Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menyesalkan terbitnya Perpres Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol yang ditandatangani Presiden SBY pada 6 Desember 2013 lalu.
Sekjen PPP M Romahurmuziy menjelaskan, partai pimpinan Menteri Agama Suryadharma Ali itu menentang Perpres tersebut lantaran memberikan kewenangan kepada masing-masing kepala daerah untuk menentukan tempat-tempat di mana minuman beralkohol boleh diperjualbelikan atau dikonsumsi.
"Ini sama dengan memberikan amunisi baru atas berbagai keonaran dan hilangnya nyawa anak bangsa atas penggunaan minuman beralkohol berlebihan," kata Romi sapaan akrab Romahurmuziy dalam pesan singkatnya kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat (10/1/2014).
Romi menjelaskan, Perpres yang ditandatangani SBY tersebut sangat tidak tepat dalam menekan peredaran miras selama ini. Lantaran, bahaya miras sudah terlihat dengan banyaknya korban yang berjatuhan akibat efek miras.
"Sudah nyata korban berjatuhan, baik karena minuman beralkohol oplosan ataupun overdosis, kenapa perpres ini kembali dihidupkan. Keppres pengaturan soal ini kan sudah berhasil dibatalkan keberlakuannya oleh MA, seharusnya ini menjadi yurisprudensi atas batal demi hukumnya Perpres 73 ini," imbuhnya.
Karena itu, PPP memastikan, RUU Anti-Miras yang merupakan usul inisiatif Fraksi PPP DPR akan segera disahkan pada masa sidang III tahun 2014 sebelum akhir Maret ini. Sehingga melalui UU Anti-Miras tersebut, peredaran miras di Indonesia bisa dihentikan dan ada sanksi jelas bagi penjual maupun pengguna.
"RUU Anti-Miras ini untuk menghapuskan minuman beralkohol dari seluruh retailer dan jalanan di Indonesia, dan meletakkan Perpres Miras ini batal demi hukum," tegas Romi.
Perpres Miras
Presiden SBY menandatangani peraturan presiden (perpres) baru tentang pengendalian minuman beralkohol (mihol). Peraturan tersebut untuk mengganti keputusan presiden (keppres) sebelumnya yang dibatalkan Mahkamah Agung (MA) pada Juni 2013.
Regulasi baru tersebut dicantumkan dalam Perpres Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol yang ditandatangani SBY pada 6 Desember 2013. Melalui peraturan itu, pemerintah kembali mengategorikan minuman beralkohol sebagai barang dalam pengawasan.
"Pengawasan sebagaimana dimaksud meliputi pengawasan terhadap pengadaan minuman beralkohol yang berasal dari produksi dalam negeri atau asal impor serta peredaran dan penjualannya," bunyi Pasal 3 Ayat 3 Perpres 74/2013, seperti dikutip laman resmi Sekretariat Kabinet.
Dalam perpres tersebut, mihol dikelompokkan dalam tiga golongan. Pertama, mihol golongan A adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanil (C2H5OH) dengan kadar sampai dengan 5 persen.
Kedua, mihol golongan B adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol dengan kadar lebih dari 5 sampai 20 persen. Ketiga, mihol golongan C, yaitu minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol dengan kadar lebih dari 20-55 persen.
Pasal 7 perpres ini menegaskan, minuman beralkohol golongan A, B, dan C hanya dapat dijual di sejumlah tempat. Di antaranya, hotel, bar, dan restoran yang memenuhi persyaratan. Selain itu, mihol juga bisa diperjualbelikan di toko bebas bea.
Hal yang baru dari perpres pengendalian mihol adalah pemberian kewenangan pada bupati dan wali kota di daerah-daerah, serta gubernur di DKI Jakarta untuk menentukan tempat-tempat di mana mihol boleh diperjualbelikan atau dikonsumsi. Syaratnya, mesti tidak berdekatan dengan tempat peribadatan, sekolah, dan rumah sakit.
Di luar tempat-tempat tersebut, minuman beralkohol golongan A juga dapat dijual di toko pengecer dalam bentuk kemasan. Perpres juga memberikan wewenang kepada bupati/wali kota dan gubernur untuk DKI Jakarta menetapkan pembatasan peredaran minuman beralkohol dengan mempertimbangkan karakteristik daerah dan budaya lokal.
Munculnya Perpres 74/2013 tak lepas dari benturan antara sejumlah peraturan daerah (perda) yang melarang total peredaran mihol dan Keppres Nomor 3 Tahun 1997 yang hanya mengatur pembatasan. Polemik yang mencuat pada 2012 itu membuat Kemendagri mengevaluasi perda-perda miras di sejumlah daerah.
Evaluasi yang dilihat sebagai pencabutan perda tersebut menimbulkan gejolak hingga akhirnya Front Pembela Islam (FPI) menggugat Keppres 3/1997 ke MA. MA mengabulkan gugatan tersebut pada Juni tahun lalu dan membatalkan Keppres 3/1997. (Adm/Mut)
Sekjen PPP M Romahurmuziy menjelaskan, partai pimpinan Menteri Agama Suryadharma Ali itu menentang Perpres tersebut lantaran memberikan kewenangan kepada masing-masing kepala daerah untuk menentukan tempat-tempat di mana minuman beralkohol boleh diperjualbelikan atau dikonsumsi.
"Ini sama dengan memberikan amunisi baru atas berbagai keonaran dan hilangnya nyawa anak bangsa atas penggunaan minuman beralkohol berlebihan," kata Romi sapaan akrab Romahurmuziy dalam pesan singkatnya kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat (10/1/2014).
Romi menjelaskan, Perpres yang ditandatangani SBY tersebut sangat tidak tepat dalam menekan peredaran miras selama ini. Lantaran, bahaya miras sudah terlihat dengan banyaknya korban yang berjatuhan akibat efek miras.
"Sudah nyata korban berjatuhan, baik karena minuman beralkohol oplosan ataupun overdosis, kenapa perpres ini kembali dihidupkan. Keppres pengaturan soal ini kan sudah berhasil dibatalkan keberlakuannya oleh MA, seharusnya ini menjadi yurisprudensi atas batal demi hukumnya Perpres 73 ini," imbuhnya.
Karena itu, PPP memastikan, RUU Anti-Miras yang merupakan usul inisiatif Fraksi PPP DPR akan segera disahkan pada masa sidang III tahun 2014 sebelum akhir Maret ini. Sehingga melalui UU Anti-Miras tersebut, peredaran miras di Indonesia bisa dihentikan dan ada sanksi jelas bagi penjual maupun pengguna.
"RUU Anti-Miras ini untuk menghapuskan minuman beralkohol dari seluruh retailer dan jalanan di Indonesia, dan meletakkan Perpres Miras ini batal demi hukum," tegas Romi.
Perpres Miras
Presiden SBY menandatangani peraturan presiden (perpres) baru tentang pengendalian minuman beralkohol (mihol). Peraturan tersebut untuk mengganti keputusan presiden (keppres) sebelumnya yang dibatalkan Mahkamah Agung (MA) pada Juni 2013.
Regulasi baru tersebut dicantumkan dalam Perpres Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol yang ditandatangani SBY pada 6 Desember 2013. Melalui peraturan itu, pemerintah kembali mengategorikan minuman beralkohol sebagai barang dalam pengawasan.
"Pengawasan sebagaimana dimaksud meliputi pengawasan terhadap pengadaan minuman beralkohol yang berasal dari produksi dalam negeri atau asal impor serta peredaran dan penjualannya," bunyi Pasal 3 Ayat 3 Perpres 74/2013, seperti dikutip laman resmi Sekretariat Kabinet.
Dalam perpres tersebut, mihol dikelompokkan dalam tiga golongan. Pertama, mihol golongan A adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanil (C2H5OH) dengan kadar sampai dengan 5 persen.
Kedua, mihol golongan B adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol dengan kadar lebih dari 5 sampai 20 persen. Ketiga, mihol golongan C, yaitu minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol dengan kadar lebih dari 20-55 persen.
Pasal 7 perpres ini menegaskan, minuman beralkohol golongan A, B, dan C hanya dapat dijual di sejumlah tempat. Di antaranya, hotel, bar, dan restoran yang memenuhi persyaratan. Selain itu, mihol juga bisa diperjualbelikan di toko bebas bea.
Hal yang baru dari perpres pengendalian mihol adalah pemberian kewenangan pada bupati dan wali kota di daerah-daerah, serta gubernur di DKI Jakarta untuk menentukan tempat-tempat di mana mihol boleh diperjualbelikan atau dikonsumsi. Syaratnya, mesti tidak berdekatan dengan tempat peribadatan, sekolah, dan rumah sakit.
Di luar tempat-tempat tersebut, minuman beralkohol golongan A juga dapat dijual di toko pengecer dalam bentuk kemasan. Perpres juga memberikan wewenang kepada bupati/wali kota dan gubernur untuk DKI Jakarta menetapkan pembatasan peredaran minuman beralkohol dengan mempertimbangkan karakteristik daerah dan budaya lokal.
Munculnya Perpres 74/2013 tak lepas dari benturan antara sejumlah peraturan daerah (perda) yang melarang total peredaran mihol dan Keppres Nomor 3 Tahun 1997 yang hanya mengatur pembatasan. Polemik yang mencuat pada 2012 itu membuat Kemendagri mengevaluasi perda-perda miras di sejumlah daerah.
Evaluasi yang dilihat sebagai pencabutan perda tersebut menimbulkan gejolak hingga akhirnya Front Pembela Islam (FPI) menggugat Keppres 3/1997 ke MA. MA mengabulkan gugatan tersebut pada Juni tahun lalu dan membatalkan Keppres 3/1997. (Adm/Mut)