Sukses

Saksi Ahli: UU Ormas Cederai Kebebasan Berserikat

Terciderainya kebebasan berserikat ini karena pendaftaran ormas harus memberikan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) kepada pemerintah terkait.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) dinilai berlebihan. Karena mengatur pendaftaran bagi organisasi yang tidak berbadan hukum.

Demikian disampiakan Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Eryanto Nugroho, dalam kesaksianya sebagai saksi ahli sidang uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang hari ini, Rabu (20/11/2013) kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Rezim pendaftaran ini berlebihan dan justru berpeluang mencederai kebebasan berserikat dan berkumpul dalam penerapannya," kata Eryanto saat memberi keterangannya.

Sebab, jelas Eryanto, pendaftaran itu dilakukan dengan memberikan surat pemberian Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari menteri, gubernur, bupati atau walikota sesuai lingkupnya. Syarat pendaftaran Ormas ini diatur dalam Pasal 16 dan Pasal 18 UU Ormas.

Potensi terciderainya kebebasan berserikat itu, lanjut Eryanto, bukanlah mengada-ada. Sebab, sudah ada beberapa contoh potensi kerancuan dalam pengertian SKT itu. Di mana tanpa SKT tersebut, ormas atau LSM akan dianggap ilegal.

Selain berlebihan, menurut Eryanto, undang-undang yang digugat Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah ini juga berpotensi merusak kebebasan berserikat bagi masyarakat.

Lagi pula, lanjut Eryanto, pengaturan organisasi berbadan hukum sebenarnya sudah cukup dijamin keberadaannya dalam UUD 1945. Menurutnya, kalaupun diperlukan pendaftaran, di berbagai negara civil law atau hukum sipil lainnya. Pendaftaran cukup dilakukan ke pengadilan, sehingga pendekatannya tetap dengan pendekatan hukum.

Masuknya yayasan dalam pengertian ormas, nilai Eryanto, dapat juga menambah kerancuan sehingga dalam praktiknya berdampak besar. Sebab, badan hukum yayasan banyak digunakan rumah sakit, kampus, berbagai lembaga pendidikan, baik kesehatan maupun sosial.

"Adanya undang-undang ormas ini, apakah mereka kemudian menjadi ormas? Akhirnya, organisasi mana yang masuk ormas ditentukan sepihak oleh pemerintah," ujarnya.

Karenanya, ia menyarankan agar DPR dan pemerintah mencabut UU Ormas dan mengembalikan pengaturan kepada kerangka hukum yang benar, yaitu badan hukum yayasan untuk organisasi sosial tanpa anggota dan badan hukum perkumpulan untuk organisasi sosial dengan anggota.

Lebih lanjut, Eryanto melihat, Pasal 10 dan Pasal 11 undang-undang ini terkesan mencampuradukkan pengertian ormas, yakni yang dapat berbadan hukum atau tidak dan yang dapat berbentuk perkumpulan atau yayasan (organisasi sosial). Seakan seluruh bentuk organisasi di bidang sosial (altruisme) juga masuk kategori ormas.

"UU Ormas seolah menempatkan bentuk ormas sebagai payung dari seluruh bentuk organisasi sosial. Padahal, melihat pada sejarah pembentukannya pada tahun 1985, konsep ormas jelas menyasar organisasi dengan basis anggota, bukan yang tanpa anggota," jelas Aryanto.

Kerancuan itu, imbuh Aryanto, tentu menimbulkan potensi organisasi sosial--meski tanpa anggota--akan didekati dengan pendekatan politik dengan menjadikannya sebagai ormas yang berada di bawah pembinaan Ditjen Kesbangpol Kementerian Dalam Negeri.

Pimpinan PP Muhammadiyah mengajukan permohonan uji materi sejumlah pasal dalam undang-undang ormas ini, yakni Pasal 1 angka 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30 ayat 2, Pasal 33 ayat 1, 2, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38, Pasal 40 ayat 1, 2, 3, 4, 5, 6, Pasal 57 ayat 2, 3, Pasal 58, dan Pasal 59 ayat 1, 3 huruf a.

Menurut pemohon, 21 pasal itu melanggar konstitusi karena bertentangan dengan UUD 1945. Sebab pasal-pasal itu dinilai bersifat represif dan bernuansa birokratis, karena membatasi atau mengekang kebebasan berserikat dan berkumpul dengan dalih menciptakan ketertiban yang dibungkus melalui undang-undang. (Rmn/Mut)