DPR menggelar uji kelayakan dan kepatutan calon Hakim Agung (CHA) yang diusulkan Komisi Yudisial (KY). Berbeda dengan sebelumnya, sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), DPR kini hanya bisa menyetujui atau menolak CHA.
"Ini kan menyetujui atau menerima. Mekanismenya seperti di Komisi I, seperti milih Dubes. Harus lewat seperti fit and proper test. Kita nggak seleksi lagi, seleksi itu urusan KY. DPR tinggal setuju atau tolak, dan bisa saja menolak semua," ungkap anggota Komisi III Eva Kusuma Sundari di gedung DPR, Jakarta, Kamis (30/1/2014).
Eva pun menjelaskan perbedaan uji kelayakan dan kepatutan CHA di DPR sebelum dan sesudah keputusan MK. "Kalau dulu ada 3 calon, kita pilih 1. Kalau sekarang dari 3 calon itu kita diminta persetujuan, tapi bisa ya atau nolak, dan bisa ditolak semua," jelas Eva.
Anggota Komisi III DPR lainnya, Nasir Djamil menilai, dengan keputusan MK maka tugas berat menanti KY. Sebab, bila CHA yang diusulkan mendapat penolakan, KY harus mencari calon dari awal lagi.
"Makanya ini bisa disetujui dan tidak disetujui, kalau tidak disetujui KY dari awal lagi. Ini bahaya juga kalau KY jenuh," imbuh Nasir. Adapun 3 CHA yang akan diuji adalah Maria Anna Samiyati, Suhardjono, dan Sunarto.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Mahkamah Agung dan Undang-Undang KY. Dengan dikabulkannya uji materi terhadap 2 UU tersebut, DPR hanya bisa menyetujui calon Hakim Agung, bukan memilih.
"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," seperti tertulis dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (9/1/2014).
Mekanisme pengangkatan hakim agung menurut Pasal 24A ayat 3 UUD 1945 ditetapkan oleh Presiden setelah menerima calon hakim agung yang disetujui oleh DPR. Dalam hal ini, DPR dalam kapasitasnya sebagai representasi rakyat hanya memberikan persetujuan atas calon hakim agung yang diajukan oleh KY. Namun pengangkatan hakim agung yang demikian, telah diatur secara menyimpang dalam UU MA dan UU KY.
Keterlibatan DPR dalam pengangkatan hakim agung memang diatur dalam UUD 1945, akan tetapi keterlibatan DPR tersebut hanya dalam bentuk memberikan persetujuan terhadap calon hakim agung yang diajukan oleh KY sebelum ditetapkan oleh Presiden sebagai hakim agung, bukan dalam bentuk memilih calon hakim. (Mut/Ism)
"Ini kan menyetujui atau menerima. Mekanismenya seperti di Komisi I, seperti milih Dubes. Harus lewat seperti fit and proper test. Kita nggak seleksi lagi, seleksi itu urusan KY. DPR tinggal setuju atau tolak, dan bisa saja menolak semua," ungkap anggota Komisi III Eva Kusuma Sundari di gedung DPR, Jakarta, Kamis (30/1/2014).
Eva pun menjelaskan perbedaan uji kelayakan dan kepatutan CHA di DPR sebelum dan sesudah keputusan MK. "Kalau dulu ada 3 calon, kita pilih 1. Kalau sekarang dari 3 calon itu kita diminta persetujuan, tapi bisa ya atau nolak, dan bisa ditolak semua," jelas Eva.
Anggota Komisi III DPR lainnya, Nasir Djamil menilai, dengan keputusan MK maka tugas berat menanti KY. Sebab, bila CHA yang diusulkan mendapat penolakan, KY harus mencari calon dari awal lagi.
"Makanya ini bisa disetujui dan tidak disetujui, kalau tidak disetujui KY dari awal lagi. Ini bahaya juga kalau KY jenuh," imbuh Nasir. Adapun 3 CHA yang akan diuji adalah Maria Anna Samiyati, Suhardjono, dan Sunarto.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Mahkamah Agung dan Undang-Undang KY. Dengan dikabulkannya uji materi terhadap 2 UU tersebut, DPR hanya bisa menyetujui calon Hakim Agung, bukan memilih.
"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," seperti tertulis dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (9/1/2014).
Mekanisme pengangkatan hakim agung menurut Pasal 24A ayat 3 UUD 1945 ditetapkan oleh Presiden setelah menerima calon hakim agung yang disetujui oleh DPR. Dalam hal ini, DPR dalam kapasitasnya sebagai representasi rakyat hanya memberikan persetujuan atas calon hakim agung yang diajukan oleh KY. Namun pengangkatan hakim agung yang demikian, telah diatur secara menyimpang dalam UU MA dan UU KY.
Keterlibatan DPR dalam pengangkatan hakim agung memang diatur dalam UUD 1945, akan tetapi keterlibatan DPR tersebut hanya dalam bentuk memberikan persetujuan terhadap calon hakim agung yang diajukan oleh KY sebelum ditetapkan oleh Presiden sebagai hakim agung, bukan dalam bentuk memilih calon hakim. (Mut/Ism)