Hingga September 2013, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah menangangi 1.264 korban pelanggaran kasus HAM berat. Namun, LPSK mengaku seringkali menemukan kendala dalam memberikan bantuan pada korban kejahatan.
"Salah satu kendala selama ini adalah masih lemahnya ketentuan pemberian reparasi terhadap korban dalam UU 13 Tahun 2016 dan minimnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap pentingnya pemberian reparasi korban tersebut," kata Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai yang terpilih kembali untuk periode 2013-2018, di Hotel Aston Marina, Jakarta, Kamis (31/10/2013).
Reparasi merupakan mekanisme pemulihan korban yang dilakukan negara. Reparasi bisa berbentuk materi maupun nonmateri seperti pemberian kompensasi atau permintaan maaf secara resmi.
Semendawai menjelaskan meski UU No 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban dilahirkan telah mengamanahkan LPSK, tapi dalam perjalanannya LPSK kerap menemukan kendala dalam fasilitasi pemberian restitusi dan kompensasi atau ganti kerugian serta bantuan terhadap korban kejahatan.
Akibat kendala yang sering dirasakan itu, kata Semendawai, LPSK pun melakukan langkah taktis. Seperti koordinasi intensif dengan korban, organisasi korban, tenaga medis, psikologis, serta aparat penegak hukum di seluruh Indonesia.
"Diharapkan dapat membahas sejumlah isu-isu krusial mengenai kendala penanganan reparasi korban kejahatan ini. Selain itu diharapkan pula dapat menjaring berbagai gagasan dan terobosan dari para pemangku kepentingan dalam memenuhi hak korban kejahatan dan pelanggaran HAM berat ke depan," tandasnya.
Rapat koordinasi itu bertemakan membangun sinergitas kewenangan, kemampuan, dan fasilitas dalam aktivitas layanan perlindungan dan bantuan pemenuhan hak-hak korban kejahatan. Rakor LPSK ini dilaksanakan seteleh Semendawai terpilih kembali menjadi Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) periode 2013-2018. Ia terpilih dalam rapat paripurna yang digelar LPSK selama 6 jam. (Rmn/Ism)
"Salah satu kendala selama ini adalah masih lemahnya ketentuan pemberian reparasi terhadap korban dalam UU 13 Tahun 2016 dan minimnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap pentingnya pemberian reparasi korban tersebut," kata Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai yang terpilih kembali untuk periode 2013-2018, di Hotel Aston Marina, Jakarta, Kamis (31/10/2013).
Reparasi merupakan mekanisme pemulihan korban yang dilakukan negara. Reparasi bisa berbentuk materi maupun nonmateri seperti pemberian kompensasi atau permintaan maaf secara resmi.
Semendawai menjelaskan meski UU No 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban dilahirkan telah mengamanahkan LPSK, tapi dalam perjalanannya LPSK kerap menemukan kendala dalam fasilitasi pemberian restitusi dan kompensasi atau ganti kerugian serta bantuan terhadap korban kejahatan.
Akibat kendala yang sering dirasakan itu, kata Semendawai, LPSK pun melakukan langkah taktis. Seperti koordinasi intensif dengan korban, organisasi korban, tenaga medis, psikologis, serta aparat penegak hukum di seluruh Indonesia.
"Diharapkan dapat membahas sejumlah isu-isu krusial mengenai kendala penanganan reparasi korban kejahatan ini. Selain itu diharapkan pula dapat menjaring berbagai gagasan dan terobosan dari para pemangku kepentingan dalam memenuhi hak korban kejahatan dan pelanggaran HAM berat ke depan," tandasnya.
Rapat koordinasi itu bertemakan membangun sinergitas kewenangan, kemampuan, dan fasilitas dalam aktivitas layanan perlindungan dan bantuan pemenuhan hak-hak korban kejahatan. Rakor LPSK ini dilaksanakan seteleh Semendawai terpilih kembali menjadi Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) periode 2013-2018. Ia terpilih dalam rapat paripurna yang digelar LPSK selama 6 jam. (Rmn/Ism)