Sukses

Pramoedya Ananta Toer, Menjalani Sengsara di Pulau Buru

Di Pulau Buru itu, Pramoedya tetap menulis. Kepada Rosihan Anwar, ia bercerita tengah menulis sebuah novel sejarah.

Pulau Buru kedatangan tamu. Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Jenderal Sumitro mengajak sejumlah akademisi dan wartawan ke tempat pembuangan tahanan politik G30S tersebut. Pada 10 Oktober 1973 itu, Sumitro ingin mengajak para tahanan berdialog.

Sebelum era 1970-an, Pulau Buru masih perawan. Mayoritas bagian pulau itu belum terjamah tangan manusia. Hutan-hutannya masih lebat, masih banyak binatang buas di pulau di utara Pulau Maluku tersebut.

Pramoedya Ananta Toer ada di antara para tahanan itu--ia dibawa pada akhir 1965. Rosihan Anwar, salah seorang wartawan yang ikut rombongan, mencatat ketika suara Sumitro merendah, Pramoedya tak dapat mendengar dengan baik. Ia pindah kursi, mendekat ke Sang Jenderal.

Soal pendengaran yang bermasalah itu, begini kisahnya. Pada 13 Oktober 1965, Pramoedya dibawa aparat militer dari rumahnya di Utan Kayu, Jakarta Timur. Di truk, seorang tentara bicara panjang-lebar dan menuduh PKI ada di belakang G30S.

"Itu baru tuduhan kalau PKI berontak. Mesti dibuktikan dulu," kata Pramoedya seperti dikutip adiknya, Koesalah Soebagyo Toer, dalam buku Bersama Mas Pram. Koesalah ada di rumah kakaknya saat penangkapan, lalu ikut digelandang.

"Baru tuduhan?! Pura-pura nggak tahu," kata sang tentara. Sambil mengucapkan kata-kata itu, ia mengayunkan popor senapan ke wajah Pramoedya yang duduk di sisinya.

Novelis itu kontan pingsan. Darah muncrat dari pelipis. Sejak itu, salah satu telinga Pramoedya nyaris tak berfungsi.

Di Pulau Buru, Pramoedya tetap menulis. Kepada Rosihan, ia bercerita tengah menulis sebuah novel sejarah. Sudah setengah selesai ketika akhirnya disita komandan tentara.

"Kenapa menulis novel sejarah? Kenapa tidak tentang pengalaman-pengalamanmu sendiri di sini?" kata Rosihan yang saat itu menjadi Pemimpin Redaksi Pedoman.

"Saya tidak suka menulis keadaan-keadaan yang tidak menyenangkan. Saya sudah muak dengan itu," kata Pramoedya seperti dicatat Rosihan dalam Perkisahan Nusa: Masa 1973-1986.

Pram memang berkehidupan getir di Pulau Buru. Itu ia curahkan kepada August Hans den Boer dan Kees Snoeck yang mewancarainya untuk buku mereka, Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir: Esai dan Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer.

Bersama lebih dari 800 orang, Pramoedya menuju Buru menggunakan kapal ADRI XV dari penjara sebelumnya di Lapas Nusa Kambangan. Mereka termasuk rombongan pertama yang diberangkatkan. Nyaris semua, termasuk Pramoedya, tak pernah mengikuti proses pengadilan.

Selama pelayaran ke Buru, para tahanan hanya makan seadanya, 2 sampai 3 kali sehari. Bahkan di hari-hari terakhir sebelum sampai di Buru, Pram dan tapol lain terpaksa makan dengan nasi dicampur air cabai.

Sampai di Buru, ia bersama para tapol dipaksa merambah dan membuka hutan untuk dibuat jalan dengan peralatan seadanya, membangun barak-barak, menggarap lahan pertanian, dan membudidayakan bahan makanan yang kemudian hasilnya pun sering dirampas.

Di sana tak ada perawatan kesehatan, pengawal pun sering kali berlaku keras terhadap para tahanan. "Pulau itu masih teramat liar, banyak hewan buas, penduduknya pun masih tergolong suku kanibal," kata Pramoedya.

Belum setahun di Buru, penyakit mulai menjangkiti para tapol. Kebanyakan dari mereka menderita hepatitis, cacingan, filaria dan malaria, serta TBC. Menyantap apa saja yang dijumpai menjadi lumrah di sana.

Sebagian tapol ada yang memakan keong, cumi-cumi mentah. Bahkan ada seorang tapol berpenyakit TBC, melahap tikus kecil hidup-hidup. "Secara ajaib, ia sembuh dan malah menjadi kuat. Saya ikutan memakan tikus dan ular, tapi kulit saya malah pecah-pecah dan mengeluarkan cacing-cacing kecil dari dalamnya," ujar dia.

Semua pengalaman itu dicatat Pram dalam lembaran-lembaran kertas. Yang kemudian catatan-catatan itu dibukukan dengan judul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.

Salah seorang anggota rombongan Sumitro bertanya, "Apa masalahmu sekarang?"

"Masalah saya sederhana saja, asal dapat bekerja. Tiap hari saya dapat menulis selama 15 menit dan membaca selama 5 menit. Lebih dari itu tidak bisa. Sudah kecapekan bekerja di ladang," jawab pria kelahiran Blora, 6 Februari 1925, itu.

Pramoedya akhirnya 'merdeka' sebagai penghuni Pulau Buru pada 21 Desember 1979. Ia mendapatkan surat pembebasan secara hukum yang menyatakan tidak bersalah dan tidak terlibat G30S.

Meski begitu ia masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999. Juga wajib lapor 1 kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.

Setelah ia dibebaskan, novel sejarah yang diceritakan ke Rosihan itu akhirnya diterbitkan, sebanyak 4 jilid dan membentuk tetralogi Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Terbit secara bertahap, mulai 1980 sampai 1988. Semua itu dilarang Kejaksaan Agung segera setelah diterbitkan.

Orde Baru tak main-main dengan pelarangan itu. 2 mahasiswa Yogyakarta pada 1980-an dipenjara karena mendiskusikan dan menjual buku-buku Pramoedya.

Apa komentarnya tentang semua itu? "Siapa yang mencuri kata-kata, berarti mencuri pikiran. Siapa yang mencuri pikiran berarti mencuri hal yang hakiki dari manusia. Mencuri pikiran, merendahkan hak-hak manusia, berarti melenyapkan pembatas yang menjadi pembeda antara manusia dan binatang," kata Pramoedya.

Ketika ia ditangkap pada 13 Oktober 1965, rumah Pramoedya juga dijarah. Ribuan buku dari perpustakaan pribadinya dicuri. Atau, dibakar. 8 naskah tulisan yang belum diterbitkan disita, tak diketahui nasibnya sampai kini. Di antaranya, naskah Gadis Pantai jilid II dan III. (Yus)

Video Terkini