Ratu Tatu Chasanah terpilih sebagai Ketua DPD Golkar Banten. Dia menggantikan mendiang suami Ratu Atut Chosiyah, Hikmat Tomet yang juga kakak iparnya. Terpilihnya Tatu sebagai Ketua DPD Golkar menuai kontroversi, karena politik dinasti masih menurun.
"Pertama, melukai upaya yang serius untuk menekan atau meminimalisasi praktik dinasti dalam politik," kata Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti dalam keterangan tertulisnya, Senin (30/12/2013).
Ray menilai, politik dinasti merupakan ancaman sekaligus musuh demokrasi. Pelembagaan dan pengekalan hal ini menjauhkan partai dari keseriusan untuk terlibat dalam napas reformasi.
Kedua, kata Ray, pengangkatan itu juga melukai semangat antikorupsi yang besar dalam tubuh partai. Terpilihnya Tatu telah mununjukkan tidak adanya sensitivitas oleh Partai Golkar.
"Bagaimanapun, setelah Atut dinyatakan tersangka kasus suap, maka sudah seharusnya ada upaya untuk meminimalisasi peran-peran yang bersangkutan dan keluarganya di ruang publik dan politik," ujarnya.
"Sebab, karena pola suap dan kemungkinan adanya dugaan korupsi terlihat dilakukan melalui kekuasaan yang dikontrol oleh dinasti ini, maka menarik kembali anggota keluarganya ke dalam arus utama partai sama dengan seperti menutup mata dari akibat buruk kekuasaan yang menggurita di bawah satu atap dinasti," ujar Direktur Lingkar Madani (Lima) Indonesia ini.
Menurut Ray, Golkar tidak memperlihatkan tajinya sebagai partai besar. Golkar terkesan lembek dan malah seperti tidak peduli pada warga Banten yang mendambakan adanya perubahan dan sekaligus adanya praktik pemerintahan yang bersih. "Dengan ini juga kita layak mempertanyakan kesungguhan Partai Golkar ini untuk ikut napas reformasi," ujar Ray. (Mvi)
Baca juga:
Akbar Tandjung: Saya Akan Cermati Kiprah Ratu Tatu
Adik Ratu Atut: Tak Ada Politik Dinasti di Banten
Dinasti Atut Belum Ambruk
"Pertama, melukai upaya yang serius untuk menekan atau meminimalisasi praktik dinasti dalam politik," kata Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti dalam keterangan tertulisnya, Senin (30/12/2013).
Ray menilai, politik dinasti merupakan ancaman sekaligus musuh demokrasi. Pelembagaan dan pengekalan hal ini menjauhkan partai dari keseriusan untuk terlibat dalam napas reformasi.
Kedua, kata Ray, pengangkatan itu juga melukai semangat antikorupsi yang besar dalam tubuh partai. Terpilihnya Tatu telah mununjukkan tidak adanya sensitivitas oleh Partai Golkar.
"Bagaimanapun, setelah Atut dinyatakan tersangka kasus suap, maka sudah seharusnya ada upaya untuk meminimalisasi peran-peran yang bersangkutan dan keluarganya di ruang publik dan politik," ujarnya.
"Sebab, karena pola suap dan kemungkinan adanya dugaan korupsi terlihat dilakukan melalui kekuasaan yang dikontrol oleh dinasti ini, maka menarik kembali anggota keluarganya ke dalam arus utama partai sama dengan seperti menutup mata dari akibat buruk kekuasaan yang menggurita di bawah satu atap dinasti," ujar Direktur Lingkar Madani (Lima) Indonesia ini.
Menurut Ray, Golkar tidak memperlihatkan tajinya sebagai partai besar. Golkar terkesan lembek dan malah seperti tidak peduli pada warga Banten yang mendambakan adanya perubahan dan sekaligus adanya praktik pemerintahan yang bersih. "Dengan ini juga kita layak mempertanyakan kesungguhan Partai Golkar ini untuk ikut napas reformasi," ujar Ray. (Mvi)
Baca juga:
Akbar Tandjung: Saya Akan Cermati Kiprah Ratu Tatu
Adik Ratu Atut: Tak Ada Politik Dinasti di Banten
Dinasti Atut Belum Ambruk