Sukses

Diduga Corporate Crime, Sumalindo Digugat Bayar Rp 18,7 Triliun

“Angka ini belum seberapa bila dibandingkan dengan nilai keuntungan dari tindak coorporate crime yang mereka lakukan,” kata Pengacara Wahyu.

Sidang sengketa pemegang saham PT Sumalindo Lestari Jaya, Tbk (SULI) kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (24/10/2013). Sidang lanjutan itu telah sampai pada tahap akhir kesimpulan dari masing-masing pihak, baik penggugat maupun tergugat, yang diserahkan oleh pengacara.

Sidang yang dipimpin Majelis Hakim Soehartono akan menjatuhkan putusan perkara Kamis, 07 November 2013 mendatang sebagai akhir dari perselisihan yang melibatkan para pemegang saham publik atau minoritas dengan pemegang saham mayoritas PT SULI.

Pengacara penggugat Deddy Hartawan Jamin, Danggur Konradus mengatakan pihaknya sangat optimis gugatannya akan diterima hakim karena bukti, saksi dan fakta-fakta selama persidangan, sangat mendukung dan meyakinkan terhadap semua gugatan.

“Kita menggugat direksi dan pemegang saham mayoritas karena mereka kita anggap telah melakukan tindakan corporate crime atau kejahatan  korporasi yang merugikan kami, pemegang saham publik. Dan tidak ada itikad baik dari pihak mereka untuk menyelesaikan ini," kata Danggur melalui pesan tertulis yang diterima Liputan6.com di Jakarta, Jumat (25/10/2013).

Danggur menjelaskan corporate crime yang dilakukan PT SULI terlihat dari beberapa bukti yang telah diungkap di pengadilan. Seperti penjualan anak perusahaan PT SULI yaitu PT Sumalindo Hutani Jaya (SHJ) yang melabrak prosedur dengan harga yang tidak wajar dan sangat murah. Hal ini mengakibatkan kerugian PT SULI.

Selain itu, ia menambahkan praktek illegal logging yang sangat masif dan sistematis di area PT SULI tidak tercatat dalam laporan keuangan juga menjadi bukti sangat penting terjadinya corporate crime di PT SULI. Selain illegal logging, penambangan batubara secara besar-besaran di area PT SHJ, perusahaan patungan antara SULI dan Inhutani I yang berlangsung sejak awal tahun 2006 juga menjadi fakta yang
sangat fatal karena semua aktifitas penambangan dan keuntungannya tidak pernah dilaporkan dalam perusahaan.

Kesimpulan penggugat juga disebutkan bahwa coorporate crime tersebut sangat dimungkinkan terjadi karena adanya konspirasi antar direksi dan para pemegang saham mayoritas yang terkait dengan PT SULI.

"Konspirasi tersebut dapat dilakukan karena para pemegang saham di seputar PT SULI adalah mereka yang semuanya memiliki hubungan kekeluargaan yang berpotensi terjadinya conflict of interest," jelas Danggur.

Ia menuturkan Presiden Direktur PT SULI pada tahun 2009 hingga sekarang adalah Amir Sunarko dengan Komisaris Utama Ambran Sunarko (sebelum digantikan oleh Wijiasih Cahyasasi, kakak kandung Ani Yudhoyono, pada tahun 2010). Aris Sunarko, Ambran Sunarko dan Amir Sunarko adalah kakak beradik kandung. Di sisi lain, pemegang saham mayoritas PT SULI adalah PT Sumber Graha Sejahtera (SGS) yang pemegang saham dan direksinya dikendalikan oleh Aris Sunarko yang juga kakak kandung dari Amir dan Ambran Sunarko.

"Fakta hubungan kekerabatan di antara direksi dan pengendali saham mayoritas PT SULI ini sangat mempengaruhi semua kebijakan yang terjadi yang berorientasi kepada keuntungan sepihak dan sesaat juga telah merugikan kepentingan pemegang saham minoritas atau publik," imbuh Danggur.

Salah satu contoh nyata, Ia menambahkan PT SGS tidak mau buku Sumalindo diperiksa dengan berbagai alasan.

"Apa ruginya perusahaan diaudit oleh tim independen yang diminta oleh pemegang saham Publik? Kenapa putusan Penetapan pemeriksaan oleh Pengadilan Negeri  Jakarta Selatan harus dikasasi ke MA?” tanya Danggur.

Sementara pengacara Wahyu Hargono menambahkan selain bukti, saksi-saksi, baik yang diajukan penggugat maupun tergugat justru memberikan keterangan yang semakin memperkuat gugatan kliennya.

"Seperti fakta material, potensi tegakan tanaman, penunjukan penilai, peta wilayah penambangan di lahan PT SHJ, yang semua itu memperlihatkan secara nyata bahwa PT SULI melakukan tindakan yang kita sebut corporate crime," imbuh Wahyu.

Dengan bahasa lain, Ia menegaskan Direksi PT SULI telah merampok perusahaannya sendiri, membuat rugi perusahaan sendiri, demi kepentingan dan keuntungan yang lebih besar, meski harus merugikan pemegang saham publik.

"Karena itu, wajar dan sangat masuk akal jika kita menggugat ganti rugi, baik materil maupun immateriil, senilai 18 triliun lebih dan penggugat meminta kepada Majelis Hakim agar nilai gugatan ganti rugi tersebut dikembalikan untuk kepentingan PT SULI," jelasnya.

Menurutnya, tuntutan ganti rugi itu tidak seberapa dengan kerusakan corporate crime yang telah ditimbulkan PT SULI.

“Angka ini belum seberapa bila dibandingkan dengan nilai keuntungan dari tindak corporate crime yang mereka lakukan,” tukas Wahyu. (Adi)