Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mendesak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) agar bertanggung jawab penuh dan menuntaskan penyelesaian Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang belum memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Peneliti Perludem Khoirunnisa Agustyati mengatakan, penyelenggara pemilu yakni KPU dan jajarannya bukan petugas pemutakhiran data kependudukan. Karena itu KPU tak berwenang memutakhirkan NIK Warga Negara Indonesia (WNI).
"Mestinya sejak awal KPU hanya fokus pada memastikan terdaftarnya WNI sebagai pemilih dan tidak perlu berurusan dengan masalah NIK," kata Khoirunnisa di sela-sela diskusi yang berlangsung di Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (6/11/2013).
Menurut Nisa, sapaan akrab Khoirunnisa, kalau saja pemutakhiran data kependudukan yang dimiliki pemerintah akurat dan sudah menjangkau setiap WNI, DPT bermasalah tidak akan terjadi. Karena itu, pasca-penetapan rekapitulasi DPT pada Senin 4 November lalu, KPU harus tetap bekerja memutakhirkan data pemilih sesuai mandat UU Nomor 8 Tahun 2012.
Pasal 40 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 menyebutkan; Dalam hal terdapat warga negara yang memenuhi syarat sebagai pemilih dan tidak memiliki identitas kependudukan dan atau tidak terdaftar dalam daftar pemilih sementara (DPS), daftar pemilih sementara hasil perbaikan (DPSHP), daftar pemilih tetap (DPT) atau daftar pemilih tambahan, KPU provinsi melakukan pendaftaran dan memasukkannya ke dalam daftar pemilih khusus (DPK).
Nisa menjelaskan, hal itu juga diatur dalam Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2013 tentang penyusunan daftar pemilih untuk pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD bahwa Panitia Pemutakhiran Suara (PPS) menyusun Daftar Pemilih Khusus sejak DPT ditetapkan paling lama 14 hari sebelum pemungutan suara.
"Karena DPK harus dioptimalkan untuk menjangkau setiap pemilih yang berhak untuk terdata sebagai pemilih pemilu 2014," jelas Nisa.
Nisa menambahkan, KPU juga harus tetap melakukan pembersihan data pemilih yang ada. Sebab, prinsip yang dimandatkan Pasal 19 UU Nomor 8 Tahun 2012 adalah hanya WNI yang berhak yang bisa menggunakan hak pilih dalam pemilu.
"Prinsip itu digunakan UU untuk memastikan data pemilih berkualitas dan mencegah manipulasi maupun penyalahgunaan yang bisa terjadi atas data-data pemilu (ganda, fiktif, TNI/Polri, di bawah umur, sudah meninggal dan warga negara asing)," tandas Nisa. (Rmn/Yus)
Peneliti Perludem Khoirunnisa Agustyati mengatakan, penyelenggara pemilu yakni KPU dan jajarannya bukan petugas pemutakhiran data kependudukan. Karena itu KPU tak berwenang memutakhirkan NIK Warga Negara Indonesia (WNI).
"Mestinya sejak awal KPU hanya fokus pada memastikan terdaftarnya WNI sebagai pemilih dan tidak perlu berurusan dengan masalah NIK," kata Khoirunnisa di sela-sela diskusi yang berlangsung di Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (6/11/2013).
Menurut Nisa, sapaan akrab Khoirunnisa, kalau saja pemutakhiran data kependudukan yang dimiliki pemerintah akurat dan sudah menjangkau setiap WNI, DPT bermasalah tidak akan terjadi. Karena itu, pasca-penetapan rekapitulasi DPT pada Senin 4 November lalu, KPU harus tetap bekerja memutakhirkan data pemilih sesuai mandat UU Nomor 8 Tahun 2012.
Pasal 40 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 menyebutkan; Dalam hal terdapat warga negara yang memenuhi syarat sebagai pemilih dan tidak memiliki identitas kependudukan dan atau tidak terdaftar dalam daftar pemilih sementara (DPS), daftar pemilih sementara hasil perbaikan (DPSHP), daftar pemilih tetap (DPT) atau daftar pemilih tambahan, KPU provinsi melakukan pendaftaran dan memasukkannya ke dalam daftar pemilih khusus (DPK).
Nisa menjelaskan, hal itu juga diatur dalam Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2013 tentang penyusunan daftar pemilih untuk pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD bahwa Panitia Pemutakhiran Suara (PPS) menyusun Daftar Pemilih Khusus sejak DPT ditetapkan paling lama 14 hari sebelum pemungutan suara.
"Karena DPK harus dioptimalkan untuk menjangkau setiap pemilih yang berhak untuk terdata sebagai pemilih pemilu 2014," jelas Nisa.
Nisa menambahkan, KPU juga harus tetap melakukan pembersihan data pemilih yang ada. Sebab, prinsip yang dimandatkan Pasal 19 UU Nomor 8 Tahun 2012 adalah hanya WNI yang berhak yang bisa menggunakan hak pilih dalam pemilu.
"Prinsip itu digunakan UU untuk memastikan data pemilih berkualitas dan mencegah manipulasi maupun penyalahgunaan yang bisa terjadi atas data-data pemilu (ganda, fiktif, TNI/Polri, di bawah umur, sudah meninggal dan warga negara asing)," tandas Nisa. (Rmn/Yus)