Liputan6.com, Jakarta: Pemilihan Umum Legislatif telah digelar. Mata partai politik, pengamat, dan masyarakat kini sama-sama terarah ke Pusat Tabulasi Nasional Komisi Pemilihan Umum di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, tempat penghitungan suara. Sejumlah kejutan terjadi. Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera sempat masuk lima besar. Perolehan suara partai besar, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golongan Karya, dan Partai Persatuan Pembangunan ternyata tak seperti perkiraan banyak orang. Begitu juga dengan suara Partai Amanat Nasional dan Partai Bulan Bintang.
Demikian ulasan pengamat politik Hamid Basyaib saat berdialog dengan reporter SCTV Indiarto Priadi, Rabu (7/4) malam. Dalam Topik Minggu Ini yang mengangkat tema "Menghitung Suara Rakyat", Hamid memperkirakan sebagian suara PDIP pada Pemilu 1999 lari ke Demokrat. Bahkan, ada yang bilang, 45 persen suara Demokrat adalah limpahan dari PDIP. Sedangkan 55 persen didapat dari partai yang lain.
Begitu juga dengan suara PPP. Sebagian besar suara mereka beralih ke Partai Bintang Reformasi. Menurut Hamid, hal ini terjadi karena ada perpecahan di tubuh PPP sejak muktamar, beberapa waktu silam. "Mungkin ada juga yang ke PKS," ujar Hamid.
Aktivis Jaringan Islam Liberal ini menilai, PKS banyak dipilih dalam Pemilu 2004 karena pesan citra bersih yang disampaikan aktivisnya sampai ke pemilih. PKS juga bisa disebut sebagai partai modern karena mempunyai organisasi yang rapi, basis massanya jelas, serta tidak terfokus pada seorang tokoh.
Presiden PKS Hidayat Nurwahid yang dihubungi via telepon mengaku senang melihat hasil Pemilu 2004. Dia mengucapkan rasa syukur dan menyampaikan terima kasih kepada masyarakat karena sudah memilih PKS. "Doakan biar kami terus bersih dan tetap peduli," ujar Hidayat. Dia berharap cita-cita PKS membawa Indonesia yang lebih bersih bisa segera terwujud.
Untuk mewujudkan itu, Hidayat mengakui, PKS perlu berkoalisi dengan partai lainnya. Saat ini PKS tengah menimbang-nimbang teman koalisi. Menurut Hidayat, PKS hanya akan berkoalisi dengan partai yang serius mengusung nilai reformasi, demokratisasi, dan Islami. Namun, Hidayat enggan menyebut nama partai yang akan diajak berkoalisi.
Sikap Hidayat ini bisa dimengerti Hamid. Sebab, hampir semua partai politik memang sangat berhati-hati memilih teman koalisi. "Istilahnya mereka sedang shopping (belanja) politik," kata Hamid. Koalisi diperlukan karena saat ini tak ada partai politik yang diperkirakan memenangi pemilu secara mutlak.
Lebih jauh Hidayat menambahkan, sejak awal PKS lebih suka mengusung nilai-nilai dalam berkoalisi dibanding sharing kekuasaan semata. "Alangkah dangkalnya bila koalisi PKS hanya untuk power sharing," ucap Hidayat. Tapi, keputusan koalisi masih harus dibicarakan di tingkat Majelis Syuro DPP PKS.
Mengenai calon presiden dari PKS, Hidayat juga mengatakan, persoalan itu harus menjadi keputusan partai. Tidak bisa diputuskan oleh dirinya sendiri. "Saya tidak akan melampui keputusan partai dan Majelis Syuro," lanjut Hidayat.
Soal komposisi koalisi, Hamid berpendapat, gabungan Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Demokrat adalah yang terbaik. Suara mereka bisa mencapai 42 persen. "Sedangkan PDIP harus berkoalisi dengan yang lain," ujar Hamid. Misalnya dengan PPP, PKS, dan PAN. Keempat partai ini bila bergabung akan melahirkan suara 40 persen. "Tapi secara realistis ini sulit dilakukan," lanjutnya.
Wakil Ketua Umum DPP PPP Ali Marwan Hanan mengakui ada kesulitan untuk mempertahankan suara seperti pada Pemilu 1999. Ini juga dialami partai besar lainnya, seperti PDIP. Itulah sebabnya, sampai saat ini, PPP masih menghitung-hitung untuk berkoalisi. Ali Marwan berharap hasil koalisi bisa meraup suara lebih dari 50 persen. Bagi PPP, kata Ali Marwan, ketua umum adalah putra terbaik di partai. Jadi Hamzah Haz lebih berpeluang dicalonkan sebagai presiden ketimbang kader partai lain.
Hamid menilai keinginan Ali Marwan mencalonkan Hamzah sebagai presiden akan sulit terwujud. Soalnya, suara PPP tak terlalu besar dalam pemilu kali ini. Dalam berbagai poling presiden, nama Hamzah juga tak begitu dicalonkan. Melihat poling-poling, Susilo Bambang Yudhoyono saat ini banyak dicalonkan sebagai presiden. "Jangan heran bila rumahnya yang jauh dari Jakarta kini mulai didatangi tokoh-tokoh," kata Hamid.
Terlepas urusan koalisi, sebelumnya anggota KPU Anas Urbaningrum menjelaskan soal perolehan kursi bagi partai politik. Sebuah parpol bisa memperoleh kursi apabila jumlah suaranya sudah dibagi dengan bilangan pembagi pemilih (BPP). Sederhananya, total suara sah di daerah pemilihan itu dibagi dengan alokasi kursi di daerah tersebut. Misalnya, daerah pemilihan DKI I ada 12 kursi. Kalau suara sah ada 1,2 juta maka BPP-nya adalah 1,2 juta dibagi 12. Artinya, satu kursi sama dengan 100 ribu pemilih. Jika partai itu meraih suara 100 ribu, mereka bisa memperoleh satu kursi.
Menurut Anas, hal ini sesuai Pasal 106 Undang-undang 12/2003 tentang Pemilu. Dalam pasal tersebut dijelaskan ketentuan perolehan jumlah kursi:
A. Apabila jumlah suara sah suatu partai politik peserta pemilu sama dengan atau lebih besar dari BPP, maka dalam penghitungan tahap pertama diperoleh sejumlah kursi dengan kemungkinan terdapat sisa suara yang akan dihitung dalam penghitungan tahap kedua;
B. Apabila jumlah suara sah suatu partai politik peserta pemilu lebih kecil dari BPP, maka dalam penghitungan tahap pertama tidak diperoleh kursi, dan jumlah suara sah tersebut dikategorikan sebagai sisa suara yang akan dihitung dalam penghitungan tahap kedua dalam hal masih terdapat sisa kursi di daerah pemilihan yang bersangkutan;
C. Penghitungan perolehan kursi tahap kedua dilakukan apabila masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi dalam penghitungan tahap pertama, dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada partai politik peserta pemilu satu demi satu berturut-turut sampai habis, dimulai dari Partai Politik Peserta Pemilu yang mempunyai sisa suara terbanyak.
Sedangkan metode penghitungan suara untuk anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dalam menentukan alokasi kursi yang diperoleh dilakukan dalam dua tahap:
Tahap Pertama:
Apabila jumlah suara sah suatu partai politik peserta pemilu sama dengan atau lebih besar dari BPP, dalam penghitungan tahap pertama langsung memperoleh sejumlah kursi. Kelebihan suara sah dan suara sah partai politik yang kurang dari BPP menjadi sisa suara, dan akan dihitung dalam penghitungan tahap kedua. Penghitungan BPP, yaitu total suara sah partai politik, satu daerah pemilihan dibagi jumlah kursi yang ditetapkan untuk daerah pemilihan tersebut.
Tahap Kedua:
Kursi yang belum habis terbagi pada penghitungan tahap pertama didistribusikan pada tahap kedua. Sisa kursi akan diberikan kepada partai politik satu per satu berdasarkan urutan partai politik yang memperoleh sisa suara terbanyak. Setelah semua kursi satu daerah pemilihan telah habis terbagi, sisa suara yang masih ada dianggap hangus. Tidak ada lagi pengaturan penggabungan suara dengan daerah lain baik dalam satu partai atau gabungan partai. Menurut Anas, masyarakat baru bisa mengetahui sosok anggota Dewan setelah KPU mengumumkan suara Pemilu 2004 secara final.(ULF)
Demikian ulasan pengamat politik Hamid Basyaib saat berdialog dengan reporter SCTV Indiarto Priadi, Rabu (7/4) malam. Dalam Topik Minggu Ini yang mengangkat tema "Menghitung Suara Rakyat", Hamid memperkirakan sebagian suara PDIP pada Pemilu 1999 lari ke Demokrat. Bahkan, ada yang bilang, 45 persen suara Demokrat adalah limpahan dari PDIP. Sedangkan 55 persen didapat dari partai yang lain.
Begitu juga dengan suara PPP. Sebagian besar suara mereka beralih ke Partai Bintang Reformasi. Menurut Hamid, hal ini terjadi karena ada perpecahan di tubuh PPP sejak muktamar, beberapa waktu silam. "Mungkin ada juga yang ke PKS," ujar Hamid.
Aktivis Jaringan Islam Liberal ini menilai, PKS banyak dipilih dalam Pemilu 2004 karena pesan citra bersih yang disampaikan aktivisnya sampai ke pemilih. PKS juga bisa disebut sebagai partai modern karena mempunyai organisasi yang rapi, basis massanya jelas, serta tidak terfokus pada seorang tokoh.
Presiden PKS Hidayat Nurwahid yang dihubungi via telepon mengaku senang melihat hasil Pemilu 2004. Dia mengucapkan rasa syukur dan menyampaikan terima kasih kepada masyarakat karena sudah memilih PKS. "Doakan biar kami terus bersih dan tetap peduli," ujar Hidayat. Dia berharap cita-cita PKS membawa Indonesia yang lebih bersih bisa segera terwujud.
Untuk mewujudkan itu, Hidayat mengakui, PKS perlu berkoalisi dengan partai lainnya. Saat ini PKS tengah menimbang-nimbang teman koalisi. Menurut Hidayat, PKS hanya akan berkoalisi dengan partai yang serius mengusung nilai reformasi, demokratisasi, dan Islami. Namun, Hidayat enggan menyebut nama partai yang akan diajak berkoalisi.
Sikap Hidayat ini bisa dimengerti Hamid. Sebab, hampir semua partai politik memang sangat berhati-hati memilih teman koalisi. "Istilahnya mereka sedang shopping (belanja) politik," kata Hamid. Koalisi diperlukan karena saat ini tak ada partai politik yang diperkirakan memenangi pemilu secara mutlak.
Lebih jauh Hidayat menambahkan, sejak awal PKS lebih suka mengusung nilai-nilai dalam berkoalisi dibanding sharing kekuasaan semata. "Alangkah dangkalnya bila koalisi PKS hanya untuk power sharing," ucap Hidayat. Tapi, keputusan koalisi masih harus dibicarakan di tingkat Majelis Syuro DPP PKS.
Mengenai calon presiden dari PKS, Hidayat juga mengatakan, persoalan itu harus menjadi keputusan partai. Tidak bisa diputuskan oleh dirinya sendiri. "Saya tidak akan melampui keputusan partai dan Majelis Syuro," lanjut Hidayat.
Soal komposisi koalisi, Hamid berpendapat, gabungan Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Demokrat adalah yang terbaik. Suara mereka bisa mencapai 42 persen. "Sedangkan PDIP harus berkoalisi dengan yang lain," ujar Hamid. Misalnya dengan PPP, PKS, dan PAN. Keempat partai ini bila bergabung akan melahirkan suara 40 persen. "Tapi secara realistis ini sulit dilakukan," lanjutnya.
Wakil Ketua Umum DPP PPP Ali Marwan Hanan mengakui ada kesulitan untuk mempertahankan suara seperti pada Pemilu 1999. Ini juga dialami partai besar lainnya, seperti PDIP. Itulah sebabnya, sampai saat ini, PPP masih menghitung-hitung untuk berkoalisi. Ali Marwan berharap hasil koalisi bisa meraup suara lebih dari 50 persen. Bagi PPP, kata Ali Marwan, ketua umum adalah putra terbaik di partai. Jadi Hamzah Haz lebih berpeluang dicalonkan sebagai presiden ketimbang kader partai lain.
Hamid menilai keinginan Ali Marwan mencalonkan Hamzah sebagai presiden akan sulit terwujud. Soalnya, suara PPP tak terlalu besar dalam pemilu kali ini. Dalam berbagai poling presiden, nama Hamzah juga tak begitu dicalonkan. Melihat poling-poling, Susilo Bambang Yudhoyono saat ini banyak dicalonkan sebagai presiden. "Jangan heran bila rumahnya yang jauh dari Jakarta kini mulai didatangi tokoh-tokoh," kata Hamid.
Terlepas urusan koalisi, sebelumnya anggota KPU Anas Urbaningrum menjelaskan soal perolehan kursi bagi partai politik. Sebuah parpol bisa memperoleh kursi apabila jumlah suaranya sudah dibagi dengan bilangan pembagi pemilih (BPP). Sederhananya, total suara sah di daerah pemilihan itu dibagi dengan alokasi kursi di daerah tersebut. Misalnya, daerah pemilihan DKI I ada 12 kursi. Kalau suara sah ada 1,2 juta maka BPP-nya adalah 1,2 juta dibagi 12. Artinya, satu kursi sama dengan 100 ribu pemilih. Jika partai itu meraih suara 100 ribu, mereka bisa memperoleh satu kursi.
Menurut Anas, hal ini sesuai Pasal 106 Undang-undang 12/2003 tentang Pemilu. Dalam pasal tersebut dijelaskan ketentuan perolehan jumlah kursi:
A. Apabila jumlah suara sah suatu partai politik peserta pemilu sama dengan atau lebih besar dari BPP, maka dalam penghitungan tahap pertama diperoleh sejumlah kursi dengan kemungkinan terdapat sisa suara yang akan dihitung dalam penghitungan tahap kedua;
B. Apabila jumlah suara sah suatu partai politik peserta pemilu lebih kecil dari BPP, maka dalam penghitungan tahap pertama tidak diperoleh kursi, dan jumlah suara sah tersebut dikategorikan sebagai sisa suara yang akan dihitung dalam penghitungan tahap kedua dalam hal masih terdapat sisa kursi di daerah pemilihan yang bersangkutan;
C. Penghitungan perolehan kursi tahap kedua dilakukan apabila masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi dalam penghitungan tahap pertama, dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada partai politik peserta pemilu satu demi satu berturut-turut sampai habis, dimulai dari Partai Politik Peserta Pemilu yang mempunyai sisa suara terbanyak.
Sedangkan metode penghitungan suara untuk anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dalam menentukan alokasi kursi yang diperoleh dilakukan dalam dua tahap:
Tahap Pertama:
Apabila jumlah suara sah suatu partai politik peserta pemilu sama dengan atau lebih besar dari BPP, dalam penghitungan tahap pertama langsung memperoleh sejumlah kursi. Kelebihan suara sah dan suara sah partai politik yang kurang dari BPP menjadi sisa suara, dan akan dihitung dalam penghitungan tahap kedua. Penghitungan BPP, yaitu total suara sah partai politik, satu daerah pemilihan dibagi jumlah kursi yang ditetapkan untuk daerah pemilihan tersebut.
Tahap Kedua:
Kursi yang belum habis terbagi pada penghitungan tahap pertama didistribusikan pada tahap kedua. Sisa kursi akan diberikan kepada partai politik satu per satu berdasarkan urutan partai politik yang memperoleh sisa suara terbanyak. Setelah semua kursi satu daerah pemilihan telah habis terbagi, sisa suara yang masih ada dianggap hangus. Tidak ada lagi pengaturan penggabungan suara dengan daerah lain baik dalam satu partai atau gabungan partai. Menurut Anas, masyarakat baru bisa mengetahui sosok anggota Dewan setelah KPU mengumumkan suara Pemilu 2004 secara final.(ULF)