Erupsi Gunung Sinabung di Tanah Karo, Sumatera Utara, telah menewaskan 16 orang. Puluhan ribu jiwa harus mengungsi dan kehilangan harta benda. Kendati demikian, hingga kini, erupsi Sinabung seakan tak kunjung reda.
Amuk gunung api yang sempat `tidur` selama 400 tahun itu pun menjadi sorotan Barometer Pekan Ini yang ditayangkan di Liputan 6 Petang SCTV, Sabtu (8/2/2014). Siang itu Gunung Sinabung memuntahkan debu panas dengan hebat.
Dengan tinggi 2 kilometer dan daya jelajah awan panas mencapai 4,5 kilometer. Muntahan ini membuat jarak pandang terbatas. Di zona bahaya, dengan terburu-buru, tim gabungan Basarnas, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan warga mengangkuti satu per satu jasad korban yang tewas di Desa Sukameriah.
Desa berjarak 3 kilometer dari puncak Sinabung, kawasan zona merah ini sudah dikosongkan sejak September tahun lalu. Namun di hari nahas itu, 14 orang tewas di desa tersebut. Mereka gagal menyelamatkan diri dari luncuran awan panas yang berkecepatan tinggi. Sementara, 3 orang yang bertahan hidup, menderita luka bakar parah.
Di Kabanjahe, Karo, Sumatera Utara, ratusan keluarga korban dan warga lainnya mendatangi Rumah Sakit Umum Kabanjahe. Beberapa dari mereka menangis di halaman rumah sakit. Mereka adalah keluarga dan kerabat korban yang terkena semburan awan panas Gunung Sinabung.
Hasil identifikasi Rumah Sakit Umum Kabanjahe, sebagian besar korban bukanlah warga setempat, tapi para pendatang. Di antara mereka tercatat sejumlah mahasiswa dan mantan reporter lepas.
Salah satunya Rizal Syahputra, mahasiswa yang juga berprofesi sebagai jurnalis. Rizal bersama 4 temannya menantang maut untuk mendokumentasikan aktivitas Sinabung untuk penggalangan dana bagi pengungsi. Namun niat baik harus mengorbankan nyawanya.
Diduga, banyak korban di lokasi tersebut yang belum ditemukan. Sementara, awan panas terus keluar dari puncak gunung. Penyisiran untuk mencari kemungkinan adanya korban lain terus diupayakan tim gabungan.
Beberapa kali upaya evakuasi dilakukan. Namun sulit menemukan korban lain, terutama dalam kondisi Sinabung yang terus erupsi.
Hanya sejumlah barang-barang korban tewas yang berhasil ditemukan dan dievakuasi tim gabungan. Sementara, korban lain yang diduga masih tertinggal di Desa Sukameriah, tak kunjung ditemukan.
Di tengah kondisi gunung yang terus mengeluarkan awan panas dan upaya evakuasi yang belum membuahkan hasil, 2 di antara 3 korban yang sempat ditemukan selamat, akhirnya mengembuskan napas terakhir. Mereka menderita luka bakar yang parah.
Radius 5 kilometer dari puncak Sinabung ditetapkan sebagai zona merah. Di dalam zona bahaya ini antara lain terdapat Desa Sukameriah, Desa Bekerah, dan Desa Simacem. Demi keselamatan jiwa, warga diimbau supaya tidak masuk dalam zona bahaya ini.
4 kilometer dari puncak Sinabung, kondisi Desa Berastepu bak kota mati. Rumah-rumah warga, gereja dan masjid, semuanya berselimut debu tebal. Tanam-tanaman juga berselimut debu. Hewan peliharaan warga juga hidup dalam kondisi penuh debu.
Namun, sekalipun berada di zona bahaya, ada saja warga yang mencoba kembali ke desa mereka.
Hal serupa terlihat di Desa Sebintun, 5 kilometer dari puncak Sinabung. Debu tebal menyelimuti desa, membuat kondisi desa tak layak huni.
Berbulan-bulan tinggal di pengungsian, puluhan ribu pengungsi Sinabung harus hidup seadanya. Wanita, bayi dan anak-anak, harus tinggal satu atap di Masjid Kabanjahe, dengan barang-barang seadanya. Seorang bayi bahkan lahir di pengungsian. Meski dalam kondisi terbatas, sang bayi terlahir sehat.
Tak hanya menewaskan 16 orang, erupsi Gunung Sinabung juga membuat lebih dari 32 ribu jiwa harus mengungsi ke sejumlah lokasi pengungsian di Kabanjahe. Meski dahsyat, letusan Sinabung tak mampu menghalangi kekuatan cinta Ema dan Ismail, sepasang calon pengantin ini. Di tengah suasana prihatin di antara para pengungsi, pernikahan berjalan dalam suasana haru dan khidmat.
Kedua mempelai tetap bahagia karena semuanya berjalan lancar. Namun itu hanya sebagian kisah bahagia dari lokasi pengungsian. Kenyataannya, pengungsi Sinabung rentan terserang penyakit. Kehilangan harta benda, mereka terpaksa hidup dari bantuan yang datang. Mereka juga tak tahu, kapan bisa kembali lagi ke desa mereka?
Di lokasi-lokasi pengungsian pengungsi Sinabung bertahan demi melanjutkan kehidupan mereka. Dengan harapan, amarah Gunung Sinabung segera mereda. (Ans)
Baca juga:
`Amuk` Sinabung Setelah `Tidur` 400 Tahun
Dahsyat! Abu Gunung Sinabung Menyebar Sampai Malaysia
Ribuan Warga di 3 Desa Dekat Sinabung Direlokasi
Amuk gunung api yang sempat `tidur` selama 400 tahun itu pun menjadi sorotan Barometer Pekan Ini yang ditayangkan di Liputan 6 Petang SCTV, Sabtu (8/2/2014). Siang itu Gunung Sinabung memuntahkan debu panas dengan hebat.
Dengan tinggi 2 kilometer dan daya jelajah awan panas mencapai 4,5 kilometer. Muntahan ini membuat jarak pandang terbatas. Di zona bahaya, dengan terburu-buru, tim gabungan Basarnas, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan warga mengangkuti satu per satu jasad korban yang tewas di Desa Sukameriah.
Desa berjarak 3 kilometer dari puncak Sinabung, kawasan zona merah ini sudah dikosongkan sejak September tahun lalu. Namun di hari nahas itu, 14 orang tewas di desa tersebut. Mereka gagal menyelamatkan diri dari luncuran awan panas yang berkecepatan tinggi. Sementara, 3 orang yang bertahan hidup, menderita luka bakar parah.
Di Kabanjahe, Karo, Sumatera Utara, ratusan keluarga korban dan warga lainnya mendatangi Rumah Sakit Umum Kabanjahe. Beberapa dari mereka menangis di halaman rumah sakit. Mereka adalah keluarga dan kerabat korban yang terkena semburan awan panas Gunung Sinabung.
Hasil identifikasi Rumah Sakit Umum Kabanjahe, sebagian besar korban bukanlah warga setempat, tapi para pendatang. Di antara mereka tercatat sejumlah mahasiswa dan mantan reporter lepas.
Salah satunya Rizal Syahputra, mahasiswa yang juga berprofesi sebagai jurnalis. Rizal bersama 4 temannya menantang maut untuk mendokumentasikan aktivitas Sinabung untuk penggalangan dana bagi pengungsi. Namun niat baik harus mengorbankan nyawanya.
Diduga, banyak korban di lokasi tersebut yang belum ditemukan. Sementara, awan panas terus keluar dari puncak gunung. Penyisiran untuk mencari kemungkinan adanya korban lain terus diupayakan tim gabungan.
Beberapa kali upaya evakuasi dilakukan. Namun sulit menemukan korban lain, terutama dalam kondisi Sinabung yang terus erupsi.
Hanya sejumlah barang-barang korban tewas yang berhasil ditemukan dan dievakuasi tim gabungan. Sementara, korban lain yang diduga masih tertinggal di Desa Sukameriah, tak kunjung ditemukan.
Di tengah kondisi gunung yang terus mengeluarkan awan panas dan upaya evakuasi yang belum membuahkan hasil, 2 di antara 3 korban yang sempat ditemukan selamat, akhirnya mengembuskan napas terakhir. Mereka menderita luka bakar yang parah.
Radius 5 kilometer dari puncak Sinabung ditetapkan sebagai zona merah. Di dalam zona bahaya ini antara lain terdapat Desa Sukameriah, Desa Bekerah, dan Desa Simacem. Demi keselamatan jiwa, warga diimbau supaya tidak masuk dalam zona bahaya ini.
4 kilometer dari puncak Sinabung, kondisi Desa Berastepu bak kota mati. Rumah-rumah warga, gereja dan masjid, semuanya berselimut debu tebal. Tanam-tanaman juga berselimut debu. Hewan peliharaan warga juga hidup dalam kondisi penuh debu.
Namun, sekalipun berada di zona bahaya, ada saja warga yang mencoba kembali ke desa mereka.
Hal serupa terlihat di Desa Sebintun, 5 kilometer dari puncak Sinabung. Debu tebal menyelimuti desa, membuat kondisi desa tak layak huni.
Berbulan-bulan tinggal di pengungsian, puluhan ribu pengungsi Sinabung harus hidup seadanya. Wanita, bayi dan anak-anak, harus tinggal satu atap di Masjid Kabanjahe, dengan barang-barang seadanya. Seorang bayi bahkan lahir di pengungsian. Meski dalam kondisi terbatas, sang bayi terlahir sehat.
Tak hanya menewaskan 16 orang, erupsi Gunung Sinabung juga membuat lebih dari 32 ribu jiwa harus mengungsi ke sejumlah lokasi pengungsian di Kabanjahe. Meski dahsyat, letusan Sinabung tak mampu menghalangi kekuatan cinta Ema dan Ismail, sepasang calon pengantin ini. Di tengah suasana prihatin di antara para pengungsi, pernikahan berjalan dalam suasana haru dan khidmat.
Kedua mempelai tetap bahagia karena semuanya berjalan lancar. Namun itu hanya sebagian kisah bahagia dari lokasi pengungsian. Kenyataannya, pengungsi Sinabung rentan terserang penyakit. Kehilangan harta benda, mereka terpaksa hidup dari bantuan yang datang. Mereka juga tak tahu, kapan bisa kembali lagi ke desa mereka?
Di lokasi-lokasi pengungsian pengungsi Sinabung bertahan demi melanjutkan kehidupan mereka. Dengan harapan, amarah Gunung Sinabung segera mereda. (Ans)
Baca juga:
`Amuk` Sinabung Setelah `Tidur` 400 Tahun
Dahsyat! Abu Gunung Sinabung Menyebar Sampai Malaysia
Ribuan Warga di 3 Desa Dekat Sinabung Direlokasi