagai pengambil keputusan.
"Orang bisa saja berdebat suatu kejadian sebagai kegentingan yang memaksa atau tidak, namun akhirnya semuanya adalah tergantung pada sikap Presiden. Presiden yang bertanggung jawab untuk mengatasi keadaan yang menurut pandangannya ada sifat kegentingan yang memaksa," paparnya Yusril dalam pesan tertulis kepada Liputan6.com, Senin (7/10/2013).
Meski kedudukan Perpu setara undang-undang, mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia berpendapat, MK tidak berwenang menguji Perpu. "Kalau ada yang memohon MK agar menguji Perpu, MK harus menunggu sampai Perpu itu disahkan menjadi undang-undang," lanjutnya.
Yusril menambahkan, masa berlaku Perpu terbatas. Presiden harus segera menyampaikan Perpu ke DPR untuk mendapat persetujuan. Jika disetujui, Perpu tersebut disahkan menjadi undang-undang. Sebaliknya, jika ditolak, Perpu tersebut harus dicabut dan tidak berlaku lagi.
Bagaimana jika Perpu tentang MK telah menjadi undang-undang? Yusril menegaskan, MK memang berwenang menguji semua undang-undang termasuk undang-undang yang mengatur MK sendiri. Namun secara etik dan kepatutan hal tersebut sebaiknya tidak dilakukan.
"MK berwenang menguji semua undang-undang, termasuk menguji undang-undang yang mengatur MK sendiri. Kewenangan itu diberikan UUD 1945. Dari sudut etik dan kepatutan, saya berpendapat MK sebaiknya tidak menguji undang-undang yang mengatur dirinya sendiri," ujar guru besar Ilmu Hukum UI ini.
"Biarkan undang-undang tentang MK diuji secara legislative review oleh Presiden dan DPR sebagai pembuat undang-undang, bukan oleh oleh MK," tegasnya.
Secara etis, kata Yusril, hakim wajib mundur dari majelis jika perkara yang ditangani terkait dengan kepentingannya sendiri atau keluarganya. Dalam UU Kekuasaan Kehakiman, hal tersebut juga diatur tentang wajib mundurnya hakim dari majelis jika perkara terkait dengan dirinya. (Rmn/Yus)