Sukses

Mengulang Lagu Lama

Sejumlah mantan aktivis mahasiswa 1998 beramai-ramai masuk partai politik dan dicalonkan sebagai anggota legislatif pada Pemilu 2004. Meneruskan perjuangan atau hanya sekadar memburu uang? Wallahualam.

Liputan6.com, Jakarta: Ketegangan menyelimuti Studio Penta, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Rama Pratama, Lutfi Iskandar, Piet Hasbullah Khaidir, dan Julianto Hendro Cahyono duduk berhadapan. Raut muka mereka serius. Jarang sekali senyum terlihat. Bahkan, sesekali mata mereka bertatapan. Jauh dari kata kompak, seperti yang pernah diperlihatkan lima tahun silam, saat menumbangkan Presiden Soeharto.

Rama (Mantan Ketua Senat Universitas Indonesia), Lutfi (aktivis Forum Kota), Piet (Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), dan Hendro (mantan Ketua Senat Universitas Trisakti) memang bukan tengah mengatur strategi mengepung Gedung MPR/DPR. Kali ini para calon anggota legislatif ini tengah "menjual diri" dalam Topik Minggu Ini dengan tema Mahasiswa: Dari Jalanan ke Parlemen. Diskusi yang berlangsung Rabu (4/2) malam ini dipandu reporter SCTV Bayu Sutiyono.

Adalah Partai Keadilan Sejahtera yang mencalonkan Rama sebagai caleg. Dia dipasang di nomor urut tiga dalam daerah pemilihan DKI Jakarta I--meliputi Jakarta Pusat, Timur, dan Utara. Lutfi dicalonkan Partai Golongan Karya untuk daerah pemilihan Nusatenggara Barat. Sedangkan Piet bersaing dengan calon lain di Partai Amanat Nasional pada daerah pemilihan Jawa Timur I, mencakup Sidoarjo dan Kota Surabaya. Hanya Hendro yang tak masuk ke dalam struktur partai politik. "Saya tetap konsisten. Tidak berpolitik hingga detik ini," kata Hendro.

Keputusan mantan aktivis mahasiswa masuk parpol, apalagi menjadi caleg, langsung menuai kecaman. Sejumlah tuduhan pun terlontar. Mereka dituding melupakan perjuangan. Ada pula yang menjuluki mereka sebagai pemburu uang yang haus kekuasaan. "Mereka adalah politisi gadungan yang mengkhianati reformasi," ujar Ulin, aktivis mahasiswa 1998 ketika dihubungi via telepon, serius.

Tudingan Ulin bukan tak berdasar. Sebab, saat menjadi mahasiswa dulu, Lutfi Cs adalah orang-orang yang getol menginginkan perubahan, termasuk membubarkan Partai Golkar. Tapi, anehnya, mereka sekarang malah masuk ke dalam struktur partai yang selama ini dituding tak reformis. Itulah sebabnya, Amarsyah, aktivis mahasiswa lain, menyesalkan langkah mantan aktivis mahasiswa menjadi caleg.

Lutfi membantah tuduhan Ulin dan Amarsyah. Dia mengajak rekan-rekan perjuangannya dulu melihat persoalan sekarang lebih jernih lagi. "Ini tak bisa dilihat dengan kacamata kuda. Pilihan masuk Golkar adalah bagian dari perjuangan politik," ujarnya berkelit. Piet menambahkan, pilihan masuk parpol adalah transisi yang paling fair untuk ikut memperbaiki sistem. "Saya tidak malu masuk PAN yang jelas-jelas menjadi lokomotif reformasi," ujar Piet.

Menurut Hendro, tawaran untuk masuk ke dalam lingkaran kekuasaan sebenarnya bukan hanya terjadi pada Pemilu 2004. Dalam Sidang Tahunan MPR silam, mahasiswa sebenarnya sudah ditawarkan menjadi anggota MPR mewakili golongan mahasiswa. "Tapi waktu itu langsung ditolak. Sebab, perjuangan mahasiswa bukan untuk duduk di Parlemen," lanjut Hendro.

Demoralisasi gerakan? Lutfi menyangkal hal itu. Dia juga mempertanyakan ukuran dan parameter demoralisasi. Menurut dia, pilihan masuk parpol adalah bagian dari strategi perjuangan. Sebab, pergerakan mahasiswa ada batas waktunya. Sedangkan permasalahan yang harus diperbaiki masih sangat kompleks. Karena itu perlu wadah untuk berjuang. "Saya pilih Golkar karena yang sekarang berbeda dengan yang dulu," ujar Lutfi.

Apa yang dilakukan Rama, Lutfi, dan Piet sebenarnya bukan hal baru. Aktivis mahasiswa 1966, 1974, 1978, hingga era 1980-an juga banyak yang masuk partai. Sebut saja Akbar Tandjung, Cosmas Batubara, Fahmi Idris, Sjahrir, dan Heri Ahmadi. Bedanya, pada 1966 ada Soe Hok Gie yang mengirim gincu, sisir, cermin, lipstik, dan celana dalam wanita untuk mereka. Menurut Gie, aktivis mahasiswa yang duduk di Senayan tak ubahnya pelacur yang tengah menjajakan diri.

Rama tak terima bila disamakan dengan aktivis 1966. Menurut dia, eksponen 66 langsung mengambil keuntungan dari perjuangan mereka. Sedangkan dia sempat menahan diri dan menghilang selama lima tahun dari panggung politik. Rama juga berjanji akan tetap konsisten dengan agenda reformasi yang diperjuangkannya dulu. Sedangkan Piet bakal memperjuangkan pelaku usaha kecil dan menengah serta buruh bila terpilih sebagai anggota Dewan.

Piet, Rama, dan Lutfi boleh saja berjanji apa pun. Tapi, menurut sosiolog Paulus Wirotomo, kehadiran mereka di panggung politik tak ada yang istimewa. Dia pesimistis mantan aktivis mahasiswa ini akan berperan banyak di Parlemen. "Sebab, seperti yang kita tahu selama ini, Parlemen sekarang juga bukan yang terbaik," kata Paulus. Itulah sebabnya, dia tak terlalu mempedulikan sepak terjang para caleg muda ini. Boleh jadi, Rama Cs hanya mengulang lagu lama: berjuang, masuk partai, dan terlena di puncak kekuasaan. Wallahualam.(ULF)