Liputan6.com, Bekasi: Ada yang menarik dari pemandangan sebagian rumah warga Jakarta dan sekitarnya dalam beberapa bulan terakhir ini. Tampak sebuah potongan bambu kuning dan daun kelor yang diikat menjadi satu terpasang di pintu sejumlah rumah warga. Kedua benda tersebut bukanlah pajangan biasa. Tapi, kedua benda tadi diyakini sebagai penangkal dari aksi perampok dan pemerkosa para wanita ala Kolor Ijo. Entah dari mana asal keyakinan tersebut, kedua benda tersebut sempat menjadi barang langka karena banyak dicari warga.
Kolor Ijo akhir-akhir ini memang kerap disebut-sebut banyak orang, terutama ibu-ibu yang diisukan akan menjadi korbannya. Sedangkan arti dari Kolor Ijo, tak lain adalah celana warna hijau. Sebutan seperti ini--lagi-lagi konon, si makhluk yang hingga sekarang belum jelas adanya itu kerap mengenakan kolor berwarna hijau saat tengah beraksi atau menampakkan diri.
Fenomena misterius ini berawal dari peristiwa perampokan dan perkosaan yang terjadi di Desa Cijengkol, Kecamatan Setu, Bekasi, Jawa Barat, 20 Oktober 2003. Saat itu, rumah seorang warga disatroni perampok. Kebetulan, pelaku yang memasuki rumah korban pada pukul 22.30 WIB hanya mengenakan kolor yang kebetulan berwarna hijau. Seperti menggunakan ilmu hitam, sang pelaku berhasil mengobrak-abrik isi rumah untuk mencari harta yang bisa diambil. Kejamnya lagi, sang pelaku sempat memperkosa korban yang tak bisa melawan sama sekali. "Istri, orang tua, dan anak saya tak bisa teriak," ujar suami korban yang berinisial Ba. Apalagi, sang pelaku juga sempat menodongkan golok ke leher korban.
Yang menarik, barang hasil rampokan berupa kalung emas seberat sepuluh gram dan liontin yang diambil dari leher korban ditelan pelaku. Hal itu dilakukan lantaran pelaku tak membawa kantung dan tak memakai celana. "Dia hanya menggunakan swempak [kolor] hijau," kata Ba, menirukan pengakuan sang istri. Setelah beraksi, pelaku kemudian pergi.
Menurut Ba, pelaku dengan leluasa meninggalkan rumah korban mengingat lokasi kejadian terletak di kawasan terpencil yang jauh dari pemukiman warga. Apalagi, saat kejadian Ba juga tengah tak berada di rumah. "Dia pergi dengan santainya karena pikir sudah rasa aman. Dia keluar lewat belakang," kata Ba. Jejak pelaku pun menghilang di kegelapan malam.
Waktu pun terus berlalu. Entah siapa yang memulai, kasus perampokan yang terjadi di Bekasi kemudian berkembang menjadi isu yang meresahkan. Gambaran pelakunya bercampur dengan takhayul, menambah keresahan warga kian menjadi-jadi. Puncaknya pada Januari silam. Aksi pelaku misterius itu kembali terjadi. Kali ini, Rosadah, seorang ibu rumah tangga di Kampung Bulak, Desa Sarua, Ciputat, Tangerang, Banten, menjadi korban Kolor Ijo dan mengaku nyaris diperkosa.
Dalam pengakuannya, Rosadah menceritakan, pada malam kejadian ia tengah tidur bersama suami dan seorang anaknya. Tapi, pada tengah malam ia terbangun karena merasa ada seseorang menindih perutnya. Ironisnya, yang menindihnya bukan sang suami. "Awalnya, saya enggak berasa. Sadar-sadar saya sudah berasa panas dan baju sudah compang-camping," ungkap Rosadah. Saat itu, baju dan bra korban sudah robek-robek.
Yang menarik, pengakuan Rosadah tentang wujud si pelaku memang jauh berbeda dengan sosok Kolor Ijo yang muncul di Bekasi. Sang pelaku versi Rosadah ini adalah sosok siluman jelek yang hanya mengenakan celana dalam berwarna hijau. Tubuhnya bulat, perutnya besar, telinganya panjang, mulutnya monyong seperti babi, dan mukanya bulat. "Pendek dan gendut gitulah," ujar Rosadah mencoba mendeskripsikan sosok si pelaku.
Belum juga keresahan warga mereda, si Kolor Ijo kembali beraksi. Uniknya, lokasi kejadiannya tak berjauhan. Masih di kawasan Ciputat, tepatnya di Kampung Pladen, Pondok Ranji, Sarifah seorang ibu rumah tangga juga mengaku dirinya menjadi korban Kolor Ijo. Bak deret itung, aksi si Kolor Ijo juga kembali memakan korban. Korban berikutnya adalah Nurma, warga Gang Haji Sa`atun, Lentengagung, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Isu si Kolor Ijo rupanya terus berbuntut. Di Depok, Jabar, seorang warga yang tengah kesurupan disangka menjadi korban Kolor Ijo. Akibatnya, warga Kampung Setangklek, Beji, Depok, tempat Daryanti tinggal sempat gempar.
Peristiwa beruntun ini akhirnya membuat masyarakat kian resah. Apalagi, sejumlah media membesar-besarkan aksi sang pelaku. Aksi si Kolor Ijo ini juga terkenal dengan cepat. Dampaknya, sejumlah warga sempat khawatir dan takut keluar rumah di malam hari. Bahkan, sejumlah warga secara bergantian menggelar ronda saban hari. Langkah tersebut dilakukan tak lain untuk mengantisipasi kehadiran si Kolor Ijo.
Tak hanya itu, berbagai cara antisipasi pun dilakukan warga. Dari penangkal yang berbau agama hingga berbau mistis juga dilakukan. Terakhir, penangkal yang terkenal--dianggap paling mujarab--adalah potongan bambu dan daun kelor yang disatukan dipasang di depan pintu masuk. Tak heran, dalam sekejab sebagian besar warga di kawasan pinggiran Ibu Kota, seperti Bekasi, Tangerang, Ciputat, dan Depok memasang benda-benda tersebut. Mereka menganggap yang dipasangnya itu adalah penangkal ampuh dari aksi kejahatan si Kolor Ijo. "Saya mengantisipasi saja," kata Reni, seorang warga.
Memang tak semua warga memasang alat penangkal di rumah masing-masing. Tapi, keresahan tetap merebak dan membuat warga, terutama ibu-ibu rumah tangga, merasa tak aman. Menurut seorang warga bernama Neneng, akibat isu tersebut anak-anaknya pada malam hari takut tidur dan gelisah. Pengakuan serupa juga diakui seorang warga lainnya, Yaya. Menurutnya, jika sudah malam ia takut bila saja dikunjungi sang pelaku. "Kalau sudah jam sembilan malam, sudah enggak berani keluar lagi," ujar ibu rumah tangga ini.
Diakui atau tidak, aksi wabah Kolor Ijo telah membuat keresahan di tengah masyarakat. Namun, kebingungan akan keberadaan Kolor Ijo sempat mereda menyusul pengumuman pihak kepolisian. Ketiga wanita yang mengaku korban Kolor Ijo telah membuat laporan palsu dengan memanfaatkan cerita yang tengah meresahkan. Ketiga pelapor tersebut adalah Rosadah, Sarifah, dan Nurma.
Rosadah, warga Kampung Bulak, Desa Sarua, Ciputat, terbukti mengada-ada mengenai sosok dari sang pelaku. Begitu juga dengan Sarifah, warga Kampung Pladen, Pondok Ranji, Ciputat. Menurut Sarifah, awalnya cerita tersebut dikarang untuk menakut-nakuti anaknya agar tak sering keluar malam. "Pikiran saya memang sedang kalut, lagi kacau. Cuma itu saja," kata Sarifah, pasrah. Alasan perempuan itu mengarang cerita memang bukan tanpa sebab. Terhimpit persoalan ekonomi, ibu tiga anak ini tak ingin buah hatinya berbuat macam-macam. "Cuma untuk menghindari omongan orang kampung," kata Sarifah.
Sedangkan pelapor palsu lainnya adalah Nurma, warga Gang Haji Sa`atun, Lentengagung. Menurut dia, cerita tersebut dikarangnya lantaran kesal terhadap sang suami yang sudah sebulan tak bekerja. Saat itu, Nurma menuturkan, sengaja menyilet tangannya sendiri. Begitu juga, dengan bajunya yang robek. Itu semuanya diceritakan pada suaminya sebagai perbuatan si Kolor Ijo. Tapi, warga dan keluarga yang mengira Nurma benar-benar menjadi korban kemudian melaporkan ke Kepolisian Sektor Jagakarsa.
Laporan menjadi korban si Kolor Ijo memang hanya karangan belaka. Tapi, laporan tersebut tetap akan diproses hukum. Menurut Kepala Resor Jakarta Selatan Komisaris Besar Polisi Gufron, dari kejadian pertama polisi sudah melihat sejumlah kejanggalan dalam beberapa laporan. Di antaranya, si Kolor Ijo bisa masuk melalui dua pintu yang dikunci. Selain itu, dari kaos yang disobek tak beraturan. Sedangkan bekas luka cakaran, posisi cakarannya simetris. Karena itu, laporan tersebut dianggap palsu dan termasuk bentuk tindak pidana. Sejatinya, ketiga pelapor palsu akan dikenai Pasal 220 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang Keterangan Palsu. "Ancaman hukumannya satu tahun empat bulan," kata Gufron.
Berbeda dengan Gufron, pakar kriminologi dari Universitas Indonesia Ronny Nitibaskara justru menilai fenomena ini bukanlah hal baru di Tanah Air. Menurut dia, tak menutup kemungkinan Kolor Ijo itu memang ada. Alasannya, sejauh ini masih banyak orang menuntut ilmu hitam yang mempersyaratkan hal aneh-aneh. Misalnya, di Jawa Timur, ada ilmu tolak gaman dan jaran guyang. Untuk meraih tingkat tertentu dari ilmu ini orang diwajibkan harus memperkosa 40 kali. Dari kasus itu, mungkin memang ada orang yang betul-betul mencapai ilmu itu dengan cara aneh. Tapi, kalau kasus Kolor Ijo bisa saja ditunggangi oknum terorganisir dengan tujuan meresahkan masyarakat.
Berbagai pendapat mengenai Kolor Ijo memang sah-sah saja. Tapi, isu Kolor Ijo ini nampaknya harus tetap dicermati dengan bijak. Pasalnya, keberadaan sang pelaku hingga saat ini masih menjadi misteri.(ORS/Tim Derap Hukum)
Kolor Ijo akhir-akhir ini memang kerap disebut-sebut banyak orang, terutama ibu-ibu yang diisukan akan menjadi korbannya. Sedangkan arti dari Kolor Ijo, tak lain adalah celana warna hijau. Sebutan seperti ini--lagi-lagi konon, si makhluk yang hingga sekarang belum jelas adanya itu kerap mengenakan kolor berwarna hijau saat tengah beraksi atau menampakkan diri.
Fenomena misterius ini berawal dari peristiwa perampokan dan perkosaan yang terjadi di Desa Cijengkol, Kecamatan Setu, Bekasi, Jawa Barat, 20 Oktober 2003. Saat itu, rumah seorang warga disatroni perampok. Kebetulan, pelaku yang memasuki rumah korban pada pukul 22.30 WIB hanya mengenakan kolor yang kebetulan berwarna hijau. Seperti menggunakan ilmu hitam, sang pelaku berhasil mengobrak-abrik isi rumah untuk mencari harta yang bisa diambil. Kejamnya lagi, sang pelaku sempat memperkosa korban yang tak bisa melawan sama sekali. "Istri, orang tua, dan anak saya tak bisa teriak," ujar suami korban yang berinisial Ba. Apalagi, sang pelaku juga sempat menodongkan golok ke leher korban.
Yang menarik, barang hasil rampokan berupa kalung emas seberat sepuluh gram dan liontin yang diambil dari leher korban ditelan pelaku. Hal itu dilakukan lantaran pelaku tak membawa kantung dan tak memakai celana. "Dia hanya menggunakan swempak [kolor] hijau," kata Ba, menirukan pengakuan sang istri. Setelah beraksi, pelaku kemudian pergi.
Menurut Ba, pelaku dengan leluasa meninggalkan rumah korban mengingat lokasi kejadian terletak di kawasan terpencil yang jauh dari pemukiman warga. Apalagi, saat kejadian Ba juga tengah tak berada di rumah. "Dia pergi dengan santainya karena pikir sudah rasa aman. Dia keluar lewat belakang," kata Ba. Jejak pelaku pun menghilang di kegelapan malam.
Waktu pun terus berlalu. Entah siapa yang memulai, kasus perampokan yang terjadi di Bekasi kemudian berkembang menjadi isu yang meresahkan. Gambaran pelakunya bercampur dengan takhayul, menambah keresahan warga kian menjadi-jadi. Puncaknya pada Januari silam. Aksi pelaku misterius itu kembali terjadi. Kali ini, Rosadah, seorang ibu rumah tangga di Kampung Bulak, Desa Sarua, Ciputat, Tangerang, Banten, menjadi korban Kolor Ijo dan mengaku nyaris diperkosa.
Dalam pengakuannya, Rosadah menceritakan, pada malam kejadian ia tengah tidur bersama suami dan seorang anaknya. Tapi, pada tengah malam ia terbangun karena merasa ada seseorang menindih perutnya. Ironisnya, yang menindihnya bukan sang suami. "Awalnya, saya enggak berasa. Sadar-sadar saya sudah berasa panas dan baju sudah compang-camping," ungkap Rosadah. Saat itu, baju dan bra korban sudah robek-robek.
Yang menarik, pengakuan Rosadah tentang wujud si pelaku memang jauh berbeda dengan sosok Kolor Ijo yang muncul di Bekasi. Sang pelaku versi Rosadah ini adalah sosok siluman jelek yang hanya mengenakan celana dalam berwarna hijau. Tubuhnya bulat, perutnya besar, telinganya panjang, mulutnya monyong seperti babi, dan mukanya bulat. "Pendek dan gendut gitulah," ujar Rosadah mencoba mendeskripsikan sosok si pelaku.
Belum juga keresahan warga mereda, si Kolor Ijo kembali beraksi. Uniknya, lokasi kejadiannya tak berjauhan. Masih di kawasan Ciputat, tepatnya di Kampung Pladen, Pondok Ranji, Sarifah seorang ibu rumah tangga juga mengaku dirinya menjadi korban Kolor Ijo. Bak deret itung, aksi si Kolor Ijo juga kembali memakan korban. Korban berikutnya adalah Nurma, warga Gang Haji Sa`atun, Lentengagung, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Isu si Kolor Ijo rupanya terus berbuntut. Di Depok, Jabar, seorang warga yang tengah kesurupan disangka menjadi korban Kolor Ijo. Akibatnya, warga Kampung Setangklek, Beji, Depok, tempat Daryanti tinggal sempat gempar.
Peristiwa beruntun ini akhirnya membuat masyarakat kian resah. Apalagi, sejumlah media membesar-besarkan aksi sang pelaku. Aksi si Kolor Ijo ini juga terkenal dengan cepat. Dampaknya, sejumlah warga sempat khawatir dan takut keluar rumah di malam hari. Bahkan, sejumlah warga secara bergantian menggelar ronda saban hari. Langkah tersebut dilakukan tak lain untuk mengantisipasi kehadiran si Kolor Ijo.
Tak hanya itu, berbagai cara antisipasi pun dilakukan warga. Dari penangkal yang berbau agama hingga berbau mistis juga dilakukan. Terakhir, penangkal yang terkenal--dianggap paling mujarab--adalah potongan bambu dan daun kelor yang disatukan dipasang di depan pintu masuk. Tak heran, dalam sekejab sebagian besar warga di kawasan pinggiran Ibu Kota, seperti Bekasi, Tangerang, Ciputat, dan Depok memasang benda-benda tersebut. Mereka menganggap yang dipasangnya itu adalah penangkal ampuh dari aksi kejahatan si Kolor Ijo. "Saya mengantisipasi saja," kata Reni, seorang warga.
Memang tak semua warga memasang alat penangkal di rumah masing-masing. Tapi, keresahan tetap merebak dan membuat warga, terutama ibu-ibu rumah tangga, merasa tak aman. Menurut seorang warga bernama Neneng, akibat isu tersebut anak-anaknya pada malam hari takut tidur dan gelisah. Pengakuan serupa juga diakui seorang warga lainnya, Yaya. Menurutnya, jika sudah malam ia takut bila saja dikunjungi sang pelaku. "Kalau sudah jam sembilan malam, sudah enggak berani keluar lagi," ujar ibu rumah tangga ini.
Diakui atau tidak, aksi wabah Kolor Ijo telah membuat keresahan di tengah masyarakat. Namun, kebingungan akan keberadaan Kolor Ijo sempat mereda menyusul pengumuman pihak kepolisian. Ketiga wanita yang mengaku korban Kolor Ijo telah membuat laporan palsu dengan memanfaatkan cerita yang tengah meresahkan. Ketiga pelapor tersebut adalah Rosadah, Sarifah, dan Nurma.
Rosadah, warga Kampung Bulak, Desa Sarua, Ciputat, terbukti mengada-ada mengenai sosok dari sang pelaku. Begitu juga dengan Sarifah, warga Kampung Pladen, Pondok Ranji, Ciputat. Menurut Sarifah, awalnya cerita tersebut dikarang untuk menakut-nakuti anaknya agar tak sering keluar malam. "Pikiran saya memang sedang kalut, lagi kacau. Cuma itu saja," kata Sarifah, pasrah. Alasan perempuan itu mengarang cerita memang bukan tanpa sebab. Terhimpit persoalan ekonomi, ibu tiga anak ini tak ingin buah hatinya berbuat macam-macam. "Cuma untuk menghindari omongan orang kampung," kata Sarifah.
Sedangkan pelapor palsu lainnya adalah Nurma, warga Gang Haji Sa`atun, Lentengagung. Menurut dia, cerita tersebut dikarangnya lantaran kesal terhadap sang suami yang sudah sebulan tak bekerja. Saat itu, Nurma menuturkan, sengaja menyilet tangannya sendiri. Begitu juga, dengan bajunya yang robek. Itu semuanya diceritakan pada suaminya sebagai perbuatan si Kolor Ijo. Tapi, warga dan keluarga yang mengira Nurma benar-benar menjadi korban kemudian melaporkan ke Kepolisian Sektor Jagakarsa.
Laporan menjadi korban si Kolor Ijo memang hanya karangan belaka. Tapi, laporan tersebut tetap akan diproses hukum. Menurut Kepala Resor Jakarta Selatan Komisaris Besar Polisi Gufron, dari kejadian pertama polisi sudah melihat sejumlah kejanggalan dalam beberapa laporan. Di antaranya, si Kolor Ijo bisa masuk melalui dua pintu yang dikunci. Selain itu, dari kaos yang disobek tak beraturan. Sedangkan bekas luka cakaran, posisi cakarannya simetris. Karena itu, laporan tersebut dianggap palsu dan termasuk bentuk tindak pidana. Sejatinya, ketiga pelapor palsu akan dikenai Pasal 220 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang Keterangan Palsu. "Ancaman hukumannya satu tahun empat bulan," kata Gufron.
Berbeda dengan Gufron, pakar kriminologi dari Universitas Indonesia Ronny Nitibaskara justru menilai fenomena ini bukanlah hal baru di Tanah Air. Menurut dia, tak menutup kemungkinan Kolor Ijo itu memang ada. Alasannya, sejauh ini masih banyak orang menuntut ilmu hitam yang mempersyaratkan hal aneh-aneh. Misalnya, di Jawa Timur, ada ilmu tolak gaman dan jaran guyang. Untuk meraih tingkat tertentu dari ilmu ini orang diwajibkan harus memperkosa 40 kali. Dari kasus itu, mungkin memang ada orang yang betul-betul mencapai ilmu itu dengan cara aneh. Tapi, kalau kasus Kolor Ijo bisa saja ditunggangi oknum terorganisir dengan tujuan meresahkan masyarakat.
Berbagai pendapat mengenai Kolor Ijo memang sah-sah saja. Tapi, isu Kolor Ijo ini nampaknya harus tetap dicermati dengan bijak. Pasalnya, keberadaan sang pelaku hingga saat ini masih menjadi misteri.(ORS/Tim Derap Hukum)