Liputan6.com, Ubud: Sebanyak 41 pelukis dan kartunis Bali menggelar pameran bersama di Ubud, baru-baru ini. Pameran bertajuk Dasamuka itu menampilkan 82 karya lukis dan kartun dari berbagai aliran. Acara ini adalah rangkaian peringatan hari ulang tahun keempat Bali Corruption Watch.
Karya yang ditampilkan sebagian besar bertemakan kritik sosial terutama terhadap perilaku elite politik yang hanya berorientasi pada kekuasaan dan melupakan hati nurani. Melalui karya seni, para seniman mengajak masyarakat melakukan otokritik agar tidak terjebak dalam pertarungan para elite politik yang sudah tidak peduli pada rakyat.
Di tangan para seniman, berbagai persoalan bangsa Indonesia digambarkan dalam berbagai ekspresi, seperti lukisan berjudul Kursi Tulang karya Made Sumadiyasa. Karya ini bertema pertarungan perebutan kekuasaan di antara elite politik. Karya lain yang tak kalah menarik adalah Kerajaan Tikus, Beringin Tikus, dan Politik Kerbau. Selain itu, ada satu karya yang cukup menarik karena mencoba melukiskan pertarungan calon presiden seperti layaknya kontes calon bintang di salah satu televisi swasta karya Grace Tjondronimpuno.(TOZ/Aries Wicaksono dan Putu Setiawan)
Karya yang ditampilkan sebagian besar bertemakan kritik sosial terutama terhadap perilaku elite politik yang hanya berorientasi pada kekuasaan dan melupakan hati nurani. Melalui karya seni, para seniman mengajak masyarakat melakukan otokritik agar tidak terjebak dalam pertarungan para elite politik yang sudah tidak peduli pada rakyat.
Di tangan para seniman, berbagai persoalan bangsa Indonesia digambarkan dalam berbagai ekspresi, seperti lukisan berjudul Kursi Tulang karya Made Sumadiyasa. Karya ini bertema pertarungan perebutan kekuasaan di antara elite politik. Karya lain yang tak kalah menarik adalah Kerajaan Tikus, Beringin Tikus, dan Politik Kerbau. Selain itu, ada satu karya yang cukup menarik karena mencoba melukiskan pertarungan calon presiden seperti layaknya kontes calon bintang di salah satu televisi swasta karya Grace Tjondronimpuno.(TOZ/Aries Wicaksono dan Putu Setiawan)