Fajar mulai menampakkan raganya. Deru suara kendaraan mulai terdengar hilir mudik. Lokasi yang tadinya sunyi, kini mulai bergairah kembali.
Begitu juga warga yang tertidur pulas, meski hanya 'beralaskan' abu vulkanik di posko pengungsian Kantor Desa Tawang. Satu per satu tubuh yang dibalut selimut membuka kain penghangat itu. Ada yang termenung, menyantap makanan ringan, bangun lalu mandi, atau sekadar berbincang dengan sesama.
Tak sedikit dari mereka yang saling mengoleskan minyak angin untuk menghangatk tubuh. Tak banyak memang yang bisa mereka lakukan selain hal-hal itu. Kegitan yang pasti dilakukan, yakni bersih-bersih tempat pengungsian atau tidur lagi. Sambil berharap Gunung Kelud 'tertidur' kembali.
Tak ada perbedaan yang signifikan antara pengungsi tua dengan yang muda, bayi atau renta. Semua bertumpuk dan bercampur jadi satu. Para ibu sibuk menyuapi anaknya. Sedang yang sudah berusia lanjut hanya bisa termenung melihat kondisi ini.
"Memang seperti itu saja kalau selama di sini (pengungsian). Kebanyakan nganggur," kata salah seorang warga, Sumini, di lokasi pengungsian di Desa Tawang, Kediri, Minggu (16/2/2014).
Dia mengaku tak ada aktivitas menonjol yang dilakukan di pengungsian. Warga Desa Sugih Waras itu hanya bisa duduk sambil mengawasi anaknya yang masih SD bermain di sekitar pengungsian.
"Ya begini saja. Ngawasi anak-anak. Duduk, nganggur. Nunggu makanan, sudah," lanjut dia.
Sementara kaum lelaki banyak yang pulang ke rumah. Mereka harus pulang melihat kondisi rumah sambil sesekali membersihkan abu vulkanik yang bersarang di atap rumah.
"Kalau yang laki-laki ya pulang. Kan bersih-bersih rumah, jaga rumah kalau siang. Takutnya genteng pada roboh kalau kena hujan," tambah Sumini.
Dia tak tahu sampai kapan bertahan di pengungsian. Yang pasti, keputusan untuk pulang tergantung dari informasi keamanan Gunung Kelud. "Kalau aman ya pulang. Kalau ndak ya tetep di sini saja," tandas Sumini. (Eks)
Begitu juga warga yang tertidur pulas, meski hanya 'beralaskan' abu vulkanik di posko pengungsian Kantor Desa Tawang. Satu per satu tubuh yang dibalut selimut membuka kain penghangat itu. Ada yang termenung, menyantap makanan ringan, bangun lalu mandi, atau sekadar berbincang dengan sesama.
Tak sedikit dari mereka yang saling mengoleskan minyak angin untuk menghangatk tubuh. Tak banyak memang yang bisa mereka lakukan selain hal-hal itu. Kegitan yang pasti dilakukan, yakni bersih-bersih tempat pengungsian atau tidur lagi. Sambil berharap Gunung Kelud 'tertidur' kembali.
Tak ada perbedaan yang signifikan antara pengungsi tua dengan yang muda, bayi atau renta. Semua bertumpuk dan bercampur jadi satu. Para ibu sibuk menyuapi anaknya. Sedang yang sudah berusia lanjut hanya bisa termenung melihat kondisi ini.
"Memang seperti itu saja kalau selama di sini (pengungsian). Kebanyakan nganggur," kata salah seorang warga, Sumini, di lokasi pengungsian di Desa Tawang, Kediri, Minggu (16/2/2014).
Dia mengaku tak ada aktivitas menonjol yang dilakukan di pengungsian. Warga Desa Sugih Waras itu hanya bisa duduk sambil mengawasi anaknya yang masih SD bermain di sekitar pengungsian.
"Ya begini saja. Ngawasi anak-anak. Duduk, nganggur. Nunggu makanan, sudah," lanjut dia.
Sementara kaum lelaki banyak yang pulang ke rumah. Mereka harus pulang melihat kondisi rumah sambil sesekali membersihkan abu vulkanik yang bersarang di atap rumah.
"Kalau yang laki-laki ya pulang. Kan bersih-bersih rumah, jaga rumah kalau siang. Takutnya genteng pada roboh kalau kena hujan," tambah Sumini.
Dia tak tahu sampai kapan bertahan di pengungsian. Yang pasti, keputusan untuk pulang tergantung dari informasi keamanan Gunung Kelud. "Kalau aman ya pulang. Kalau ndak ya tetep di sini saja," tandas Sumini. (Eks)