Upaya para terdakwa korupsi melakukan banding atau kasasi akan percuma. Sebab, langkah hukum lanjutan mereka, baik di Pengadilan Tinggi maupun di Mahkamah Agung, justru semakin memperberat hukuman mereka. Kalangan pengamat menilai, pengajuan banding atau kasasi bagi para koruptor sama halnya bunuh diri.
"Banding atau kasasi itu bunuh diri buat mereka," kata Pengamat Hukum Tata Negara Margarito Kamis saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (19/12/2013).
Margarito berpendapat, para terdakwa korupsi yang 'nekat' mengajukan banding atau kasasi, karena mereka berpikir hukuman mereka masih dapat diringankan, atau bahkan dibebaskan oleh majelis hakim tinggi atau hakim agung. "Mereka mungkin saja berpikir bisa diringankan atau dibebaskan," ujarnya.
Akan tetapi, lanjut Margarito, para hakim tinggi atau hakim agung sekarang memiliki kecenderungan takut mendapat serangan opini publik. Sehingga, mereka lebih memilih 'main aman' ketimbang harus meringankan atau justru membebaskan koruptor tapi dicaci maki publik.
"Bagi saya, kalau faktanya cukup, hukum seberat-beratnya koruptor. Tapi kalau tidak cukup, maka sebaliknya, hukumannya bisa diringankan atau dibebaskan, tidak peduli dimaki-maki publik," ucapnya.
Menurut Margarito, ketakutan serangan opini publik tersebut membuat para 'Wakil Tuhan' tersebut di Pengadilan Tinggi atau di MA akhirnya menjatuhkan hukuman lebih berat kepada terdakwa korupsi. "Jadi mending tidak usah banding atau kasasi, itu mematikan mereka," imbau Margarito.
Upaya para terdakwa korupsi mengajukan langkah hukum lanjutan menemui jalan buntu. Sebut saja terdakwa kasus korupsi penggiringan anggaran di Kemenpora dan Kemendikbud, Angelina Sondakh, yang dihukum lebih berat oleh Mahkamah Agung.
Dalam amar putusan kasasinya, MA menjatuhkan hukuman pidana 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsidair 8 bulan kurungan. Lebih berat dari vonis PN Tipikor Jakarta yang menghukum janda Adjie Massaid itu dengan pidana 4 tahun 6 bulan penjara.
Begitu juga dengan upaya banding terdakwa kasus korupsi pengadaan alat Simulator SIM dan pencucian uang, Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Majelis hakim tinggi menjatuhkan pidana penjara bagi Mantan Kepala Korlantas Polri itu selama 18 tahun dan pidana denda Rp 1 miliar subsidair 1 tahun kurungan, serta membayar uang pengganti Rp 32 miliar.
Djoko Susilo mendapat vonis hukuman 8 tahun lebih berat dari vonis PN Tipikor yang menghukum Djoko dengan pidana 10 tahun penjara. (Rmn/Mut)
Baca juga:
Vonis Djoko Susilo Diperberat, Pengacara: Apa Pertimbangannya?
"Banding atau kasasi itu bunuh diri buat mereka," kata Pengamat Hukum Tata Negara Margarito Kamis saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (19/12/2013).
Margarito berpendapat, para terdakwa korupsi yang 'nekat' mengajukan banding atau kasasi, karena mereka berpikir hukuman mereka masih dapat diringankan, atau bahkan dibebaskan oleh majelis hakim tinggi atau hakim agung. "Mereka mungkin saja berpikir bisa diringankan atau dibebaskan," ujarnya.
Akan tetapi, lanjut Margarito, para hakim tinggi atau hakim agung sekarang memiliki kecenderungan takut mendapat serangan opini publik. Sehingga, mereka lebih memilih 'main aman' ketimbang harus meringankan atau justru membebaskan koruptor tapi dicaci maki publik.
"Bagi saya, kalau faktanya cukup, hukum seberat-beratnya koruptor. Tapi kalau tidak cukup, maka sebaliknya, hukumannya bisa diringankan atau dibebaskan, tidak peduli dimaki-maki publik," ucapnya.
Menurut Margarito, ketakutan serangan opini publik tersebut membuat para 'Wakil Tuhan' tersebut di Pengadilan Tinggi atau di MA akhirnya menjatuhkan hukuman lebih berat kepada terdakwa korupsi. "Jadi mending tidak usah banding atau kasasi, itu mematikan mereka," imbau Margarito.
Upaya para terdakwa korupsi mengajukan langkah hukum lanjutan menemui jalan buntu. Sebut saja terdakwa kasus korupsi penggiringan anggaran di Kemenpora dan Kemendikbud, Angelina Sondakh, yang dihukum lebih berat oleh Mahkamah Agung.
Dalam amar putusan kasasinya, MA menjatuhkan hukuman pidana 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsidair 8 bulan kurungan. Lebih berat dari vonis PN Tipikor Jakarta yang menghukum janda Adjie Massaid itu dengan pidana 4 tahun 6 bulan penjara.
Begitu juga dengan upaya banding terdakwa kasus korupsi pengadaan alat Simulator SIM dan pencucian uang, Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Majelis hakim tinggi menjatuhkan pidana penjara bagi Mantan Kepala Korlantas Polri itu selama 18 tahun dan pidana denda Rp 1 miliar subsidair 1 tahun kurungan, serta membayar uang pengganti Rp 32 miliar.
Djoko Susilo mendapat vonis hukuman 8 tahun lebih berat dari vonis PN Tipikor yang menghukum Djoko dengan pidana 10 tahun penjara. (Rmn/Mut)
Baca juga:
Vonis Djoko Susilo Diperberat, Pengacara: Apa Pertimbangannya?