Pemerintah diminta mampu untuk mengendalikan tata kelola industri hulu migas di Tanah Air di tengah krisis industri hulu migas yang menjadi sorotan publik. Hal ini penting, lantaran diperlukan adanya strategi terpadu untuk mengurangi konflik sehingga kebijakan energi bisa selaras dengan pembangunan.
"Komandonya adalah presiden yang membawahi Kementerian ESDM, Pertamina, pemerintah daerah, perusahaan swasta, dan instasi lain," kata pengamat kebijakan energi, Darmawan Prasodjo, Jakarta, Kamis (19/12/2013).
Namun, Darmawan menuturkan ada tantangan untuk mewujudkannya. Pertama, tren produksi migas yang terus menurun, sementara permintaan naik sehingga negara harus mengimpor minyak mentah dari luar negeri.
“Terbukti sejak 2004 Indonesia keluar dari keanggotaan Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC),” imbuh Darmawan.
Kedua, lanjutnya, kontribusi produksi dari perusahaan migas nasional sangat kecil. Contoh, Pertamina hanya menguasai 14% dari total lifting di negeri ini. Padahal peningkatan kebutuhan akan energi bukanlah hal yang negatif, karena berhubungan pertumbuhan ekonomi di negeri ini.
"Banyak keluarga keluar dari garis kemiskinan, sehingga kebutuhan akan bahan bakar juga akan meningkat," jelasnya.
Ketiga, dinilainya peranan Pertamina yang sangat kecil dari total lifting juga dipengaruhi oleh beberapa faktor produksi. Di antaranya ialah faktor kapital, teknologi dan kemampuan mengelola resiko.
"Ketiganya hanya dimiliki oleh kontrakstor asing. Inilah yang membuat institusi pengelola industri hulu migas (SKK Migas) seakan-akan pro-asing," tegasnya.
Karenanya perlu tata kelola yang kondusif dan kebijakan yang benar-benar strategis. Ia menilai, investasi asing di industri migas dibolehkan, tapi hendaknya dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan bangsa kedepannya.
"Ada perbedaan konsep mengenai tata kelola migas antara konsep PSC (production sharing contract) dan pola pemberian izin."
Pada konsep PSC, perusahaan hanya bertindak sebagai kontraktor yang ingin mendapat untung, tapi produk migasnya tetap milik negara.
Sedangkan pada konsep pemberian izin, begitu minyak keluar dari perut bumi, langsung menjadi milik perusahaan, bukan lagi bukan negara. Negara hanya dapat dari pajak.
“Konsep PSC ini lebih dekat dengan amanat pasal 33 UUD 45. Tapi kelemahannya, tata kelola kurang pas dijalankan saat ini, karena banyaknya kepentingan di dalamnya,” tandas Darmawan. (Adi)
"Komandonya adalah presiden yang membawahi Kementerian ESDM, Pertamina, pemerintah daerah, perusahaan swasta, dan instasi lain," kata pengamat kebijakan energi, Darmawan Prasodjo, Jakarta, Kamis (19/12/2013).
Namun, Darmawan menuturkan ada tantangan untuk mewujudkannya. Pertama, tren produksi migas yang terus menurun, sementara permintaan naik sehingga negara harus mengimpor minyak mentah dari luar negeri.
“Terbukti sejak 2004 Indonesia keluar dari keanggotaan Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC),” imbuh Darmawan.
Kedua, lanjutnya, kontribusi produksi dari perusahaan migas nasional sangat kecil. Contoh, Pertamina hanya menguasai 14% dari total lifting di negeri ini. Padahal peningkatan kebutuhan akan energi bukanlah hal yang negatif, karena berhubungan pertumbuhan ekonomi di negeri ini.
"Banyak keluarga keluar dari garis kemiskinan, sehingga kebutuhan akan bahan bakar juga akan meningkat," jelasnya.
Ketiga, dinilainya peranan Pertamina yang sangat kecil dari total lifting juga dipengaruhi oleh beberapa faktor produksi. Di antaranya ialah faktor kapital, teknologi dan kemampuan mengelola resiko.
"Ketiganya hanya dimiliki oleh kontrakstor asing. Inilah yang membuat institusi pengelola industri hulu migas (SKK Migas) seakan-akan pro-asing," tegasnya.
Karenanya perlu tata kelola yang kondusif dan kebijakan yang benar-benar strategis. Ia menilai, investasi asing di industri migas dibolehkan, tapi hendaknya dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan bangsa kedepannya.
"Ada perbedaan konsep mengenai tata kelola migas antara konsep PSC (production sharing contract) dan pola pemberian izin."
Pada konsep PSC, perusahaan hanya bertindak sebagai kontraktor yang ingin mendapat untung, tapi produk migasnya tetap milik negara.
Sedangkan pada konsep pemberian izin, begitu minyak keluar dari perut bumi, langsung menjadi milik perusahaan, bukan lagi bukan negara. Negara hanya dapat dari pajak.
“Konsep PSC ini lebih dekat dengan amanat pasal 33 UUD 45. Tapi kelemahannya, tata kelola kurang pas dijalankan saat ini, karena banyaknya kepentingan di dalamnya,” tandas Darmawan. (Adi)