Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 bakal digelar secara berbeda. Yakni Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) akan dilaksanakan serentak. Berbeda dengan Pemilu 2014 yang dilakukan terpisah. Pileg pada 9 April 2014 dan Pilpres pada 9 Juli 2014.
"Pelaksanaan pemilu serentak pada 2019 dan Pemilu seterusnya," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva saat membacakan amar putusannya di gedung MK, Jakarta, Kamis 23 Januari 2014. [Baca juga:Â `Butuh` 3 Ketua MK untuk Putuskan Pemilu Serentak 2019]
Keputusan itu merupakan tindak lanjut dari permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) yang diajukan Koalisi Masyarakat Sipil, yang meminta pemilu serentak.
Dalam gugatannya, koalisi meminta agar pileg mulai dari DPRD, DPD, DPR, dan pilpres harus dilakukan secara serentak. Sehingga pemilu yang selama ini dilakukan 2 kali pencoblosan disatukan menjadi 1 kali pencoblosan.
MK punya sejumlah alasan untuk membuat keputusan itu. Pelaksanaan Pilpres setelah Pileg dinilai tidak mampu menjadi alat transformasi perubahan sosial ke arah yang dikehendaki.
"Hasil dari pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tidak juga memperkuat sistem presidensial yang hendak dibangun berdasarkan konstitusi," kata Hakim Ahmad Fadlil Sumadi saat membaca putusan di Gedung MK.
Menurut MK, pelaksanaan pemilihan yang tidak serentak membuat pengawasan maupun checks and balances antara DPR dan Presiden tidak berjalan dengan baik. Sebab pasangan calon presiden dan wakil presiden kerap menciptakan koalisi taktis yang bersifat sesaat dengan partai-partai politik.
"Sehingga tidak melahirkan koalisi jangka panjang yang dapat melahirkan penyederhanaan partai politik secara alamiah. Dalam praktiknya, model koalisi yang dibangun antara partai politik dan/atau dengan pasangan calon presiden/wakil presiden justru tidak memperkuat sistem pemerintahan presidensial," tutur Fadlil.
Pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh gabungan partai politik tidak lantas membentuk koalisi permanen dari partai politik atau gabungan partai politik yang kemudian menyederhanakan sistem kepartaian. Karena itu, proses demikian tidak memberi penguatan atas sistem pemerintahan yang dikehendaki oleh konstitusi.
"Oleh karena itu, norma pelaksanaan Pilpres yang dilakukan setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan telah nyata tidak sesuai dengan semangat yang dikandung oleh UUD 1945 dan tidak sesuai dengan makna pemilihan umum yang dimaksud oleh UUD 1945, khususnya dalam Pasal 22 E ayat 1 UUD 1945," jelas Fadlil.
Lalu kenapa baru dimulai pada Pemiu 2019, bukan 2014? Fadlil menerangkan, hal itu karena persiapan Pemilu 2014 sudah berjalan dan sudah mendekati pelaksanaan. Sehingga jika Pemilu 2014 dipaksa dilaksanakan serentak, maka dikhawatirkan akan kacau.
"Hal demikian dapat menyebabkan pelaksanaan pemilihan umum pada tahun 2014 mengalami kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang justru tidak dikehendaki karena bertentangan dengan UUD 1945," kata Fadlil.
Selain itu, dengan dengan diputuskannya pelaksanaan pemilu serentak, maka diperlukan payung hukum atau baru. Dan sudah barang tentu perlu waktu untuk menyusun aturan itu. Mahkamah berpandangan tidak akan cukup waktu guna menyusun aturan baru itu agar Pemilu 2014 bisa dilaksanakan serentak.
"Jika aturan baru tersebut dipaksakan untuk dibuat dan diselesaikan demi menyelenggarakan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara serentak pada tahun 2014, maka menurut penalaran yang wajar, jangka waktu yang tersisa tidak memungkinkan atau sekurang-kurangnya tidak cukup memadai untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik dan komprehensif," lanjut Fadlil.
Untung
Anggota Komisi III DPR Trimedya Panjaitan mengatakan beberapa keuntungan jika pemilu dilakukan serentak. Pertama, pemilu serentak perlu dilakukan untuk mengefisiensikan sejumlah hal. Baik dari sisi anggaran maupun waktu. "Spiritnya kan mereka berpikir bahwa untuk efisiensi, maka pileg dan pilpres disatukan," ujar Trimedya di Gedung MK, Jakarta, 23 Januari.
Selain efisiensi, lanjut Trimedya, ada keuntungan lain dari pemilu serentak seperti yang diungkapkan Pakar Psikologi Politik Universitas Indonesia, Hamdi Muluk. Dengan sistem penyelenggaran pemilu yang sekarang, presiden selalu 'tersandera' dengan koalisi yang dibangun dalam dukungan saat pencalonannya.
Karena itu, lanjut Trimedya, dengan pemilu serentak maka sisi presidensial akan diperkuat. Sehingga 'penyanderaan' presiden terhadap koalisi tak lagi terjadi. "Sistem presidensial itu harus diperkuat. Dan selama ini presiden selalu 'tersandera' koalisi," ujarnya.
Pengamat politik Ray Rangkuti juga melihat ada banyak keuntungan jika pelaksanaan pemilu serentak. Keuntungan utama adalah efesiensi dana pelaksanaan pemilu, menjaga psikologi pemilih, hingga meminimalisasir kemungkinan konflik sosial akibat ketegangan politik berkepanjangan. "Ini implikasi langsung dari pelaksanaan pemilu serentak," ujar Ray.
Selain itu, lanjut Ray, ada implikasi lain yang tak kalah pentingnya, yakni adanya perubahan kultur demokrasi yang terbangun. Setidaknya, kultur koalisi parpol yang selama ini didasarkan terhadap alasan prgamatis dan temporal. Dengan pemilu serentak, perlahan koalisi akan menuju ke arah koalisi parmanen. "Dengan begitu, koalisinya akan lebih solid, terarah, dan tentu sedikit banyak didasarkan pada pertemuan isu dan kepentingan substansial," ujar Ray.
Pengamat politik lainnya, Fadjroel Rahman juga mengamini adanya keuntungan pemilu serentak terhadap koalisi yang sementara ini. Apalagi, selama 2 periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), koalisi partai politik harus berdasarkan jumlah kursi di DPR dan berdasarkan kepentingan tertentu. Dengan pemilu serentak, pola pikir dalam demokrasi Indonesia akan berubah.
"Orang jadi tidak lagi melihat koalisi harus berdasarkan jumlah kursi atau jumlah uang yang dimiliki. Tapi mengembalikan demokrasi pada nilai-nilai yang substantif, yaitu visi nilai dan program," katanya.
MK sendiri dalam pertimbangan putusan juga menyatakan, penyelenggaraan pemilu secara serentak memiliki keuntungan, salah satunya terkait efisiensi anggaran. Sehingga pembiayaan penyelenggaraan lebih menghemat uang negara yang berasal dari pembayar pajak serta hasil eksploitasi sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya.
Dengan efisiensi itu, tentu akan meningkatkan kemampuan negara mencapai tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 yang antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
"Selain itu, juga akan mengurangi pemborosan waktu dan mengurangi konflik atau gesekan horizontal di masyarakat," ujar hakim konstitusi, Ahmad Fadlil Sumadi saat membacakan pertimbangan putusan.
Menguatkan Sistem Presidensial
Lebih jauh MK juga menimbang, berdasarkan penyelenggaraan pilpres 2004 dan 2009 yang dilakukan setelah pileg, ditemukan fakta politik. Fakta tersebut adalah presiden terpaksa harus melakukan negosiasi dan tawar-menawar politik terlebih dahulu dengan parpol, sebagai bagian dari konsekuensi logis dukungan demi terpilihannya sebagai presiden dan dukungan DPR dalam penyelenggaraan pemerintahan. "Hal itu tentu berakibat akan sangat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan di kemudian hari," ujar Fadlil.
Belum lagi negosiasi dan tawar-menawar tersebut pada kenyataannya lebih banyak bersifat taktis dan sesaat ketimbang bersifat strategis dan jangka panjang. Maka itu, presiden faktanya menjadi sangat tergantung parpol yang menurut MK dapat mereduksi posisi presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem pemerintahan presidensial.
Dengan demikian, penyelenggaraan pemilu serentak juga dapat menghindarkan terjadinya negosiasi atau tawar-menawar politik yang bersifat taktis demi kepentingan sesaat tersebut. Sehingga, di masa mendatang dapat tercipta negosiasi dan koalisi strategis partai politik untuk kepentingan jangka panjang.
RUGI
Ada dampak buruk apabila pemilu dilakukan secara serentak.Ketua Komisi III DPR dari Partai Golkar, Aziz Syamsuddin menilai pemilu serentak bisa berdampak pada peningkatan golongan putih (golput) atau banyaknya pemilih yang tidak memberikan hak suara.
"MK harus mempertimbangkan dengan matang, seperti persiapan KPU, TPS, KPPK (penyelenggara pemilu). Juga akan berdampak banyaknya golput dan MK harus arif dalam memutuskanya," kata Wakil Ketua Komisi III DPR dari Partai Golkar, Aziz Syamsuddin di gedung DPR, Jakarta, Kamis (23/1/2014).
Dia menengarai, ada sesuatu di balik putusan MK hari ini. Sebab permohonan tersebut sudah lama diajukan. "Mungkin ada persyaratan tak dipenuhi, mungkin ada legal standing yang tak kuat," ujar Aziz.
Lebih lanjut, Hakim Konstitusi Maria Farida memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion atas putusan pemilu serentak.
"Saya berpendapat, permohonan Pemohon haruslah ditolak untuk seluruhnya," kata Hakim Maria Farida dalam dissenting opinion yang dibacakan Ketua MK Hamdan Zoelva di gedung MK, Jakarta Pusat.
Menurut Maria, tepat hampir 5 tahun yang lalu, Mahkamah pernah memutus permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008. Dalam Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, bertanggal 18 Februari 2008, Mahkamah telah menyatakan, "...kedudukan Pasal 3 ayat 5 UU 42/2008 adalah konstitusional."
Putusan demikian dihasilkan meski telah diketahui bahwa original intent Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 menentukan agar pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah "bersama-sama atau serentak." Mahkamah kala itu menyadari, metode penafsiran original intent bukanlah segala-galanya.
Menurut Maria, original intent merupakan gagasan awal yang mengedepankan atau mencerminkan politik hukum para pembentuk peraturan (dalam hal ini Perubahan UUD 1945). Akan tetapi gagasan awal itu seringkali berubah total setelah dirumuskan dalam normanya. "Sehingga menurut saya original intent tidak selalu tepat digunakan dalam penafsiran norma Undang- Undang terhadap UUD 1945," tulis pendapat Maria.
Maria menilai, bila pembentuk Undang-Undang menginginkan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan atau Pilpres dilaksanakan serentak, maka presidential threshold tetap dapat diterapkan. Sebaliknya threshold juga dapat dihilangkan bila Presiden dan DPR sebagai lembaga politik representasi kedaulatan rakyat menghendakinya.
"Saya konsisten dengan pendapat Mahkamah dalam Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, bertanggal 18 Februari 2009," jelasnya lagi.
Bagi Maria, terlepas dari kemungkinan timbulnya berbagai kesulitan yang akan dihadapi dalam penyelenggaraan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan dan Pilpres secara terpisah seperti yang dilaksanakan saat ini atau yang dilaksanakan secara bersamaan (serentak) seperti yang dimohonkan Pemohon, hal itu bukanlah masalah konstitusionalitas norma.
Tetapi merupakan pilihan kebijakan hukum pembentuk Undang-Undang. "Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, saya berpendapat, permohonan Pemohon haruslah ditolak untuk seluruhnya."
Jadi untung atau rugi?
(Riz/Mut)
Baca juga:
Uji Materi Pemilu Serentak Diterima, Penundaan Tetap Disoal
UU Pemilu Serentak Diterima MK, Koalisi: Idealnya Pemilu 2014
Golkar: Pemilu Serentak 2019 Sudah Tepat
Advertisement