Kenakalan siswa menemui titik nadir. Belakangan sekolah mulai memberi hukuman tegas dengan mengeluarkan siswa dari sekolah. Tak ayal, keputusan itu menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat.
Seperti ditayangkan Liputan 6 Pagi SCTV, Sabtu (16/11/2013), Kantor Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jakarta, Selasa 12 November lalu didatangi puluhan pelajar SMAN 46, Jakarta Selatan. Mereka bukan hendak belajar, tapi mengadukan nasib karena telah diperlakukan tidak adil lantaran diberhentikan dari sekolah mereka.
Namun, pihak SMAN 46 tentu saja punya alasan kuat memecat murid-muridnya. Ternyata sekolah melakukan itu sebagai hukuman karena 36 siswa tersebut dianggap melanggar aturan yang sudah disepakati sejak anak-anak itu masuk sekolah, yaitu tidak terlibat tawuran.
17Â Oktober lalu, puluhan pelajar SMAN 46 diciduk polisi karena membajak sebuah bus yang diduga akan digunakan untuk menyerang sekolah lain. Meski para pelajar dan orangtua mereka membantah tudingan tawuran, keputusan pihak SMAN 46 sudah bulat. 36 Pelajar itu tetap dikeluarkan dan dipersilahkan mencari sekolah lain.
Ketegasan serupa ditunjukkan SMAN 6 Bogor. 19 September lalu, sekolah itu memberhentikan 2 muridnya karena terlibat tawuran. Bagi sekolah tawuran adalah pelanggaran berat yang hukumannya pemecatan. Selain sebagai hukuman, pemecatan juga terapi bagi murid-murid lain agar tidak melakukan hal yang sama.
SMAN 1 Atambua, Nusa Tenggara Timur, tak kalah tegas. Tak tanggung-tanggung, sekolah ini mengeluarkan 46 siswanya yang kedapatan mengonsumsi minuman keras pada jam sekolah, tepatnya pada 28 Agustus lalu. Meski keputusannya sempat ditentang, pihak sekolah bergeming. Hukuman tak diubah karena pelanggaran seluruh siswa itu dikategorikan pelanggaran berat.
Sikap berbeda ditunjukkan SMK Kharismawita, Depok, Jawa Barat. Pada Jumat, 8 November lalu resmi memecat 13 siswanya karena terlibat tawuran dan membawa senjata tajam. Keputusan itu memicu kemarahan murid-murid lainnya. Para murid mengamuk dan merusak gedung sekolah. Pihak sekolah melunak dan akhirnya membolehkan 13 siswa itu bersekolah lagi.
Tawuran yang membuat sekolah-sekolah bertindak tegas kepada murid-muridnya memang kian mengkhawatirkan. Lebih mengerikan lagi, tawuran tak hanya kenakalan remaja, tapi kejahatan karena dapat menyebabkan korban luka bahkan meninggal dunia.
Beberapa hari lalu, di Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat, 4 siswa SMK Pertanian tewas tenggelam di Sungai Cimahi. Semula mereka dan sejumlah teman bermaksud menghindari tawuran dengan siswa SMK Lodaya yang menghadang dengan senjata tajam. Rupanya sungai itu terlalu dalam dan mereka tak mahir berenang. Selain 4 pelajar meninggal dunia, tawuran menyebabkan 2 pelajar teruka parah akibat terkena senjata tajam. Polisi kemudian meringkus 3 siswa SMK Lodaya.
4 Oktober lalu, masyarakat Jakarta dikejutkan oleh aksi mengerikan yang dilakukan seorang pelajar kelas XII SMK Budi Utomo. Ridwan Nur alias Tompel, menyiramkan air keras ke sebuah bus sarat penumpang. Akibatnya, 13 penumpang mengalami luka bakar. 4 Orang di antaranya pelajar yang hendak berangkat ke sekolah. Belakangan terungkap, Tompel ternyata pernah ditahan karena kasus tawuran dan membajak bus.
Tawuran antarpelajar juga kerapkali menjadi teror bagi masyarakat. Setiap ada tawuran yang seringkali terjadi di jalan raya, lalu lintas tersendat bahkan lumpuh total karena pengendara tidak berani melintas dan khawatir menjadi korban kebringasan para pelajar.
Berbagai langkah sudah dilakukan sebenarnya untuk mencegah dan mengakhiri tawuran. Baik oleh pihak sekolah, polisi maupun masyarakat. Tapi, tawuran tidak juga hilang. Bahkan, terus merenggut korban dan merongrong ketenangan masyarakat. Lalu, bagaimana cara mencegahnya? (Don/Mut)
Seperti ditayangkan Liputan 6 Pagi SCTV, Sabtu (16/11/2013), Kantor Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jakarta, Selasa 12 November lalu didatangi puluhan pelajar SMAN 46, Jakarta Selatan. Mereka bukan hendak belajar, tapi mengadukan nasib karena telah diperlakukan tidak adil lantaran diberhentikan dari sekolah mereka.
Namun, pihak SMAN 46 tentu saja punya alasan kuat memecat murid-muridnya. Ternyata sekolah melakukan itu sebagai hukuman karena 36 siswa tersebut dianggap melanggar aturan yang sudah disepakati sejak anak-anak itu masuk sekolah, yaitu tidak terlibat tawuran.
17Â Oktober lalu, puluhan pelajar SMAN 46 diciduk polisi karena membajak sebuah bus yang diduga akan digunakan untuk menyerang sekolah lain. Meski para pelajar dan orangtua mereka membantah tudingan tawuran, keputusan pihak SMAN 46 sudah bulat. 36 Pelajar itu tetap dikeluarkan dan dipersilahkan mencari sekolah lain.
Ketegasan serupa ditunjukkan SMAN 6 Bogor. 19 September lalu, sekolah itu memberhentikan 2 muridnya karena terlibat tawuran. Bagi sekolah tawuran adalah pelanggaran berat yang hukumannya pemecatan. Selain sebagai hukuman, pemecatan juga terapi bagi murid-murid lain agar tidak melakukan hal yang sama.
SMAN 1 Atambua, Nusa Tenggara Timur, tak kalah tegas. Tak tanggung-tanggung, sekolah ini mengeluarkan 46 siswanya yang kedapatan mengonsumsi minuman keras pada jam sekolah, tepatnya pada 28 Agustus lalu. Meski keputusannya sempat ditentang, pihak sekolah bergeming. Hukuman tak diubah karena pelanggaran seluruh siswa itu dikategorikan pelanggaran berat.
Sikap berbeda ditunjukkan SMK Kharismawita, Depok, Jawa Barat. Pada Jumat, 8 November lalu resmi memecat 13 siswanya karena terlibat tawuran dan membawa senjata tajam. Keputusan itu memicu kemarahan murid-murid lainnya. Para murid mengamuk dan merusak gedung sekolah. Pihak sekolah melunak dan akhirnya membolehkan 13 siswa itu bersekolah lagi.
Tawuran yang membuat sekolah-sekolah bertindak tegas kepada murid-muridnya memang kian mengkhawatirkan. Lebih mengerikan lagi, tawuran tak hanya kenakalan remaja, tapi kejahatan karena dapat menyebabkan korban luka bahkan meninggal dunia.
Beberapa hari lalu, di Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat, 4 siswa SMK Pertanian tewas tenggelam di Sungai Cimahi. Semula mereka dan sejumlah teman bermaksud menghindari tawuran dengan siswa SMK Lodaya yang menghadang dengan senjata tajam. Rupanya sungai itu terlalu dalam dan mereka tak mahir berenang. Selain 4 pelajar meninggal dunia, tawuran menyebabkan 2 pelajar teruka parah akibat terkena senjata tajam. Polisi kemudian meringkus 3 siswa SMK Lodaya.
4 Oktober lalu, masyarakat Jakarta dikejutkan oleh aksi mengerikan yang dilakukan seorang pelajar kelas XII SMK Budi Utomo. Ridwan Nur alias Tompel, menyiramkan air keras ke sebuah bus sarat penumpang. Akibatnya, 13 penumpang mengalami luka bakar. 4 Orang di antaranya pelajar yang hendak berangkat ke sekolah. Belakangan terungkap, Tompel ternyata pernah ditahan karena kasus tawuran dan membajak bus.
Tawuran antarpelajar juga kerapkali menjadi teror bagi masyarakat. Setiap ada tawuran yang seringkali terjadi di jalan raya, lalu lintas tersendat bahkan lumpuh total karena pengendara tidak berani melintas dan khawatir menjadi korban kebringasan para pelajar.
Berbagai langkah sudah dilakukan sebenarnya untuk mencegah dan mengakhiri tawuran. Baik oleh pihak sekolah, polisi maupun masyarakat. Tapi, tawuran tidak juga hilang. Bahkan, terus merenggut korban dan merongrong ketenangan masyarakat. Lalu, bagaimana cara mencegahnya? (Don/Mut)