Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla alias JK menjadi saksi meringankan mantan Sekjen Kemenlu Sudjadnan Parnohadiningrat, dalam kasus dugaan korupsi penyelenggaraan seminar di Kementerian itu pada periode 2004-2004. JK akui, tidak semua biaya konferensi yang digelar pada periode itu diverifikasi dengan cermat. Alasannya, kondisi darurat.
"Sekali lagi saya katakan ini keadaan darurat saat itu. Konferensi saja 8 hari, tidak mungkin pejabat apapun bisa memverifikasi semua biaya," tutur JK usai diperiksa sebagai saksi dugaan korupsi penggunaan anggaran di Sekretariat Jenderal Kementerian Luar Negeri Komisi di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Selasa (21/1/2014).
JK diperiksa untuk mantan Sekjen Kemenlu Sudjadnan Parnohadiningrat, yang telah ditetapkan sebagai tersangka pada 21 November 2011 dan sudah ditahan KPK sejak Kamis 14 November 2013.
Menurut dia, konferensi-konferensi yang dilakukan saat itu diadakan berdasarkan keputusan pemerintah setelah peristiwa bom Bali. Konferensi dilakukan agar Bali kembali menjadi perhatian internasional. Pesan lain untuk menyampaikan bahwa Bali itu tetap aman. "Jadi itu gunanya," tambah JK.
Selain itu, tambah JK, konferensi Tsunami Summit pada waktu itu dilakukan agar Aceh yang dihantam tsunami pada 26 Desember 2004 bisa segera mendapat bantuan internasional. "Karena itu persiapannya kan 8 hari. Jadi tidak mungkin semua biaya itu diverifikasi dengan baik," ujar dia.
JK menambahkan, meski dilakukan dalam kondisi darurat, mestinya kegiatan itu ada laporan keuangannya. "Ya mustinya ada. Kita tidak tahulah itu. Mustinya ada. Kan ada aturan pemerintah tentang itu," tutur JK.
Meski demikian JK mengakui bahwa kegiatan-kegiatan itu tidak dituangkan dalam bentuk surat. Sebab, kegiatan serupa telah dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, saat JK masih menjabat sebagai Menko Kesra.
"Itu kebijakan pemerintah pada waktu itu untuk meningkatkan suasana keamanan di Bali dan persepsi internasional bahwa Bali itu aman. Makanya kita banyak konferensi internasional dibuat di Bali dan diminta dalam sidang kabinet itu agar konferensi dilakukan di Bali. Semua dipindahkan ke Bali, dalam negeri maupun luar negeri," papar mantan Ketua Umum Golkar itu.
Dia menambahkan, acara-acara konferensi seperti itu tidak memerlukan proses tender. Sebab, dalam aturan memang tidak menyebut harus dilakukan tender. "Pertama acara begitu tak perlu tender. Karena pertama keadaanya darurat. Kedua, pada Kepres nomor 80 kalau seminar, lokakarya, itu sama dengan konferensi pula, itu tak perlu tender," kata Ketua Umum PMI itu.
Lantas, apakah dalam kasus ini tidak ada unsur korupsi? "Yang mana korupsi. Silakan diperiksa. Saya tidak bisa memeriksa itu," ujar JK.
Sudjadnan mengatakan apa yang dilakukan sudah diketahui SBY dan JK selaku Presiden dan Wakil Presiden. Sudjadnan juga membantah ada aliran dana yang diterimanya terkait penyelenggaraan seminar atau konferensi internasional 2004-2005 yang belakangan diketahui merugikan negara hingga sebesar Rp 18 miliar. (Eks/Ism)
Baca juga:
KPK Periksa JK sebagai Saksi Kasus Korupsi di Deplu
"Sekali lagi saya katakan ini keadaan darurat saat itu. Konferensi saja 8 hari, tidak mungkin pejabat apapun bisa memverifikasi semua biaya," tutur JK usai diperiksa sebagai saksi dugaan korupsi penggunaan anggaran di Sekretariat Jenderal Kementerian Luar Negeri Komisi di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Selasa (21/1/2014).
JK diperiksa untuk mantan Sekjen Kemenlu Sudjadnan Parnohadiningrat, yang telah ditetapkan sebagai tersangka pada 21 November 2011 dan sudah ditahan KPK sejak Kamis 14 November 2013.
Menurut dia, konferensi-konferensi yang dilakukan saat itu diadakan berdasarkan keputusan pemerintah setelah peristiwa bom Bali. Konferensi dilakukan agar Bali kembali menjadi perhatian internasional. Pesan lain untuk menyampaikan bahwa Bali itu tetap aman. "Jadi itu gunanya," tambah JK.
Selain itu, tambah JK, konferensi Tsunami Summit pada waktu itu dilakukan agar Aceh yang dihantam tsunami pada 26 Desember 2004 bisa segera mendapat bantuan internasional. "Karena itu persiapannya kan 8 hari. Jadi tidak mungkin semua biaya itu diverifikasi dengan baik," ujar dia.
JK menambahkan, meski dilakukan dalam kondisi darurat, mestinya kegiatan itu ada laporan keuangannya. "Ya mustinya ada. Kita tidak tahulah itu. Mustinya ada. Kan ada aturan pemerintah tentang itu," tutur JK.
Meski demikian JK mengakui bahwa kegiatan-kegiatan itu tidak dituangkan dalam bentuk surat. Sebab, kegiatan serupa telah dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, saat JK masih menjabat sebagai Menko Kesra.
"Itu kebijakan pemerintah pada waktu itu untuk meningkatkan suasana keamanan di Bali dan persepsi internasional bahwa Bali itu aman. Makanya kita banyak konferensi internasional dibuat di Bali dan diminta dalam sidang kabinet itu agar konferensi dilakukan di Bali. Semua dipindahkan ke Bali, dalam negeri maupun luar negeri," papar mantan Ketua Umum Golkar itu.
Dia menambahkan, acara-acara konferensi seperti itu tidak memerlukan proses tender. Sebab, dalam aturan memang tidak menyebut harus dilakukan tender. "Pertama acara begitu tak perlu tender. Karena pertama keadaanya darurat. Kedua, pada Kepres nomor 80 kalau seminar, lokakarya, itu sama dengan konferensi pula, itu tak perlu tender," kata Ketua Umum PMI itu.
Lantas, apakah dalam kasus ini tidak ada unsur korupsi? "Yang mana korupsi. Silakan diperiksa. Saya tidak bisa memeriksa itu," ujar JK.
Sudjadnan mengatakan apa yang dilakukan sudah diketahui SBY dan JK selaku Presiden dan Wakil Presiden. Sudjadnan juga membantah ada aliran dana yang diterimanya terkait penyelenggaraan seminar atau konferensi internasional 2004-2005 yang belakangan diketahui merugikan negara hingga sebesar Rp 18 miliar. (Eks/Ism)
Baca juga:
KPK Periksa JK sebagai Saksi Kasus Korupsi di Deplu