Pemerintah membantah telah melakukan komersialisasi, privatisasi, maupun monopoli pengelolaan Sumber Daya Air (SDA) selama ini. Sebab, pemerintah sudah melakukan pengelolaan SDA sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang SDA (UU SDA).
"UU SDA tidak mengenal privatisasi, swastanisasi, komersialisasi, ataupun monopoli dalam pengelolaan sumber daya air," kata Sekretaris Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum Agoes Widjanarko saat membacakan keterangan pemerintah dalam sidang lanjutan uji materi UU SDA di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, (4/12/2013).
Menurut Agoes, pengelolaan sumber daya air ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Dalam pelaksanaannya, Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) berbeda dengan privatisasi atau swastanisasi dalam pengelolaan SDA.
Privatisasi, lanjut Agoes, berarti kepemilikan di tangan swasta. Sementara dalam KPS, aset dimiliki pemerintah. Hal itu sudah tertuang dalam Peraturan Menteri PU Nomor 12/PRT/M/2010 tentang Pedoman Kerjasama pengusahaan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) kepemilikan aset.
"Target pelayanan pada KPS pun diatur oleh pemerintah, sedangkan pada privatisasi diatur oleh perusahaan," katanya.
Pengaturan pelayanan, kata Agoes, dalam hal ini tentang penentuan biaya jasa pelayanan kepada KPS diatur Pemerintah. Di mana hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2006 tentang Pedoman Teknis dan Tata Cara Pengaturan Tarif Air Minum pada Perusahaan Daerah Air Minum.
"Pemerintah mengakomodasi jenis tarif yang lebih rendah dibandingkan dengan biaya dasar. Hal tersebut diperuntukkan bagi pelanggan yang berpenghasilan rendah dan untuk kepentingan sosial," ucap Agoes.
Lebih lanjut Agoes mengatakan, proses penetapan tarif air minum Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dilakukan secara transparan dan melibatkan masyarakat. Hal tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 4 PP Nomor 16 tahun 2005 tentang Pengembangan SPAM yang bertujuan mewujudkan pengelolaan dan pelayanan air minum berkualitas dengan harga terjangkau.
Atas dasar tersebut, Agoes mengklaim, pemerintah telah memberikan perlindungan menghindari praktik privatisasi maupun komersialisasi pengelolaan air minum. Karenanya, di mata Agoes, UU SDA telah sesuai dengan konstitusi.
"UU SDA telah sejalan dengan amanat UUD 1945. Serta dalam rangka pelaksanaannya, telah ditetapkan peraturan perundang-undangan guna memperteguh kedudukan negara dalam pengelolaan sumber daya air," pungkas Agoes.
Sejumlah organisasi, di antaranya Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, bersama tokoh masyarakat seperti Marwan Batubara, Adhyaksa Dault, Laode Ida, M Hatta Taliwang, Rachmawati Soekarnoputri, dan Fahmi Idris menggugat UU SDA ke Mahkamah Konstitusi.
Mereka menggungat sejumlah pasal, antara lain Pasal 6 ayat (2), ayat (3), Pasal 7, Pasal 8 ayat (1), ayat (2), Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (3), Pasal 29 ayat (3), Pasal 40 ayat (4), dan Pasal 49 UU SDA. Pasal-pasal itu dianggap telah merugikan hak konstitusional para Pemohon.
Menurut para pemohon yang diwakili kuasa hukumnya Syaiful Bakhri, alasan pengujian UU tersebut lantaran adanya penyelewengan terhadap pertimbangan MK dalam putusannya, yaitu perkara Nomor 58, 59, 60, 63/PUU-II/2004 dan perkara Nomor 8/PUU-III/2005 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang SDA (UU SDA).
"UU SDA cenderung membuka peluang privatisasi dan komersialisasi yang merugikan masyarakat," kata Syaiful belum lama ini. (Rmn/Mut)
"UU SDA tidak mengenal privatisasi, swastanisasi, komersialisasi, ataupun monopoli dalam pengelolaan sumber daya air," kata Sekretaris Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum Agoes Widjanarko saat membacakan keterangan pemerintah dalam sidang lanjutan uji materi UU SDA di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, (4/12/2013).
Menurut Agoes, pengelolaan sumber daya air ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Dalam pelaksanaannya, Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) berbeda dengan privatisasi atau swastanisasi dalam pengelolaan SDA.
Privatisasi, lanjut Agoes, berarti kepemilikan di tangan swasta. Sementara dalam KPS, aset dimiliki pemerintah. Hal itu sudah tertuang dalam Peraturan Menteri PU Nomor 12/PRT/M/2010 tentang Pedoman Kerjasama pengusahaan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) kepemilikan aset.
"Target pelayanan pada KPS pun diatur oleh pemerintah, sedangkan pada privatisasi diatur oleh perusahaan," katanya.
Pengaturan pelayanan, kata Agoes, dalam hal ini tentang penentuan biaya jasa pelayanan kepada KPS diatur Pemerintah. Di mana hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2006 tentang Pedoman Teknis dan Tata Cara Pengaturan Tarif Air Minum pada Perusahaan Daerah Air Minum.
"Pemerintah mengakomodasi jenis tarif yang lebih rendah dibandingkan dengan biaya dasar. Hal tersebut diperuntukkan bagi pelanggan yang berpenghasilan rendah dan untuk kepentingan sosial," ucap Agoes.
Lebih lanjut Agoes mengatakan, proses penetapan tarif air minum Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dilakukan secara transparan dan melibatkan masyarakat. Hal tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 4 PP Nomor 16 tahun 2005 tentang Pengembangan SPAM yang bertujuan mewujudkan pengelolaan dan pelayanan air minum berkualitas dengan harga terjangkau.
Atas dasar tersebut, Agoes mengklaim, pemerintah telah memberikan perlindungan menghindari praktik privatisasi maupun komersialisasi pengelolaan air minum. Karenanya, di mata Agoes, UU SDA telah sesuai dengan konstitusi.
"UU SDA telah sejalan dengan amanat UUD 1945. Serta dalam rangka pelaksanaannya, telah ditetapkan peraturan perundang-undangan guna memperteguh kedudukan negara dalam pengelolaan sumber daya air," pungkas Agoes.
Sejumlah organisasi, di antaranya Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, bersama tokoh masyarakat seperti Marwan Batubara, Adhyaksa Dault, Laode Ida, M Hatta Taliwang, Rachmawati Soekarnoputri, dan Fahmi Idris menggugat UU SDA ke Mahkamah Konstitusi.
Mereka menggungat sejumlah pasal, antara lain Pasal 6 ayat (2), ayat (3), Pasal 7, Pasal 8 ayat (1), ayat (2), Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (3), Pasal 29 ayat (3), Pasal 40 ayat (4), dan Pasal 49 UU SDA. Pasal-pasal itu dianggap telah merugikan hak konstitusional para Pemohon.
Menurut para pemohon yang diwakili kuasa hukumnya Syaiful Bakhri, alasan pengujian UU tersebut lantaran adanya penyelewengan terhadap pertimbangan MK dalam putusannya, yaitu perkara Nomor 58, 59, 60, 63/PUU-II/2004 dan perkara Nomor 8/PUU-III/2005 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang SDA (UU SDA).
"UU SDA cenderung membuka peluang privatisasi dan komersialisasi yang merugikan masyarakat," kata Syaiful belum lama ini. (Rmn/Mut)