Sukses

Topeng Monyet, Eksploitasi di Balik Hiburan

Topeng monyet menjadi hiburan tersendiri bagi anak-anak. Di balik itu, sejumlah pihak menilai itu sebagai eksploitasi hewan.

Ting..tang..
Ting..tungg..
Ting.. tang..
Ting.. tungg..

Suara gamelan itu kerap terdengar dari sebuah pertunjukan yang memancing anak-anak berkumpul. Anak-anak dari beragam usia tampak senang menyaksikan atraksi seekor hewan yang membuatnya tertawa. Dengan sepeda motor yang terbuat dari kayu, hewan itu menunggangi motor layaknya manusia. Tentu itu di bawah kendali sang pawang.

Itulah pertunjukkan topeng monyet. Jenis hewan tersebut menjadi magnet tersendiri bagi anak-anak di sejumlah lokasi yang haus akan hiburan. Orangtua yang membawa anak-anaknya pun turut larut dalam pertunjukkan tersebut.

Namun begitu, pertunjukkan itu kini terancam hilang dari peredaran. Pemprov DKI telah mencanangkan Jakarta bebas topeng monyet pada 2014 mendatang. Gubernur DKI Joko Widodo menegaskan monyet tidak boleh dijadikan sebagai alat untuk mendapatkan uang. Apalagi hewan itu kerap disiksa pemiliknya.

Dengar Suara 'Kampung' Monyet

Rencana Jokowi menertibkan topeng monyet telah sampai di telinga para pengamen. Mereka yang tinggal di Cipinang Besar Selatan, Kanal Banjir Timur (KBT), Jakarta Timur itu mengaku pasrah akan kebijakan tersebut.

Meski begitu, mereka meminta orang nomor satu di DKI itu agar mendengar suara dari Kampung Monyet, sebutan wilayah tempat tinggal para pengamen topeng monyet.

"Saya tinggal di sini, di kampung monyet ini di bilik-bilik gitu. Ukurannya paling 3x3,5 meter. Dinding tripleks. Makanya saya berharap, kalau mau ditertibkan, dipikirin juga rakyat kecil. Itu mata pencaharian kita, dapur buat anak saya," ucap salah satu pengamen topeng monyet, Rudi (35), di Cipinang, Jakarta Timur, Selasa (22/10/2013).

Kendati sudah dilarang, Rudi tetap melanjutkan aktivitasnya berkeliling mencari nafkah dengan monyetnya ke daerah Jakarta Selatan. Ia mengatakan, biasanya per hari mendapatkan penghasilan sekitar Rp 50 ribu hingga Rp 70 ribu.

Bisnis yang Kejam

Walau banyak pihak pesimistis Jakarta bebas topeng monyet, namun organisasi pecinta binatang Jakarta Animal Aid Network (JAAN) yakin upaya Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo itu akan berhasil. Jokowi diharap tak hanya menyita atau membeli monyet-monyet dari para pawang, tapi juga menumbuhkan kesadaran masyarakat bahwa topeng monyet adalah bentuk kejahatan terhadap satwa.

"Masyarakat harus tahu, cara pemeliharaan monyet yang dilakukan mereka sangat kejam. Kami lihat cara mereka melatihnya. Gigi monyet itu dipotong, mereka diisolasi, untuk mendapat sedikit makanan mereka harus kerja keras, dan penyakitan," ujar Koordinator Perlindungan Satwa Liar JAAN, Femke den Hass kepada Liputan6.com, Selasa, (22/10/2013).

Menurut perempuan berkebangsaan Belanda itu, sebagian kalangan masyarakat Indonesia masih banyak beranggapan kalau topeng monyet adalah budaya atau tradisi turun temurun yang dianggap sebagai hiburan. Padahal, saat ini topeng monyet adalah bentuk eksploitasi manusia terhadap hewan untuk mendapatkan uang semata.

"Topeng monyet bukan tradisi, tak lebih dari bisnis yang kejam. Para pawang itu menyewakannya kepada orang lain, kepada para anak-anak jalanan. Kemudian anak-anak itu mereka mintai uang setoran sebesar Rp 30 ribu per hari," ungkap Femke.

Karena itu, menurut Femke, para pawang monyet tersebut tidak hanya melakukan ekspoitasi terhadap monyet. Namun juga para anak-anak jalanan yang selama ini berprofesi sebagai pengamen topeng monyet, yang biasa beroperasi di persimpangan jalan atau di kampung-kampung.

"Mereka sewa ke anak jalanan, wajib setoran 30 ribu. Bila tidak sampai target, anak-anak itu tidak dapat makan, dan harus berhutang. Jadi tidak hanya monyet yang mereka siksa, tapi juga para anak-anak," ujar Femke berlogat Belanda.

Tidak Berperikebinatangan

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menyatakan, menggunakan monyet sebagai alat mencari uang di jalanan sudah tidak wajar.

"Yah, (topeng monyet) itu kan enggak berperikebinatangan, monyet disuruh-suruh begitu," ujar pria yang karib disapa Ahok itu di Balaikota DKI Jakarta, Selasa (22/10/2013).

Ia mengatakan, dari segi pertunjukan, seekor monyet beratraksi mengikuti instruksi seorang pawang dan diiringi suara musik gamelan, cukup menghibur. Terutama untuk anak-anak.

Hanya saja, lanjutnya, yang dipermasalahkan adalah cara melatih monyet tersebut. Terkadang monyet-monyet itu tidak dirawat dengan baik. Di samping itu, selain beraksi di perumahan, umumnya topeng monyet juga berada di pinggir jalan.

"Saya saja suka nonton (topeng monyet), tapi kan harus bisa memilah-milah, enggak bisa di seberang jalanan juga, di pinggir jalan, kan enggak bener tuh. Kalau untuk pertunjukan sih beda lagi, sama kayak sirkus. Tapi kalau ini mah kadang monyetnya enggak dikasih makan," ucap Ahok. (Ali)