Terlacak kali pertama sejak Perang Boer di Afrika Selatan pada akhir Abad ke-19, lanjut ke era Perang Dunia II, Perang Dingin, hingga kini, aksi intelijen berupa penyadapan sinyal elektronik masih kerap dilakukan. Kewaspadaan harus ditingkatkan, apalagi menyusul pengungkapan Edward Snowden baru-baru ini bahwa ponsel Presiden SBY, Ibu Ani, dan sejumlah pejabat jadi target intersepsi yang diduga dilakukan Australia juga Amerika Serikat.
Kepala Lembaga Sandi Negara, Mayjen TNI Djoko Setiadi mengatakan, pihaknya sebenarnya sudah menyediakan perangkat antisadap untuk mengantisipasi hal itu.
"Seperti telepon yang anti-penyadapan. Hanya saja banyak pejabat di instansi pemerintah sering mengabaikan, dengan alasan repot," kata Djoko di kantor Lemsaneg, Jalan Harsono RM, Jakarta Selatan, Jumat (22/11/2013).
Memang harus ada upaya lebih untuk menggunakan alat-alat tersebut. "Misalnya jika mau menelepon atau menerima telepon harus menekan beberapa tombol kode pengaman, selain itu delay juga ada," jelas Mayjen Djoko.
Dia mencontohkan, suatu ketika, seorang pejabat di suatu propinsi diketahui tidak menggunakan perangkat yang diberikan Lembaga Sandi Negara.
"Mereka malah menyimpannya tertutup dalam kotak. Ketika saya tanya kenapa tidak digunakan, dia menjawab takut menggunakan dan mungkin juga gaptek (gagap teknologi). Lho kalau seperti ini bagaimana?", kata Djoko.
"Kita mau semua pejabat aware dengan namanya rahasia negara. Nah kalau mereka tidak mau menggunakan perangkat yang saya sediakan bagaimana?"
Lalu, apakah itu berarti banyak pejabat kita yang sejatinya tak peduli dengan masalah penyadapan? Djoko tak menjawab pasti. "Silahkan tanya sendiri pada yang bersangkutan," kata dia.
Selain melindungi rahasia negara, kerja Lembaga Sandi Negara juga ikut melindungi negara dari oknum-oknum nakal. Misalnya terkait kerjasama dengan Kejaksaan Agung.
"Kita punya 20 anggota di sana, hasil kerjanya seperti pengungkapan jaksa-jaksa nakal. Kejagung berterima kasih sekali dengan kerja orang-orang kita," kata Mayjen Djoko. (Ein/Ism)
Kepala Lembaga Sandi Negara, Mayjen TNI Djoko Setiadi mengatakan, pihaknya sebenarnya sudah menyediakan perangkat antisadap untuk mengantisipasi hal itu.
"Seperti telepon yang anti-penyadapan. Hanya saja banyak pejabat di instansi pemerintah sering mengabaikan, dengan alasan repot," kata Djoko di kantor Lemsaneg, Jalan Harsono RM, Jakarta Selatan, Jumat (22/11/2013).
Memang harus ada upaya lebih untuk menggunakan alat-alat tersebut. "Misalnya jika mau menelepon atau menerima telepon harus menekan beberapa tombol kode pengaman, selain itu delay juga ada," jelas Mayjen Djoko.
Dia mencontohkan, suatu ketika, seorang pejabat di suatu propinsi diketahui tidak menggunakan perangkat yang diberikan Lembaga Sandi Negara.
"Mereka malah menyimpannya tertutup dalam kotak. Ketika saya tanya kenapa tidak digunakan, dia menjawab takut menggunakan dan mungkin juga gaptek (gagap teknologi). Lho kalau seperti ini bagaimana?", kata Djoko.
"Kita mau semua pejabat aware dengan namanya rahasia negara. Nah kalau mereka tidak mau menggunakan perangkat yang saya sediakan bagaimana?"
Lalu, apakah itu berarti banyak pejabat kita yang sejatinya tak peduli dengan masalah penyadapan? Djoko tak menjawab pasti. "Silahkan tanya sendiri pada yang bersangkutan," kata dia.
Selain melindungi rahasia negara, kerja Lembaga Sandi Negara juga ikut melindungi negara dari oknum-oknum nakal. Misalnya terkait kerjasama dengan Kejaksaan Agung.
"Kita punya 20 anggota di sana, hasil kerjanya seperti pengungkapan jaksa-jaksa nakal. Kejagung berterima kasih sekali dengan kerja orang-orang kita," kata Mayjen Djoko. (Ein/Ism)