Warga Desa Muara, Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten, punya cerita tersendiri dalam mengelola potensi alamnya yang berlimpah. Lewat Ekowisata Mangrove, warga setempat mencoba membangkitkan perekonomian dari hulu hingga hilir.
Sebut saja Ahmad Supriyatno, seorang pria paruh baya ini, bercita-cita menciptakan lapangan kerja dengan melibatkan 1.000 kepala keluarga. Berawal dari mimpinya itulah, sedikit demi sedikit ia coba merangkul warganya untuk berdikari mengembangkan daerahnya sendiri.
Dengan mengenakan topi koboi dan kaos kerah lengan panjang warna coklat, Suprayitno tampak sumringah mengisahkan perkembangan desanya yang dijadikan lokasi Ekowisata Kampung Mangrove, sejak Agustus 2012 tahun lalu. "Saya jadi teringat kejadian kocak yang pernah dialami salah satu pasangan calon suami istri. Saat itu mereka menggelar pemotretan pre-wedding di sini, tiba-tiba saja salah satu dari mereka terperosok ke kali," ungkapnya sambil tertawa memecah suasana siang yang terik.
Semenjak adanya bantuan dari Pertamina, Supriyatno yang merupakan pelopor di kampung halamannya, mengaku semakin terdorong untuk meningkatkan potensi ekonomi di wilayahnya. Menurutnya, hal itu sangat berarti sekali bagi masyarakat Desa Muara Ujung, yang rata-rata warganya bermata pencaharian sebagai nelayan atau penambak ikan. Ia mengungkapkan, setidaknya sudah ada beberapa konsep wisata yang berkembang pesat di wilayah yang dahulunya gersang ini. Di antaranya seperti pengembangan taman pemancingan ikan, kuliner, perahu wisata, dan penjualan bibit pohon mangrove. Dari hulu hingga hilir, kawasan yang dijuluki Kampung Ekowisata MU ini, dimanfaatkan dengan baik oleh penduduk setempat.
Di tempat ini juga terdapat saung-saung pemancingan ikan yang terbuat dari bambu. Supriyatno mengatakan, bagi pengunjung yang ingin menikmati suasana memancing, bisa menggunakannya secara cuma-cuma. Hanya saja, hasil pancingan harus ditebus seharga Rp 30 ribu per kg untuk ikan bandeng. Tentu saja tidak sampai di situ. Untuk menambah ketertarikan pengunjung, kata dia, disediakan pula perahu wisata yang berkeliling mengitari sungai hutan bakau atau pun memancing ikan.
Supriyatno menjelaskan, daya tarik lainnya, para pengunjung bisa membawa pulang oleh-oleh ikan bandeng crispy duri lunak khas Desa MU - begitu Supriyatno biasa menjuluki desa Muara Ujung dengan nama Desa MU. "Di sini juga, kita biasanya selalu mengadakan pelatihan kuliner, di mana masyarakat diajak cara membuat bandeng dan berbagai hal terkait budi daya ikan," imbuhnya, sambil mengajak kami berjalan-jalan.
Selain itu, secara bergantian sekelompok warga dilibatkan dalam proses penyemaian mangrove ini. Setelah bibit tersebut sudah mencapai ketinggian sekitar 70 cm, bisa dijual dengan harga Rp 2.000 per batang. Biasanya konsumen membeli minimal 1.000 pohon setiap harinya.
Sembari mencontohkan lewat gerakan tanggannya, ia menjelaskan pola panen dan cara menanam yang baik dan benar. Kata Supriyatno, cara menanam pohon mangrove itu harus harus dengan teknik khusus. Karena bila dilakukan secara asal-asalan maka tanaman tersebut bisa langsung mati seketika. Hal itu ia peroleh bukan tanpa sebab, melainkan dari hasil pelatihan yang diberikan Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai pendamping masyarakat yang digandeng Pertamina. Selain itu, manfaat lainnya yang bisa didapat yaitu sebagai penghasil bibit ikan, udang, dan kepiting. "Fungsi ekonomi hutan bakau ini, salah satunya juga sebagai bahan baku industri tekstil," ujar Supriyatno yang juga pendiri SMP Terbuka.
Dahulu, para nelayan tradisional mengandalkan alam untuk menambak ikan. Namun, hal tersebut ternyata tidak mendapat hasil yang signifikan. Maka dari itu, kini warga beralih menggunakan teknik intensif, agar lebih mudah dan bisa dipanen lebih cepat dengan jumlah yang lebih banyak. "Secara rasio perbandingannya satu banding sepuluh. Bahkan dengan teknik intensif ini, panennya lebih cepat," jelas dia sambil berjalan menunjukkan lokasi pengembangan bibit pohon mangrove yang telah ditanam oleh Pertamina melalui program 75.000 ribu pohon pada Februari lalu.
Sejauh mata memandang, kami pun diajak menyusuri sungai oleh Supriyatno, menikmati keindahan pemandangan hutan mangrove yang rimbun. Mustar yang merupakan penarik perahu, mengungkapkan bahwa dirinya sudah menekuni di bidangnya itu sejak ia duduk di bangku kelas enam SD.
Bermula dari bisnis ayahnya sebagai pengusaha perahu. Mustar kecil pun tertarik mengikuti jejak ayahnya kala itu. Meski kini hanya penarik perahu, tetapi lelaki muda itu tetap tegar dan ikhlas menjalani pekerjaannya. "Kalau dulu, banyak sekali pengunjung yang saya bawa, tapi entah kenapa belakangan ini jadi sepi," pungkas Mustar.
Perahu yang dibawa, diakuinya berasal dari Indramayu. Karena, kayu yang dipakai dari daerah tersebut cukup mumpuni kualitasnya. "Setidaknya, ada empat perahu wisata yang disediakan bagi pengunjung," ujar Mustar menambahkan.
Apa yang dirasakan Mustar juga dirasakan Supriyatno dan juga masyarakat pengelola tambak dan pemancingan bandeng. Penyebabnya yakni munculnya pungutan liar bagi para pengunjung berkisar antara Rp 5.000 - Rp 10.000. Pungutan tersebut muncul beberapa bulan terakhir ini dan tidak jelas peruntukannya. Warga berharap pungutan tersebut dibersihkan aparatur desa dan juga Pertamina. Karena lahan jalan pipa tempat pungutan liar merupakan aset Pertamina. "Kami khawatir pungutan itu bukannya berdampak keuntungan malah sebaliknya, bikin kawasan wisata mangrove akan ditinggalkan," jelasnya. (Megha K Nugraha/Adv)
Sebut saja Ahmad Supriyatno, seorang pria paruh baya ini, bercita-cita menciptakan lapangan kerja dengan melibatkan 1.000 kepala keluarga. Berawal dari mimpinya itulah, sedikit demi sedikit ia coba merangkul warganya untuk berdikari mengembangkan daerahnya sendiri.
Dengan mengenakan topi koboi dan kaos kerah lengan panjang warna coklat, Suprayitno tampak sumringah mengisahkan perkembangan desanya yang dijadikan lokasi Ekowisata Kampung Mangrove, sejak Agustus 2012 tahun lalu. "Saya jadi teringat kejadian kocak yang pernah dialami salah satu pasangan calon suami istri. Saat itu mereka menggelar pemotretan pre-wedding di sini, tiba-tiba saja salah satu dari mereka terperosok ke kali," ungkapnya sambil tertawa memecah suasana siang yang terik.
Semenjak adanya bantuan dari Pertamina, Supriyatno yang merupakan pelopor di kampung halamannya, mengaku semakin terdorong untuk meningkatkan potensi ekonomi di wilayahnya. Menurutnya, hal itu sangat berarti sekali bagi masyarakat Desa Muara Ujung, yang rata-rata warganya bermata pencaharian sebagai nelayan atau penambak ikan. Ia mengungkapkan, setidaknya sudah ada beberapa konsep wisata yang berkembang pesat di wilayah yang dahulunya gersang ini. Di antaranya seperti pengembangan taman pemancingan ikan, kuliner, perahu wisata, dan penjualan bibit pohon mangrove. Dari hulu hingga hilir, kawasan yang dijuluki Kampung Ekowisata MU ini, dimanfaatkan dengan baik oleh penduduk setempat.
Di tempat ini juga terdapat saung-saung pemancingan ikan yang terbuat dari bambu. Supriyatno mengatakan, bagi pengunjung yang ingin menikmati suasana memancing, bisa menggunakannya secara cuma-cuma. Hanya saja, hasil pancingan harus ditebus seharga Rp 30 ribu per kg untuk ikan bandeng. Tentu saja tidak sampai di situ. Untuk menambah ketertarikan pengunjung, kata dia, disediakan pula perahu wisata yang berkeliling mengitari sungai hutan bakau atau pun memancing ikan.
Supriyatno menjelaskan, daya tarik lainnya, para pengunjung bisa membawa pulang oleh-oleh ikan bandeng crispy duri lunak khas Desa MU - begitu Supriyatno biasa menjuluki desa Muara Ujung dengan nama Desa MU. "Di sini juga, kita biasanya selalu mengadakan pelatihan kuliner, di mana masyarakat diajak cara membuat bandeng dan berbagai hal terkait budi daya ikan," imbuhnya, sambil mengajak kami berjalan-jalan.
Selain itu, secara bergantian sekelompok warga dilibatkan dalam proses penyemaian mangrove ini. Setelah bibit tersebut sudah mencapai ketinggian sekitar 70 cm, bisa dijual dengan harga Rp 2.000 per batang. Biasanya konsumen membeli minimal 1.000 pohon setiap harinya.
Sembari mencontohkan lewat gerakan tanggannya, ia menjelaskan pola panen dan cara menanam yang baik dan benar. Kata Supriyatno, cara menanam pohon mangrove itu harus harus dengan teknik khusus. Karena bila dilakukan secara asal-asalan maka tanaman tersebut bisa langsung mati seketika. Hal itu ia peroleh bukan tanpa sebab, melainkan dari hasil pelatihan yang diberikan Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai pendamping masyarakat yang digandeng Pertamina. Selain itu, manfaat lainnya yang bisa didapat yaitu sebagai penghasil bibit ikan, udang, dan kepiting. "Fungsi ekonomi hutan bakau ini, salah satunya juga sebagai bahan baku industri tekstil," ujar Supriyatno yang juga pendiri SMP Terbuka.
Dahulu, para nelayan tradisional mengandalkan alam untuk menambak ikan. Namun, hal tersebut ternyata tidak mendapat hasil yang signifikan. Maka dari itu, kini warga beralih menggunakan teknik intensif, agar lebih mudah dan bisa dipanen lebih cepat dengan jumlah yang lebih banyak. "Secara rasio perbandingannya satu banding sepuluh. Bahkan dengan teknik intensif ini, panennya lebih cepat," jelas dia sambil berjalan menunjukkan lokasi pengembangan bibit pohon mangrove yang telah ditanam oleh Pertamina melalui program 75.000 ribu pohon pada Februari lalu.
Sejauh mata memandang, kami pun diajak menyusuri sungai oleh Supriyatno, menikmati keindahan pemandangan hutan mangrove yang rimbun. Mustar yang merupakan penarik perahu, mengungkapkan bahwa dirinya sudah menekuni di bidangnya itu sejak ia duduk di bangku kelas enam SD.
Bermula dari bisnis ayahnya sebagai pengusaha perahu. Mustar kecil pun tertarik mengikuti jejak ayahnya kala itu. Meski kini hanya penarik perahu, tetapi lelaki muda itu tetap tegar dan ikhlas menjalani pekerjaannya. "Kalau dulu, banyak sekali pengunjung yang saya bawa, tapi entah kenapa belakangan ini jadi sepi," pungkas Mustar.
Perahu yang dibawa, diakuinya berasal dari Indramayu. Karena, kayu yang dipakai dari daerah tersebut cukup mumpuni kualitasnya. "Setidaknya, ada empat perahu wisata yang disediakan bagi pengunjung," ujar Mustar menambahkan.
Apa yang dirasakan Mustar juga dirasakan Supriyatno dan juga masyarakat pengelola tambak dan pemancingan bandeng. Penyebabnya yakni munculnya pungutan liar bagi para pengunjung berkisar antara Rp 5.000 - Rp 10.000. Pungutan tersebut muncul beberapa bulan terakhir ini dan tidak jelas peruntukannya. Warga berharap pungutan tersebut dibersihkan aparatur desa dan juga Pertamina. Karena lahan jalan pipa tempat pungutan liar merupakan aset Pertamina. "Kami khawatir pungutan itu bukannya berdampak keuntungan malah sebaliknya, bikin kawasan wisata mangrove akan ditinggalkan," jelasnya. (Megha K Nugraha/Adv)