Abbas Said, anggota Majelis Kehormatan Hakim (MKH) Konstitusi nonaktif Akil Mochtar dinilai rasis saat sidang. Sikap ayahanda Farhat Abbas itu pun mengundang 12 perwakilan masyarakat Dayak, Kalimantan Barat, melayangkan somasi kepada MKH Akil. Lalu apa kata Farhat?
"Ayah saya bukan tipe seperti itu (rasis). Dan pertanyaannya itu kan ditujukan kepada orang yang dekat dengan Akil kan, kalau mau bicara dekat itu kan ditanya asal-usul orang ini kan, apakah karena KKN, lalu apakah dia dari Dayak atau dari Kalbar," kata Farhat saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Jumat malam (25/10/2013).
"Jadi itu pertanyaan yang umum, kan namanya juga Majelis Kehormatan. Nggak ada maksud untuk rasis," imbuhnya.
Farhat menilai, tak ada kaitannya antara rasis saat sidang beberapa waktu lalu dengan kasus korupsi sengketa pilkada yang tengah melilit Akil. Kemarahan masyarakat Dayak juga dianggapnya sebagai kesalahan persepsi semata.
"Menjadi hakim itu wajar kalau menanyakan asal-usulnya darimana, warga, suku agama dan lain-lain. Dan itu pertanyaan baku. Nanya 'Berapa bapak punya istri juga sah-sah saja'," tuturnya.
"Seharusnya tidak perlu mengomplain pertanyaan itu, seharusnya yang perlu dipertanyakan adalah Akil itu orang kalbar, orang Dayak yang telah mencoreng nama, baik adat dan suku Dayak," ujarnya.
Sementara itu, Ketua tim advokasi masyarakat Dayak, Andel mengatakan, pihaknya menyayangkan adanya rasisme dalam sidang etik Ketua MK nonaktif Akil Mochtar yang dilakukan anggota MKH Konstitusi Abbas Said beberapa waktu lalu. Saat memeriksa salah satu saksi bernama Sarmili, Abbas Said mengeluarkan pernyataan yang dinilai tidak etis dan dianggap merendahkan masyarakat Dayak.
Andel menilai, pernyataan Abbas dalam sidang etik itu seolah-olah menggeneralisir semua orang Dayak pasti melakukan korupsi. "Saat itu Abbas berkata, 'Saudara bukan orang Dayak kan? Bukan orang Kalbar kan?'," kata Andel. "Kami ini sakit dan sedih ketika melihat Pak Abbas membawa-bawa ras dalam pertanyaan kepada saksi." (Ndy)
"Ayah saya bukan tipe seperti itu (rasis). Dan pertanyaannya itu kan ditujukan kepada orang yang dekat dengan Akil kan, kalau mau bicara dekat itu kan ditanya asal-usul orang ini kan, apakah karena KKN, lalu apakah dia dari Dayak atau dari Kalbar," kata Farhat saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Jumat malam (25/10/2013).
"Jadi itu pertanyaan yang umum, kan namanya juga Majelis Kehormatan. Nggak ada maksud untuk rasis," imbuhnya.
Farhat menilai, tak ada kaitannya antara rasis saat sidang beberapa waktu lalu dengan kasus korupsi sengketa pilkada yang tengah melilit Akil. Kemarahan masyarakat Dayak juga dianggapnya sebagai kesalahan persepsi semata.
"Menjadi hakim itu wajar kalau menanyakan asal-usulnya darimana, warga, suku agama dan lain-lain. Dan itu pertanyaan baku. Nanya 'Berapa bapak punya istri juga sah-sah saja'," tuturnya.
"Seharusnya tidak perlu mengomplain pertanyaan itu, seharusnya yang perlu dipertanyakan adalah Akil itu orang kalbar, orang Dayak yang telah mencoreng nama, baik adat dan suku Dayak," ujarnya.
Sementara itu, Ketua tim advokasi masyarakat Dayak, Andel mengatakan, pihaknya menyayangkan adanya rasisme dalam sidang etik Ketua MK nonaktif Akil Mochtar yang dilakukan anggota MKH Konstitusi Abbas Said beberapa waktu lalu. Saat memeriksa salah satu saksi bernama Sarmili, Abbas Said mengeluarkan pernyataan yang dinilai tidak etis dan dianggap merendahkan masyarakat Dayak.
Andel menilai, pernyataan Abbas dalam sidang etik itu seolah-olah menggeneralisir semua orang Dayak pasti melakukan korupsi. "Saat itu Abbas berkata, 'Saudara bukan orang Dayak kan? Bukan orang Kalbar kan?'," kata Andel. "Kami ini sakit dan sedih ketika melihat Pak Abbas membawa-bawa ras dalam pertanyaan kepada saksi." (Ndy)