Sukses

Kanal Banjir Timur Selesai, Kenapa Jakarta Tetap Banjir?

Kanal Banjir Timur direncanakan menampung 5 aliran sungai yang sering menimbulkan banjir. Membentang sejauh 23,5 kilometer di Jakarta Timur

Disebut pertama kali di Master Plan Pengendalian Banjir 1973, Kanal Banjir Timur baru mulai dibangun pada Juli 2003. Biaya yang terlampau besar jadi kendala.

Proyek ini diperkirakan menyedot biaya hampir Rp 5 triliun. Duitnya patungan: pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta. Kanal Banjir Timur dimaksudkan sebagai pelengkap dari Kanal Banjir Barat yang sudah ada sejak 1922.

Penggalian pertama dilakukan 22 Juni 2002 bertepatan dengan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-475 Kota Jakarta. Presiden Megawati Soekarnoputri mencanangkan pembangunan Kanal Banjir Timur melalui percakapan jarak jauh saat pencanangan 30 proyek infrastruktur yang dipusatkan di Jepara, Jawa Tengah.

Persoalannya, alokasi anggaran hanya dijatahkan Rp 60 miliar tiap tahun. Kalau ini yang terjadi, "Sampai lebaran kucing, BKT baru selesai," kata Kepala Balai Besar Wilayah Ciliwung-Cisadane, Pitoyo Subandrio, seperti dikutip Adhi Kusumaputra dalam buku Banjir Kanal Timur: Karya Anak Bangsa.

Banjir besar pada 2007 yang menenggelamkan lebih setengah wilayah Jakarta membuat pemerintah berubah lebih gesit. Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta Menteri Keuangan menyediakan anggaran pembangunan Kanal Banjir Timur.
2 dari 3 halaman



Proyek Kanal Banjir Timur yang didanai APBN ini dimulai pada Desember 2007, dilaksanakan dengan tipe kontrak unit price dan harus selesai pada pertengahan 2010.

Kanal Banjir Timur direncanakan menampung 5 aliran sungai yang sering menimbulkan banjir, yakni Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung. Sedangkan penggalian saluran akan melintasi 13 kelurahan di 4 kecamatan dengan daerah tangkapan air seluas 20.125 hektar.

Proyek ini membentang sejauh 23,5 kilometer di Jakarta Timur dan Jakarta Utara. Mulai dari Cipinang dan bermuara di Marunda. Kawasan yang terlindungi sekitar 15.400 hektar.

Selain berfungsi mengurangi ancaman banjir di 13 kawasan, melindungi permukiman, kawasan industri, dan pergudangan di Jakarta bagian timur, Kanal Banjir Timur juga dimaksudkan sebagai prasarana konservasi air untuk pengisian kembali air tanah dan sumber air baku, prasarana transportasi air, serta lokasi wisata.

Untuk pembuatan BKT, perlu pembebasan lahan seluas 405,28 hektar yang terdiri dari 147,9 hektar di Jakarta Utara dan 257,3 hektar di Jakarta Timur. Pembebasan lahan juga menjadi kendala. Terutama, terkait patokan harga yang berbeda antara warga pemilik tanah dengan pemerintah.

Toh, dua kanal kelar dibangun, banjir tetap menerjang Jakarta. Pemprov DKI Jakarta menyatakan, Kanal Banjir Timur memang tak bisa menghapus banjir sepenuhnya. Tapi, banjir di Jakarta telah berkurang sekitar 30% dengan keberadaan Kanal Banjir Timur.
3 dari 3 halaman



Sejarawan Restu Gunawan menyatakan, "Sistem kanal tidak berhasil karena topografi Jakarta yang datar sehingga air tidak bisa mengalir secara gravitasi. Sedimentasi lumpur dan sampah juga menyebabkan aliran air tidak lancar. Pengendalian banjir dengan pembangunan kanal atau saluran hanya mampu mengurangi beban banjir sesaat."

Namun, tulis Restu di Gagalnya Sistem Kanal: Sejarah Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa, bila ada energi baru, yaitu hujan yang lebih tinggi dengan periode ulang lebih lama, maka bahaya dan kerugian akan lebih besar karena kapasitas tampung air akan terlewati. Sementara, daerah sekitar sudah berubah menjadi kawasan permukiman atau peruntukan lain.

Dalam kaitan dengan sistem polder, lanjut Restu, daerah-daerah yang ditetapkan sebagai daerah polder ternyata sudah dipenuhi permukiman penduduk. Karena itu, ketika terjadi banjir, air tidak bisa mengalir ke daerah polder.

Selain itu, waduk-waduk dengan pembuangan sistem pompa sering mengalami gangguan akibat sampah yang menumpuk di pintu-pintu air.

Maka, lanjut Restu, harus lebih konseptual dengan mengatasi akar penyebabnya: menurunnya inflitrasi air ke dalam tanah yang menyebabkan meningkatnya aliran permukaan. Hal ini dipicu penggunaan lahan yang tidak sesuai kemampuan lahan.

Tentu, pekerjaan tersebut tak kalah berat dibandingkan membangun kanal banjir. (Yus/Ein)