Diduga melakukan pembajakan bus Kopaja 615 jurusan Lebak Bulus-Tanah Abang 17 Oktober lalu, 36 siswa SMAN 46 Jakarta dikeluarkan dari sekolahnya. Sementara pihak kepolisian memutuskan untuk tak membawa kasus ini ke ranah hukum. Namun kebijakan itu dinilai sebagai sebuah kesalahan besar.
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menilai, akibat ketidaktegasan polisi itu muncul berbagai dampak negatif dalam kasus pembajakan Kopaja. Dampak yang pertama, yakni tidak adanya kepastian hukum.
"Padahal pembajakan bus itu diduga untuk kegiatan tawuran," kata Neta dalam keterangan tertulisnya yang diterima Liputan6.com di Jakarta, Minggu (17/11/2013).
Sementara itu, lanjut dia, pihak sekolah juga menerima tuntutan dari para pelajar yang telah dikeluarkan dari sekolah dan keluarganya. Padahal sebelumnya, lanjut Neta, pihak sekolah dan orangtua di hadapan kepolisian sepakat untuk tidak membawa kasus ini ke ranah hukum.
"Tapi sebagai konsekuensi penegakan disiplin, pihak SMAN 46 tetap harus mengeluarkan ke 36 pelajar tersebut dari sekolah," katanya.
"Ternyata hal ini tidak diterima para pelajar dan orang tuanya. Sehingga akan menuntut pihak SMAN 46," imbuhnya.
Karenanya, IPW mendesak Polda Metro Jaya untuk segera memproses kasus ini. Sebab kejahatan yang dilakukan puluhan pelajar itu bisa dikenakan pasal berlapis. Antara lain, merampas kemerdekaan orang lain--dalam hal ini sopir dan penumpang, merugikan orang lain secara ekonomi, mengganggu ketertiban umum, dan membawa senjata tajam secara tidak sah.
Neta menjelaskan, bahwa dalam KUHP Pasal 329 disebutkan, barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum mengangkut orang ke daerah lain, padahal orang itu telah membuat perjanjian untuk bekerja di suatu tempat tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
"Sementara membawa senjata tajam secara tidak sah, ancaman hukumannya minimal 2 tahun penjara. Sikap tegas polisi diperlukan mengingat korban akibat tawuran pelajar terus meningkat. Tahun 2012 ada 82 orang tewas akibat tawuran pelajar," pungkas Neta. (Ndy)
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menilai, akibat ketidaktegasan polisi itu muncul berbagai dampak negatif dalam kasus pembajakan Kopaja. Dampak yang pertama, yakni tidak adanya kepastian hukum.
"Padahal pembajakan bus itu diduga untuk kegiatan tawuran," kata Neta dalam keterangan tertulisnya yang diterima Liputan6.com di Jakarta, Minggu (17/11/2013).
Sementara itu, lanjut dia, pihak sekolah juga menerima tuntutan dari para pelajar yang telah dikeluarkan dari sekolah dan keluarganya. Padahal sebelumnya, lanjut Neta, pihak sekolah dan orangtua di hadapan kepolisian sepakat untuk tidak membawa kasus ini ke ranah hukum.
"Tapi sebagai konsekuensi penegakan disiplin, pihak SMAN 46 tetap harus mengeluarkan ke 36 pelajar tersebut dari sekolah," katanya.
"Ternyata hal ini tidak diterima para pelajar dan orang tuanya. Sehingga akan menuntut pihak SMAN 46," imbuhnya.
Karenanya, IPW mendesak Polda Metro Jaya untuk segera memproses kasus ini. Sebab kejahatan yang dilakukan puluhan pelajar itu bisa dikenakan pasal berlapis. Antara lain, merampas kemerdekaan orang lain--dalam hal ini sopir dan penumpang, merugikan orang lain secara ekonomi, mengganggu ketertiban umum, dan membawa senjata tajam secara tidak sah.
Neta menjelaskan, bahwa dalam KUHP Pasal 329 disebutkan, barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum mengangkut orang ke daerah lain, padahal orang itu telah membuat perjanjian untuk bekerja di suatu tempat tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
"Sementara membawa senjata tajam secara tidak sah, ancaman hukumannya minimal 2 tahun penjara. Sikap tegas polisi diperlukan mengingat korban akibat tawuran pelajar terus meningkat. Tahun 2012 ada 82 orang tewas akibat tawuran pelajar," pungkas Neta. (Ndy)