Sukses

Fachrul: Pangdam Jaya Tidak Memerlukan Penambahan Pasukan

Pangdam Jaya tidak memerlukan adanya penambahan pasukan untuk mengatasi kerusuhan Mei 1998. Markas Besar ABRI baru memberikan penambahan pasukan setelah ada permintaan langsung dari Sjafrie Sjamsoeddin.

Liputan6.com, Jakarta: Panglima Komando Daerah Militer Jaya Mayor Jenderal TNI Sjafrie Sjamsoeddin adalah pemegang komando dalam penanggulangan kerusuhan yang terjadi Mei 1998. Semua kewenangan baik itu mengenai penambahan pasukan ataupun bentuk penanggulangan berada di tangan Pangdam Jaya. "Pangdam Jaya memanfaatkan semua kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi keadaan," kata mantan Jenderal Purnawirawan Fachrul Razi yang saat kerusuhan Mei `98 menjabat sebagai Kepala Staf Umum ABRI dengan pangkat letnan jenderal dalam dialog yang dipandu Indiarto Priyadi, Jumat (14/5) petang. Dengan kata lain, Pangdam Jaya tidak memerlukan adanya penambahan pasukan untuk mengatasi kerusuhan tersebut.

Menurut mantan Panglima TNI ini, Markas Besar ABRI berada di jalur yang benar dalam arti perkuatan atau penambahan kekuatan pasukan yang dibutuhkan Pangdam Jaya dan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya--saat itu dijabat Hamaminata--baru diberikan setelah ada permintaan langsung dari Sjafrie Sjamsoeddin. "Mabes TNI [Mabes ABRI,Red] kemudian membantu melakukan komando dan pengendalian di tingkat Mabes TNI kalau-kalau mereka [Kodam Jaya] membutuhkan satuan-satuan lain atau perkuatan pasukan kita siap kemudian meng-attach lagi pasukan-pasukan," tambah dia. Dengan kata lain Mabes ABRI yang saat itu dipimpin Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto tidak terlambat seperti yang dikatakan mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat (Kostrad) Mayor Jenderal TNI Purnawirawan Kivlan Zein [baca: Kivlan Zein: Wiranto Tak Mau Bertanggung Jawab].

Mengenai kesiapan pasukan Kostrad yang akan memasuki Jakarta, lulusan Akademi Angkatan Bersenjata RI (Akabri) tahun 1970 ini kembali menegaskan bahwa Pangdam Jaya yang saat itu memegang komando merasa tidak perlu akan adanya penambahan pasukan. "Pangdam Jaya merasa pasukan dia masih cukup kuat," jelas Fachrul. Saat itu, kewajiban Kostrad, Komando Pasukan Khusus (Kopassus), Marinir, dan pasukan lainnya adalah siap sedia untuk membantu kekuatan pasukan Pangdam Jaya. Namun Sjafrie Sjamsoeddin merasa penambahan pasukan bukanlah pemecahan untuk meredam kerusuhan. Penambahan pasukan yang tidak diefektifkan akan membuat Kodam Jaya terbebani dengan tugas-tugas perawatan.

Proses penanggulangan sendiri memakan waktu yang tidak sebentar karena bentuk pengendalian yang berusaha agar tidak menimbulkan korban dari pihak sipil. "Memang tidak gampang menghadapi situasi seperti itu. Kecuali kita melakukan upaya dengan penembakan [atau] dengan cara paksa," ujar Fachrul. Namun usaha paksa tersebut tidak dilakukan karena menghindarkan korban yang lebih banyak. Sebagai Kasum, Fachrul menilai situasi saat itu sudah parah namun kekuatan Kodam Jaya masih mampu untuk mengatasinya. Bahkan hal itu diungkapkan sendiri oleh Sjafrie Sjamsoeddin dalam rapat koordinasi yang dipimpin langsung oleh Wiranto pada 13 Mei 1998 malam. Dengan tegas Pangdam Jaya mengatakan bahwa dia tidak memerlukan penambahan pasukan. "Tidak perlu diambil alih oleh Mabes TNI," ujar putra Aceh kelahiran tahun 1947 ini menceritakan hasil rapat tersebut.

Menanggapi adanya isu mengenai sikap Jenderal TNI Wiranto yang tidak bertanggung jawab atas peristiwa itu, Fachrul secara tegas mengatakan bahwa kepergian Wiranto menuju Malang, Jawa Timur, adalah karena tuntutan tugas selaku Panglima ABRI. Sebagai Panglima ABRI, Wiranto tidak terpaku pada satu kerusuhan saja. Apalagi, keadaan di Ibu Kota sedang diatasi oleh Pangdam Jaya dan Kapolda Metro Jaya. Sedangkan saat itu, Wiranto diperlukan untuk mengambil alih komando Pasukan Pemukul Reaksi Cepat yang semula berada di bawah komando Panglima Kostrad menjadi langsung di bawah kendali Mabes ABRI. "Pengalihan ini harus langsung dilakukan Panglima TNI [Panglima ABRI,Red] sehingga mendapatkan efek psikologis yang tinggi di kalangan mereka [prajurit]," jelas mantan Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan dan Keamanan.

Lebih jauh, Fachrul membantah adanya rivalitas antara Wiranto dan Prabowo Subianto. Sebab, menurut dia, rivalitas hanya terjadi dalam satu tingkatan yang sama. Kedua orang tersebut berada dalam situasi yang jauh berbeda karena secara struktural Wiranto berada jauh diatas Prabowo yang saat itu menjabat sebagai Panglima Kostrad. "Apakah itu sebuah rivalitas?" tanya Fachrul.

Sekadar mengingatkan, wajah Ibu Kota pada Mei enam tahun silam seolah menjadi negeri tanpa tuan. Kerusuhan, penjarahan, serta pembakaran gedung dan mobil terjadi di mana-mana. Ratusan orang tewas terbakar saat penjarahan terjadi. Satu di antaranya adalah peristiwa mengenaskan yang terjadi di Plaza Yogya Klender, Jakarta Timur. Di tempat itu, sedikitnya 200 orang tewas terbakar [baca: "Aku Melihat Anakku Terbakar"].

Tidak hanya itu, tersiar kabar juga terjadi tindak kekerasan kepada etnis Cina. Mereka diperkosa dan dibunuh. Jumlahnya tak pasti. Yang jelas, cerita buram ini hendak dikaburkan. Buktinya, para pejabat yang notabene saat itu bertanggung jawab atas kasus ini bungkam. Dan, mereka saling melempar wewenang [baca: Jejak Tragedi Mei 1998 Masih Sulit Diungkap]. Kerusuhan tidak hanya terjadi di Jakarta namun juga pecah di beberapa kota lainnya seperti di Solo, Jawa Tengah dan Medan, Sumatra Utara.

Berdasarkan laporan akhir Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa 13-15 Mei 1998, etnis Tionghoa menderita jumlah kerugian materiil terbesar. Sedangkan warga sipil yang meninggal dunia tercatat: 1.190 orang (data tim relawan), 541 (data Polda Metro Jaya), dan 463 (data Komando Daerah Militer Jaya). Korban luka-luka: 91 (data tim relawan), 69 (data Kodam Jaya). Sementara korban penculikan: empat orang (data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), korban perkosaan dengan penganiayaan 14 orang, korban penyerangan/penganiayaan seksual 10 orang, dan sembilan korban pelecehan seksual [baca: Jakarta Lautan Api].(TOZ)
    Video Terkini