Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyatakan, praktik korupsi paling banyak terjadi di kalangan pegawai negeri sipil (PNS) di pemerintahan daerah.
"Praktik-praktik korupsi itu paling banyak dilakukan di tingkat pegawai, kalau di pemda malah di level bendahara," kata Wakil Kepala PPATK, Agus Santoso, di Gedung Kemenkum dan HAM, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (28/10/2013).
Agus memaparkan, dari jika pejabat terkait memiliki posisi yang strategis, peluang korupsinya juga lebih besar. "Dua tahun sebelum pilkada itu dia terlapor, nanti kalau sudah menjabat laporannya cenderung turun. Tapi yang terlapor anak buahnya, nah itu contoh bahwa atasan sering menggunakan anak buahnya untuk korupsi," papar Agus.
Agus mengungkapkan, praktik korupsi di pemda yang paling banyak ditemukan oleh PPATK itu untuk pengadaan barang dan jasa, perizinan, serta pendapatan negara.
"Modusnya paling banyak itu pengadaan barang dan jasa, kedua soal perizinan-perizinan. Jadi kalau pengadaan barang dan jasa itu modusnya kongkalikong, feedback. Kalau perizinan suap, bayar di muka, bayar di belakang," ungkap Agus.
Tak hanya penggelembungan anggaran, dalam praktik korupsi di pemda ada pula penurunan pendapatan. "Untuk pendapatan daerah terkait retribusi pajak, yang berupa pendapatan penerimaan negara, itu mark down," sambung Agus.
Agus menegaskan, tak mungkin jika praktik-praktik yang terjadi dalam birokrasi pemda itu tak diketahui jabatan di atasnya. "Ini kan tidak mungkin jadi otaknya, kalau pegawai yang golongan 3B atau 3C. Kan atasan-atasannya itu yang menyalahgunakan bawahannya," tandas Agus.
Yang jelas, kata Agus, PPATK mendukung agar koruptor dimiskinkan, selain harus dihukum berat. "Kami PPATK mendukung sekali supaya semua koruptor itu dituntut kumulatif tipikor (tindak pidana korupsi) dan pencucian uang, hukuman berat, dan harus dimiskinkan," tegas Agus. (Ado/Yus)
"Praktik-praktik korupsi itu paling banyak dilakukan di tingkat pegawai, kalau di pemda malah di level bendahara," kata Wakil Kepala PPATK, Agus Santoso, di Gedung Kemenkum dan HAM, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (28/10/2013).
Agus memaparkan, dari jika pejabat terkait memiliki posisi yang strategis, peluang korupsinya juga lebih besar. "Dua tahun sebelum pilkada itu dia terlapor, nanti kalau sudah menjabat laporannya cenderung turun. Tapi yang terlapor anak buahnya, nah itu contoh bahwa atasan sering menggunakan anak buahnya untuk korupsi," papar Agus.
Agus mengungkapkan, praktik korupsi di pemda yang paling banyak ditemukan oleh PPATK itu untuk pengadaan barang dan jasa, perizinan, serta pendapatan negara.
"Modusnya paling banyak itu pengadaan barang dan jasa, kedua soal perizinan-perizinan. Jadi kalau pengadaan barang dan jasa itu modusnya kongkalikong, feedback. Kalau perizinan suap, bayar di muka, bayar di belakang," ungkap Agus.
Tak hanya penggelembungan anggaran, dalam praktik korupsi di pemda ada pula penurunan pendapatan. "Untuk pendapatan daerah terkait retribusi pajak, yang berupa pendapatan penerimaan negara, itu mark down," sambung Agus.
Agus menegaskan, tak mungkin jika praktik-praktik yang terjadi dalam birokrasi pemda itu tak diketahui jabatan di atasnya. "Ini kan tidak mungkin jadi otaknya, kalau pegawai yang golongan 3B atau 3C. Kan atasan-atasannya itu yang menyalahgunakan bawahannya," tandas Agus.
Yang jelas, kata Agus, PPATK mendukung agar koruptor dimiskinkan, selain harus dihukum berat. "Kami PPATK mendukung sekali supaya semua koruptor itu dituntut kumulatif tipikor (tindak pidana korupsi) dan pencucian uang, hukuman berat, dan harus dimiskinkan," tegas Agus. (Ado/Yus)