Rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait dugaan suap yang menimpa Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) nonaktif Akil Mochtar, perlu mendapat perhatian serius.
Ada 3 poin nantinya dituangkan dalam Perppu yang masih dalam wacana itu, yakni persyaratan hakim konstitusi, penjaringan dan pemilihan hakim konstitusi, serta pengawasan terhadap MK.
"Penjelasan pasal tersebut menyatakan Perppu adalah sebagai noodverordeningsrecht atau produk hukum yang dikeluarkan berdasarkan hak subjektif Presiden, guna melakukan pengaturan ketika ada keadaaan yang genting dan memaksa," kata peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Miko Susanto Ginting dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Kamis (17/10/2013).
Miko mengatakan, memang harus diakui bahwa UUD 1945 memang memberikan hak bagi Presiden secara konstitusional menerbitkan Perppu yang tertuang dalam Pasal 22 itu. Yaitu dalam kontek adanya ihwal `kegentingan dan memaksa`.
Terkait konteks ihwal `kegentingan dan memaksa`, kata Miko, perlu ada pembahasan lebih lanjut. Keadaan yang memaksa merujuk kepada hal yang berkaitan dengan substansi pengaturan dari suatu Perppu.
Maka itu, kata Miko, perlu diperjelas lagi apakah ada persoalan substansial yang memaksa dikeluarkannya Perppu. "Mengingat dalam keadaan normal sekalipun, persyaratan hakim konstitusi, pemilihan hakim konstitusi, dan pengawasan MK seharusnya diatur secara normatif dalam undang-undang," katanya.
Selanjutnya, sambung Miko, hal kedua yang patut diperjelas adalah maksud dari keadaan `genting`, yang merujuk kepada hal yang berkaitan dengan waktu atau kondisi pada saat dikeluarkannya Perppu.
Menurut Miko, patut diperhatikan apakah ada waktu atau kondisi yang mengharuskan Presiden mengeluarkan Perppu? Mengingat, kata Miko, hingga kini persidangan di MK masih berjalan baik meski jumlah hakim konstitusi berkurang dan tetap kuorum.
"Begitu juga belum ada penarikan perkara atas dasar ketidakpercayaan kepada MK," katanya.
Maka dari itu, Miko mempertanyakaan keadaan `genting dan memaksa` tersebut. Sebab keadaan yang genting dan memaksa belum terpenuhi dikeluarkannya Perppu oleh Presiden.
Lebih jauh Miko mengatakan, dalam kapasitas Presiden yang memiliki kewenangan konstitusional membentuk UU bersama dengan DPR, berdasarkan substansi pengaturannya, lebih tepat jika ketiga poin yang nanti dituangkan ke Perppu itu diajukan dalam bentuk RUU inisiatif oleh Presiden atau dalam UU.
"Lebih tepat kiranya diatur dalam bentuk UU. Lebih tegasnya dapat melalui RUU inisiatif oleh Presiden. Atau dapat juga dilakukan melalui perubahan UU MK," kata dia. (Rmn/Ism)
Ada 3 poin nantinya dituangkan dalam Perppu yang masih dalam wacana itu, yakni persyaratan hakim konstitusi, penjaringan dan pemilihan hakim konstitusi, serta pengawasan terhadap MK.
"Penjelasan pasal tersebut menyatakan Perppu adalah sebagai noodverordeningsrecht atau produk hukum yang dikeluarkan berdasarkan hak subjektif Presiden, guna melakukan pengaturan ketika ada keadaaan yang genting dan memaksa," kata peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Miko Susanto Ginting dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Kamis (17/10/2013).
Miko mengatakan, memang harus diakui bahwa UUD 1945 memang memberikan hak bagi Presiden secara konstitusional menerbitkan Perppu yang tertuang dalam Pasal 22 itu. Yaitu dalam kontek adanya ihwal `kegentingan dan memaksa`.
Terkait konteks ihwal `kegentingan dan memaksa`, kata Miko, perlu ada pembahasan lebih lanjut. Keadaan yang memaksa merujuk kepada hal yang berkaitan dengan substansi pengaturan dari suatu Perppu.
Maka itu, kata Miko, perlu diperjelas lagi apakah ada persoalan substansial yang memaksa dikeluarkannya Perppu. "Mengingat dalam keadaan normal sekalipun, persyaratan hakim konstitusi, pemilihan hakim konstitusi, dan pengawasan MK seharusnya diatur secara normatif dalam undang-undang," katanya.
Selanjutnya, sambung Miko, hal kedua yang patut diperjelas adalah maksud dari keadaan `genting`, yang merujuk kepada hal yang berkaitan dengan waktu atau kondisi pada saat dikeluarkannya Perppu.
Menurut Miko, patut diperhatikan apakah ada waktu atau kondisi yang mengharuskan Presiden mengeluarkan Perppu? Mengingat, kata Miko, hingga kini persidangan di MK masih berjalan baik meski jumlah hakim konstitusi berkurang dan tetap kuorum.
"Begitu juga belum ada penarikan perkara atas dasar ketidakpercayaan kepada MK," katanya.
Maka dari itu, Miko mempertanyakaan keadaan `genting dan memaksa` tersebut. Sebab keadaan yang genting dan memaksa belum terpenuhi dikeluarkannya Perppu oleh Presiden.
Lebih jauh Miko mengatakan, dalam kapasitas Presiden yang memiliki kewenangan konstitusional membentuk UU bersama dengan DPR, berdasarkan substansi pengaturannya, lebih tepat jika ketiga poin yang nanti dituangkan ke Perppu itu diajukan dalam bentuk RUU inisiatif oleh Presiden atau dalam UU.
"Lebih tepat kiranya diatur dalam bentuk UU. Lebih tegasnya dapat melalui RUU inisiatif oleh Presiden. Atau dapat juga dilakukan melalui perubahan UU MK," kata dia. (Rmn/Ism)