Sukses

Kiai NU Jatim Menolak Presiden Wanita

"Wanita <i>ndak</i> diperbolehkan memberikan wilayah kekuasaan. Kalau ndak boleh itu artinya haram," tutur K.H. Abdullah Faqih. Said Agil Siraj menilai, fatwa kiai itu tendensius dan tidak objektif.

Liputan6.com, Pasuruan: Sebanyak 24 kiai Nahdlatul Ulama se-Jawa Timur menggelar pertemuan di kediaman Kiai Haji Mas Subadar, pemimpin Pondok Pesantren Raudhatul Ulung, Kemesuk, Pasuruan, Jawa Timur, Kamis (3/6). Para kiai memutuskan menolak presiden wanita. Bukan hanya itu. Mereka juga menyatakan haram hukumnya bagi warga nahdlyin memilih calon presiden wanita pada Pemilihan Umum, 5 Juli mendatang. Seorang perempuan boleh dipilih menjadi pemimpin apabila negara dalam keadaan genting darurat, seperti kudeta. "Tapi dalam keadaan seperti sekarang ini, kita punya ikhtiar memilih di antara beberapa calon. Ini kita harus memilih yang laki," kata K.H. Abdullah Faqih dari Langitan, Tuban, Jatim, usai pertemuan.

Selain Kiai Faqih, forum itu juga dihadiri antara lain Rois Suriah Pengurus Wilayah NU Jatim Sholeh Khosim dan Kiai Haji Khatib Umar dari Sukuwono, Jember. Menurut Kiai Faqih, keputusan menolak presiden perempuan murni mengacu pada ajaran Islam, bukan pesanan pihak tertentu. "Wanita ndak diperbolehkan memberikan wilayah kekuasaan. Kalau ndak boleh itu artinya haram," tutur kiai khos ini [baca: Presiden Wanita Dibolehkan Karena Darurat].

Di tempat terpisah, calon wakil presiden Salahuddin Wahid mengaku siap menerima limpahan suara dari kubu Hasyim Muzadi menyusul keputusan tersebut. Namun, Gus Solah--sapaan Salahuddin Wahid--menegaskan, jika itu benar terjadi, pihaknya tidak akan memberikan konsekuensi politik apa pun kepada pihak Hasyim. Seperti diketahui, Hasyim adalah ketua umum PBNU--kini nonaktif-- yang berpasangan dengan Megawati Sukarnoputri.

Kesepakatan para kiai itu kian menunjukkan bahwa memang ada tarik-menarik pengaruh untuk meraup dukungan suara nahdlyin menjelang Pemilu Eksekutif, 5 Juli mendatang. Hal ini pun sempat terjadi ketika Pemilu 1999 [baca: Yusril: Presiden Perempuan Bukan Masalah]. Namun, penolakan terhadap presiden perempuan menjelang Pilpres kali ini dinilai sarat muatan politik. Apalagi, salah satu kader NU, Hasyim Muzadi saat ini menjadi pendamping Megawati dalam Pilpres.

Seperti diketahui, majunya Hasyim sebagai cawapres sempat menimbulkan masalah di kalangan warga NU. Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa Adurrahman Wahid tidak merestui pencalonan Hasyim. Bahkan, secara institusi, PKB malah mendukung pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid setelah Komisi Pemilihan Umum menggagalkan pencalonan Gus Dur--sapaan Abdurrahman Wahid. Karena itulah, muncul spekulasi bahwa kesepakatan para kiai NU Jatim itu sebagai bentuk penghadangan terhadap pasangan Megawati-Hasyim.

Spekulasi itu dibantah Kiai Haji Luthfi Abdulhadi, wakil sekretaris Dewan Syuro PKB Jatim. Menurut dia, keputusan itu bukan sebagai upaya untuk menghadang laju Hasyim yang berpasangan dengan Megawati. Tetapi, sebagai tindaklanjut dari sikap Dewan Pimpinan Pusat PKB yang mendukung pencalonan Salahuddin Wahid sebagai wapres. "Konsekuensi untuk memenangkan itu, DPW PKB memerlukan legitimasi dan dukungan penuh kiai NU di Jatim," jelas Luthfi.

Lain lagi dengan pandangan Kiai Haji Said Agil Siraj, salah satu anggota tim sukses Mega-Hasyim. Meski mengaku tidak kaget, Said berpendapat, fatwa para kiai itu sangat tendensius dan tidak objektif. Said mengakui memang sejak lama ada perbedaan pendapat mengenai pemimpin wanita. Tapi itu ketika dalam masa kerajaan, mengingat raja memegang otoritas mutlak. "Itu yang diperdebatkan perempuan boleh apa tidak. Kalau sekarang kan merupakan lembaga kepresidenan yang diimbangi dengan parlemen dan yudikatif," Said menjelaskan.

Lagipula, kata Said, Musyawarah Nasional Ulama NU di Nusatenggara Barat pada 1996 telah memutuskan bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin atau presiden. Saat itu, para kiai khos NU pun menyetujui. Selain itu, Said menambahkan, kini perempuan diperbolehkan oleh para kiai untuk kuliah di fakultas syariah yang nantinya akan menjadi hakim. "Dan sekarang di Departemen Agama pun sudah banyak hakim perempuan, itu sama saja," ungkap Said. Namun, ia membantah menolak kebijakan para kiai ini karena dirinya sekarang menjadi tim sukses Megawati-Hasyim. "Bukan karena Megawati, bukan," tegas dia.

Pernyataan Said soal keputusan Munas NTB dibantah Luthfi. Menurut dia, Munas Ulama NU di NTB tidak memutuskan masalah kepemimpinan wanita. Sedangkan menyoal qobi (hakim) memang diperbolehkan. Tapi, Luthfi memastikan, hukum Islam tidak memperbolehkan imam dari kalangan wanita. Namun, terlepas itu semua, Luthfi menyerahkan sepenuhnya kepada nahdlyin untuk memilih capres yang dianggap baik. "Perbedaan pendapat ini jangan sampai menimbulkan perpecahan dan harus tetap menjaga persatuan dan kesatuan," pesan dia.(DEN/Tim Liputan 6 SCTV)
    Video Terkini