Liputan6.com, Sumba: Pekik sorak membahana di Lapangan Weiha, Sumba, Nusatenggara Timur, pagi itu. Dua kelompok pemuda, di atas pelana kuda masing-masing bertarung saling melukai. Inilah awal ritual Pasola yang biasa digelar setiap permulaan musim tanam, sekitar Februari atau Maret. Ritual adat dan keagamaan ini dilaksanakan warga suku Marapu untuk menghibur para arwah leluhur agar memberikan hasil panen yang baik dan melimpah.
Semangat Pasola yang tertahan selama setahun, kini seperti tertumpahkan. Satu saudara dari satu paraingu dipecah menjadi dua kelompok dan saling berhadapan sebagai musuh. Satu kelompok, gabungan empat kabihu termasuk Weiha dan Weinyapu, berhadapan sebagai lawan dengan saudara mereka yang tinggal di seberang Sungai Kodi.
Kegiatan hari ini, sebenarnya hanyalah pemanasan. Pasola sebenarnya baru akan dilaksanakan esok harinya di Weinyapu. Pasola memang dilaksanakan dalam dua babak selama dua hari berturut-turut. Pasola pertama sebagai pemanasan dilaksanakan di Weiha. Sedangkan Pasola sesungguhnya digelar keesokan harinya di Weinyapu, sebagai pusat adat desa.
Meski disebut pemanasan, adegan pertempuran dilakukakan sungguh-sungguh. Persaingan untuk saling menjatuhkan begitu jelas terlihat. Hawa permusuhan yang semakin panas tak pelak memancing emosi. Keributan pun hampir terjadi. Orang Sumba mempunyai cara tersendiri dalam menciptakan perdamaian. Cukup dengan saling beradu hidung, selesailah permusuhan itu.
Namun, konflik yang tersisa membuat panitia Pasola khawatir. Mereka tidak ingin keributan berubah menjadi terlalu liar sebelum Pasola di Weinyapu digelar. Karena itu, mereka memutuskan untuk mencabut bendera hitam di tengah lapang, pertanda Pasola hari pertama dihentikan. Di Weinyapu, kedua kelompok bisa menumpahkan naluri peperangan sepuas-puasnya. Karena di sana, Pasola tak akan dihentikan sebelum darah tertumpah.
Sebelum Pasola dilaksanakan di Weiha, warga biasanya mengunjungi Pantai Karaba untuk menangkap cacing nyale atau cacing laut (sea worms). Hewan laut ini muncul setahun sekali menjelang musim tanam antara Subuh menjelang matahari terbit. Upacara menangkap nyale atau Bau Nyale menjadi atraksi wisata yang menarik turis asing. Pemburu nyale sudah mendatangi pantai dari malam hari. Di sepanjang pantai digelar aneka atraksi hiburan sepanjang malam. Berbagai restoran dan hotel-hotel bintang empat bergaya arsitektur Lombok di sekitar pantai pun tak ketinggalan menggelar pesta.
Menurut legenda, Bau Nyale berawal dari cerita tragis Putri Nyale, seorang putri dari raja Eberu dari Mandalika. Putri Nyale dipinang dua pangeran. Putri cantik jelita dan baik budi ini pun bingung menentukan pilihan. Karena bingung, sang putri mengundang kedua pangeran menemuinya di pantai.
Dalam gelapnya suasana malam dan deburan ombak laut, sang putri berdiri di sebuah bukit. Ketika kedua pangeran tiba, dia menyatakan tak bisa menyaksikan mereka berperang untuk mendapatkan cintanya. Putri Nyale kemudian nekat menceburkan diri ke laut. Hingga menjelang pagi, tubuh sang putri tidak ditemukan. Yang muncul justru ribuan cacing laut berwarna indah paduan warna putih, hitam, hijau, putih, kuning dan coklat. Cacing itulah yang kini disebut nyale.
Berdasarkan keyakinan Marapu, kemunculan cacing nyale juga menjadi petunjuk berhasil atau tidaknya panen tahun ini. Jika nyale yang muncul banyak, maka panen diramalkan bakal berhasil. Demikian pula sebaliknya. Munculnya cacing-cacing nyale akan diiringi dengan kegiatan Pasola.
Hari pelaksanaan Pasola pun tiba. Kesempatan menjelang Pasola dimanfaatkan warga Paringu Weinyapu berziarah ke makam leluhur. Layaknya suasana Lebaran, para wanita datang mengenakan pakaian terbaik dan mempersembahkan sirih pinang kepada sang leluhur yang bersemayam di peti-peti kubur batu.
Sementara di beberapa rumah, pemain Pasola mulai sibuk mempersiapkan kuda-kuda mereka. Di kediaman Rato Nyale, pendeta Marapu, warga berkumpul. Kuda halato dan kuda nyale disiapkan di depan dan belakang rumah untuk diberkati Rato Nyale. Sebagai pendeta, Rato Nyale menentukan waktu Pasola dimulai. Lagu Nyale dinyanyikan para pembantu Rato.
Matahari sudah kian tinggi. Namun, belum ada tanda-tanda Rato Nyale turun untuk memulai Pasola. Di lapangan, dua kelompok yang akan bertarung sudah mulai gelisah. Mereka pun mulai saling melempar lembing, meski Pasola belum resmi dimulai. Dua jam menunggu, barulah pertanda itu muncul. Lagu nyale dinyanyikan mengiringi beberapa perempuan yang mempersembahkan sirih pinang kepada para leluhur di peti-peti kubur batu.
Tapi, kali ini Rato Nyale tidak keluar rumah. Ia harus melakukan ritual menolak hujan di dalam rumah. Sebagai gantinya, ia mewakilkan pembukaan Pasola kepada penunggang kuda nyale dan kuda halato. Seiring keberangkatan kuda nyale ke lapangan, maka dimulailah Pasola.
Dendam lama pun dilepaskan. Lembing demi lembing dilempar untuk mengucurkan darah lawan. Kegembiraan menggema saat anak-anak lembing tepat mengenai tubuh lawan. Dalam keyakinan Marapu, darah dipersembahkan kepada Dewa Bumi agar tanah menjadi subur dan padi terhindar dari hama. Sebab itu, ritual Pasola tidak sah sebelum darah tertumpah. Beberapa jam, dua kelompok dari satu keturunan ini saling berbalas melempar lembing. Hingga sebuah pekik sorak membahana di seputar lapangan. Seorang pemain jatuh. Darah mengucur membasahi tanah. Jatuhnya korban belum membuat Pasola dihentikan. Ketegangan bahkan kian meningkat. Tak pelak keributan pun terjadi.
Suasana yang semakin tegang membuat kuda nyale bersiap diri di pinggir arena. Jika situasi kian tak terkendali, mereka harus masuk ke arena membubarkan pertempuran. Beberapa saat kemudian, kuda nyale dan kuda halato pun masuk ke arena menghentikan Pasola. Darah telah tertumpah. Sebuah persembahan dianggap sempurna. Kini, harapan hasil panen yang melimpah tumbuh di hati masyarakat.(ZAQ/Tim Potret)
Semangat Pasola yang tertahan selama setahun, kini seperti tertumpahkan. Satu saudara dari satu paraingu dipecah menjadi dua kelompok dan saling berhadapan sebagai musuh. Satu kelompok, gabungan empat kabihu termasuk Weiha dan Weinyapu, berhadapan sebagai lawan dengan saudara mereka yang tinggal di seberang Sungai Kodi.
Kegiatan hari ini, sebenarnya hanyalah pemanasan. Pasola sebenarnya baru akan dilaksanakan esok harinya di Weinyapu. Pasola memang dilaksanakan dalam dua babak selama dua hari berturut-turut. Pasola pertama sebagai pemanasan dilaksanakan di Weiha. Sedangkan Pasola sesungguhnya digelar keesokan harinya di Weinyapu, sebagai pusat adat desa.
Meski disebut pemanasan, adegan pertempuran dilakukakan sungguh-sungguh. Persaingan untuk saling menjatuhkan begitu jelas terlihat. Hawa permusuhan yang semakin panas tak pelak memancing emosi. Keributan pun hampir terjadi. Orang Sumba mempunyai cara tersendiri dalam menciptakan perdamaian. Cukup dengan saling beradu hidung, selesailah permusuhan itu.
Namun, konflik yang tersisa membuat panitia Pasola khawatir. Mereka tidak ingin keributan berubah menjadi terlalu liar sebelum Pasola di Weinyapu digelar. Karena itu, mereka memutuskan untuk mencabut bendera hitam di tengah lapang, pertanda Pasola hari pertama dihentikan. Di Weinyapu, kedua kelompok bisa menumpahkan naluri peperangan sepuas-puasnya. Karena di sana, Pasola tak akan dihentikan sebelum darah tertumpah.
Sebelum Pasola dilaksanakan di Weiha, warga biasanya mengunjungi Pantai Karaba untuk menangkap cacing nyale atau cacing laut (sea worms). Hewan laut ini muncul setahun sekali menjelang musim tanam antara Subuh menjelang matahari terbit. Upacara menangkap nyale atau Bau Nyale menjadi atraksi wisata yang menarik turis asing. Pemburu nyale sudah mendatangi pantai dari malam hari. Di sepanjang pantai digelar aneka atraksi hiburan sepanjang malam. Berbagai restoran dan hotel-hotel bintang empat bergaya arsitektur Lombok di sekitar pantai pun tak ketinggalan menggelar pesta.
Menurut legenda, Bau Nyale berawal dari cerita tragis Putri Nyale, seorang putri dari raja Eberu dari Mandalika. Putri Nyale dipinang dua pangeran. Putri cantik jelita dan baik budi ini pun bingung menentukan pilihan. Karena bingung, sang putri mengundang kedua pangeran menemuinya di pantai.
Dalam gelapnya suasana malam dan deburan ombak laut, sang putri berdiri di sebuah bukit. Ketika kedua pangeran tiba, dia menyatakan tak bisa menyaksikan mereka berperang untuk mendapatkan cintanya. Putri Nyale kemudian nekat menceburkan diri ke laut. Hingga menjelang pagi, tubuh sang putri tidak ditemukan. Yang muncul justru ribuan cacing laut berwarna indah paduan warna putih, hitam, hijau, putih, kuning dan coklat. Cacing itulah yang kini disebut nyale.
Berdasarkan keyakinan Marapu, kemunculan cacing nyale juga menjadi petunjuk berhasil atau tidaknya panen tahun ini. Jika nyale yang muncul banyak, maka panen diramalkan bakal berhasil. Demikian pula sebaliknya. Munculnya cacing-cacing nyale akan diiringi dengan kegiatan Pasola.
Hari pelaksanaan Pasola pun tiba. Kesempatan menjelang Pasola dimanfaatkan warga Paringu Weinyapu berziarah ke makam leluhur. Layaknya suasana Lebaran, para wanita datang mengenakan pakaian terbaik dan mempersembahkan sirih pinang kepada sang leluhur yang bersemayam di peti-peti kubur batu.
Sementara di beberapa rumah, pemain Pasola mulai sibuk mempersiapkan kuda-kuda mereka. Di kediaman Rato Nyale, pendeta Marapu, warga berkumpul. Kuda halato dan kuda nyale disiapkan di depan dan belakang rumah untuk diberkati Rato Nyale. Sebagai pendeta, Rato Nyale menentukan waktu Pasola dimulai. Lagu Nyale dinyanyikan para pembantu Rato.
Matahari sudah kian tinggi. Namun, belum ada tanda-tanda Rato Nyale turun untuk memulai Pasola. Di lapangan, dua kelompok yang akan bertarung sudah mulai gelisah. Mereka pun mulai saling melempar lembing, meski Pasola belum resmi dimulai. Dua jam menunggu, barulah pertanda itu muncul. Lagu nyale dinyanyikan mengiringi beberapa perempuan yang mempersembahkan sirih pinang kepada para leluhur di peti-peti kubur batu.
Tapi, kali ini Rato Nyale tidak keluar rumah. Ia harus melakukan ritual menolak hujan di dalam rumah. Sebagai gantinya, ia mewakilkan pembukaan Pasola kepada penunggang kuda nyale dan kuda halato. Seiring keberangkatan kuda nyale ke lapangan, maka dimulailah Pasola.
Dendam lama pun dilepaskan. Lembing demi lembing dilempar untuk mengucurkan darah lawan. Kegembiraan menggema saat anak-anak lembing tepat mengenai tubuh lawan. Dalam keyakinan Marapu, darah dipersembahkan kepada Dewa Bumi agar tanah menjadi subur dan padi terhindar dari hama. Sebab itu, ritual Pasola tidak sah sebelum darah tertumpah. Beberapa jam, dua kelompok dari satu keturunan ini saling berbalas melempar lembing. Hingga sebuah pekik sorak membahana di seputar lapangan. Seorang pemain jatuh. Darah mengucur membasahi tanah. Jatuhnya korban belum membuat Pasola dihentikan. Ketegangan bahkan kian meningkat. Tak pelak keributan pun terjadi.
Suasana yang semakin tegang membuat kuda nyale bersiap diri di pinggir arena. Jika situasi kian tak terkendali, mereka harus masuk ke arena membubarkan pertempuran. Beberapa saat kemudian, kuda nyale dan kuda halato pun masuk ke arena menghentikan Pasola. Darah telah tertumpah. Sebuah persembahan dianggap sempurna. Kini, harapan hasil panen yang melimpah tumbuh di hati masyarakat.(ZAQ/Tim Potret)